ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Ketika gelar Sarjana menggugat Presiden

Sepertinya, kali ini sebahagian besar politikus dan golongan akademisi pemikirannya mulai jernih memandang buruknya kinerja para ‘pembantu’ Presiden SBY. Lihat saja beberapa kasus mencuat akibat lemahnya kajian kebijakan dari menteri-menteri bersama departemennya, mengakibatkan khalayak ramai termotivasi memvonis SBY sebagai pemimpin yang kurang reponsif terhadap kesejahteraan masyarakat dan terlalu berpihak kepada sekelompok ‘politikus plat merah’ nakal. Ada beberapa contoh kecil sebagai saksi yang mampu menguatkan lemahnya kemampuan para sarjana di lingkungan Pemerintahan SBY seperti, munculnya kebijakan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kontroversial kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006, kemudian keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2006 yang menurut sebahagian kalangan adalah kebijakan memberikan pinjaman uang besar tanpa bunga kepada kalangan DPR/DPRD di seluruh Indonesia dan kebijakan inipun akhirnya di selamatkan dengan kebijakan baru. Selain kedua hal tesebut, para ’pembantu’ SBY-pun kembali ’ngelantur’ dengan mempersembahkan serta meramu kebijakan Pemerintahan untuk pengadaan laptop / komputer senilai 21 juta per orang bagi anggota DPR, walau pengakuan juga muncul banyak anggota DPR yang tidak bisa mengoperasikannya. Kebijakan laptop sebagai kegiatan ’menghambur-hamburkan’ uang rakyat juga akhirnya di cabut, walau telah menorehkan tinta merah pada Raport Pemerintahan SBY.


Kuatnya desakan Reshufle Kabinet sudah lama dihembuskan ditengah berlangsungnya berbagai tindakan ’KKN’ dilingkungan departemen yang menangani transportasi darat, laut dan udara. Korban nyawa tidak lain disebabkan lemahnya pengawasan preventif terhadap kelayakan alat-alat transportasi, sehingga pesawat tua, kapal minus peralatan keselamatan penumpang dan manajemen perkreta apian yang ’tu-la-lit’ banyak melahirkan korban walau untuk hal ini telah ada mutasi pejabat. Belum selesai lagi kenangan dan umpatan terhadap berbagai kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat itu, Kebijakan Pemerintahan SBY kembali dipandang ’kekanak-kanakan’ dengan menyusun draft peraturan yang mengharuskan seseorang warga negara Republik Indonesia harus memiliki gelar sarjana jika ingin menjadi Presiden Republik Indonesia.


Sebahagian politisi senior memandang hal ini adalah suatu kemunduran bagi penegakan demokrasi di Indonesia, dan seribu tanya menjawab mengapa persyaratan gelar sarjana harus dimiliki seorang calon presiden di negara baru berkembang seperti Indonesia. Pada negara adidaya dan super power seperti Amerika Serikat, persyaratan untuk menjadi seorang Presiden adalah warga negara Amerika Serikat, dilahirkan di Amerika Serikat, usianya tidak kurang dari 35 tahun, dan sekurang-kurangnya menjadi penduduk Amerika Serikat selama 14 Tahun. Tidak ada disebutkan harus sarjana, padahal kemajuan teknologi dan bentuk pemerintahan Federal jauh lebih rumit dibandingkan negara Republik seperti Indonesia. Hal terpenting yang diinginkan dari seorang Presiden adalah sosok dirinya dan kepiawaiannya mempimpin diri dan orang lain. Orang-orang partai yang mencalonkan seorang Presiden tentu saja tidak bodoh, pilihan yang dijatuhkan pada seseorang tidak akan mungkin yang memiliki karakter buruk karena akan menjatuhkan kepercayaan publik para pendukung partainya. Oleh karenanya, calon-calon presiden yang diajukan merupakan orang pilihan yang nota bene memiliki kualifikasi istimewa terutama pada pola pikir dan kepemimpinannya.


Di lingkungan akademisi seperti universitas, tidak merupakan suatu kewajiban kalau seorang rektor harus memiliki gelar profesor. Ini menunjukkan, kepemimpinan yang sesungguhnya diinginkan dari seseorang di kalangan akademisi / universitas bukan harga mati harus seseorang yang dianggap paling mumpuni di universitas tersebut. Lagipun tidak ada seorangpun di dunia ini yang memiliki gelar profesor / guru besar pada setiap kajian ilmu-ilmu pengetahuan. Kecendrungan gelar guru besar / profesor di sandang hanya untuk satu bidang ilmu pengetahuan seperti guru besar ilmu-ilmu sosial, guru besar ilmu administrasi, ilmu pertanian dan lainnya. Namun memang jika ingin menjadi seorang rektor atau pimpinan di universitas haruslah dari seorang yang memiliki gelar kesarjanaan, karena orang yang menjabat sebagai rektor dipilih dari kalangan kampus / universitas yang nota bene adalah seorang dosen. Otomatis seorang dosen tidak mungkin berlatarbelakang pendidikan hanya lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Selanjutnya untuk jabatan Rektor bukanlah jabatan politis namun dapat disebut sebagai jabatan profesi, sehingga gelar kesarjanaan sudah merupakan suatu keharusan dan tidak dapat ditawar.


Di lingkungan pendidikan kader-kader pemimpin bangsa seperti AKABRI dan STPDN, rektornya bukanlah seorang Profesor. Seorang Rektor atau sama dengan sebutan Gubernur AKABRI (AKMIL, AKPOL, AAU dan AAL) atau Ketua di STPDN (sekarang IPDN) tidaklah menjadi keharusan memiliki gelar sarjana. Pada lingkungan pendidikan Taruna AKABRI, level seorang Gubernur AKABRI sudah di gariskan seperti harus seorang yang memiliki pangkat Brigjend atau Mayjend, dan demikian juga di STPDN pada era sebelum tahun 1998. Kini di STPDN / IPDN seorang Rektor tidaklagi dari kalangan militer namun untuk menjadi seorang Rektor / Ketua di STPDN harus memiliki pangkat sipil minimal pembina (IV/b) karena Pejabat Rektor / Ketua STPDN adalah Pejabat Eselon II/a. Ini berarti Jabatan Gubernur AKABRI maupun Rektor / Ketua STPDN/IPDN adalah jabatan karir dan bukan jabatan politis.


Jika kita melihat pada Pemerintahan terdepan, untuk jabatan Kepala Desa saja sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2006, pendidikan minimal untuk mencalonkan diri menjadi Kepala Desa adalah lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan pada kasus ini jabatan Kepala Desa dapat diidentikkan dengan jabatan Presiden walau terdapat beberapa perbedaan seperti, wilayah kerja kepala desa lebih kecil, kepala desa bukan jabatan politis dan kepala desa tidak memiliki menteri-menteri yang profesor atau orang berpendidikan tinggi. Namun seorang kepala desa dituntut terjun langsung dalam setiap kegiatan, tidak hanya memberi komando / memimpin tetapi ikut juga sebagai peserta dalam setiap kegiatan pembangunan di wilayah kerjanya.


Melihat dunia lain, untuk menjadi seorang ahli hukum yang profesional haruslah memiliki gelar seperti sarjana hukum. Ini dimaksudkan agar yang bersangkutan memiliki pemahaman dasar mengenai bidang-bidang tugas penyelesaian berbagai permasalahan di bidang hukum. Tidak relevan dan tidak mungkin secara hukum dan perundang-undangan seorang sarjana pertanian atau sarjana keperawatan di poles untuk menjadi ahli hukum dan atau advokad / pengacara. Namun jika orang-orang hukum memiliki permasalahan kasus di bidang kesehatan ataupun pertanian, dapat melibatkan para sarjana kesehatan / dokter dan sarjana pertanian sebagai saksi ahli membantu penyelesaian permasalahan. Demikian juga pada pemerintahan, tidak mungkin ditemukan seorang pemimpin yang menguasai spesialisasi ilmu pengetahuan yang beragam-ragam, yang dibutuhkan hanya kejelian memilih para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk membantunya menyelesaikan permasalahan yang tidak di kuasainya. Demikian juga dengan jabatan Presiden, tidak musti seluruh permasalahan di kuasai oleh gelar sarjana yang di sandangnya, namun seluruhnya adalah keligatan dan kepintaran pembantunya (para menteri negara) mencarikan berbagai alternatif penyelesaian permasalahan bangsa. Seorang Presiden adalah seorang Pemimpin dan menurut James A.F. Stoner dan Henry Mitzberg, tugas pemimpin/menejer adalah : Manegers work with another people I (bertanggungjawab untuk bekerjasama dengan orang lain), Managers are responsible and accountable (bertanggungjawab terhadap keberhasilan & kegagalan), Managers balance competing goals and set priority (mampu mendelegasikan tugas dan mampu menyelesaikan konflik secara efektif), Managers must think analytically and conceptually (mampu menempatkan pekerjaan dalam suatu abstraksi dan mengkaitkan pekerjaan satu sama lain), Managers are mediators (mampu menjadi mediator), Managers are politicians and diplomats (bertindak persuasif dan mampu berkompromi), Managers makes difficult decisions (mampu memecahkan masalah sulit).


Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya gelar kesarjanaan bukanlah menjadi satu satunya indikator (kriteria penilaian / alat ukur) untuk menunjukkan seseorang itu memiliki kemampuan lebih di banding orang yang tidak memiliki gelar kesarjanaan. Banyak indikator lainnya yang mampu menempa seseorang menjadi mumpuni pada pekerjaan atau bidang tugas apapun, seperti kemauan keras membaca, mendengar, dan melihat sumber-sumber ilmu pengetahuan (koran, radio, televisi dan internet) serta kemauan untuk berbuat (trial and error) hingga akan mengasah pola pikir dan daya kerja mendapatkan yang lebih sempurna. Memang, hakekat sebuah peraturan itu adalah membatasi, artinya ada sesuatu atau beberapa pedoman / aturan yang di buat untuk memilh-milah karakter dan peluang bagi orang lain, pada pokok masalah ini, kita patut dapat mengira ada semacam konspirasi politik tingkat tinggi yang bercita-cita menyingkirkan lawan-lawan politiknya, tanya kenapa !. (Penulis adalah Sekretaris IKADIK-Pamong Praja Dairi-Pakpak Bharat)

No comments :