ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Menanti 'Hancurnya' sebuah Kekuasaan Politik

Dengung PILKADA menjelang PILPRES 2009 menggema di berbagai daerah yang kembali merebut perhatian masyarakat dari kalangan apapun. Pada rentang waktu menjelang suksesi kepemimpinan di berbagai daerah, sebahagian masyarakat menyambutnya dengan berbagai ekspresi dan makna. Ada yang bersandiwara menjadi sahabat siapa saja, namun sebagian ada juga yang mulai beranjak menebarkan wajah permusuhan. Tak kalah serunya, seperti dagelan politik yang ceritanya terus bersambung setiap lima tahun sekali, gerakan dan sapaan yang ditunjukkan sesungguhnya menuntut penghargaan lebih dari sekedar pengabdian dan ucapan terimakasih.


Pesta demokrasi PILKADA yang akan di gelar di berbagai daerah kembali memunculkan wacana adanya calon independent yang tidak melewati proses politik melalui lembaga legislatif dan / atau Partai Politik. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama Pasal 56 (2) kini menanti putusan akhir. Kewajiban terhadap Pasangan Calon Kepala Daerah dalam PILKADA harus mendapat restu partai politik atau gabungan partai politik, di gugat berbagai kalangan yang menilai Pasal 56 (2) ini bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Pasal 18 yang mengatur persamaan hak dan kewajiban seluruh masyarakat Indonesia di mata hukum dan pemerintahan. Sepertinya perjuangan menghapuskan Pasal 56 (2) ini tidak akan mulus begitu saja, sebab suara Partai Politik yang diwakili legislatif pasti menghempang para aktor yang menginginkan revisi pasal ini. Tidak terkecuali Mahkamah Konsitusi yang memiliki kewenangan mengubah undang-undang, tentu tidak lepas dari berbagai upaya intervensi dan upaya bargainning politik sekaligus mungkin money politik. Ada dua kajian penting yang perlu diperdebatkan menilik keberadaan calon Independent dimana sampai saat ini tidak mendapat dukungan dari peraturan perundang-undangan.


Pertama, bila Judicial review di tolak, maka kemerdekaan Partai Politik menggunakan kekuasaannya “mengobral kapal” kepada para pasangan calon kepala daerah menjadi lebih perkasa. Obral kapal yang dimaksud berupa pemunculan “transaksi dolar” bagi setiap orang yang ingin diusung untuk mewujudkan cita-citanya menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Proses ini banyak menimbulkan spekulasi yang ujung-ujungnya banyak berdampak negatif bagi pembangunan daerah, jika ia terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Di banyak kasus, pasangan calon yang telah memiliki “kapal” dengan membeli ini, patut dapat mengira ketika dirinya memenangkan pertarungan demokrasi langsung, logikanya, yang utama dalam benaknya adalah bagaimana agar dolar-dolar yang telah ditebarkan dapat kembali secepat mungkin. Termasuk menepati janji-janjinya kepada para pengusaha / kontraktor / penyumbang dana sewaktu kampanye untuk memenangkan dirinya dalam pertarungan politik pada proses PILKADA.


Tentu ini tidak menghakimi dan menjadi suatu konvensi bagi setiap orang yang menang bertarung di PILKADA. Kita lihat saja Bupati Sragen Provinsi Jawa Tengah (latar belakang pengusaha) yang serius membangun daerahnya dan dibuktikan saat PILKADASUNG 2004 meraih sekitar 85 % suara rakyatnya untuk kembali memimpin Kab. Sragen periode kedua, kemudan Bupati Jembrana di Provinsi Bali, seorang Profesor kesehatan gigi, dengan semangat pengabdian, keduanya mampu membawa daerahnya menjadi Kabupaten terbaik di Indonesia dari segi pelayanan masyarakat, pengembangan aparatur dan pembangunan wilayahnya.


Namun bila judicial review Pasal 56 (2) UU 32 Tahun 2004 ini ditolak, spekulasi pemikiran baru akan muncul dengan beragam pertanyaan menunjuk proses PILKADA Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang merekomendasikan adanya calon independen. Tentu berlebihan jika timbul pemikiran, apakah setiap daerah yang menginginkan PILKADA dengan calon independent untuk memaksa Pemerintah Pusat harus “menumpahkan banyak darah” seperti Provinsi NAD, dulu. Bijaksana, selayaknya di anut oleh para Hakim di Mahkamah Konstitusi yang sedang mengkaji materi Pasal 56 (2) ini. Pembelajaran berharga seperti menangnya calon independen dalam PILKADA Provinsi NAD, mengisyaratkan jawaban kebuntuan dan keputusasaan masyarakat terhadap Partai-partai Politik yang konon hanya berpihak kepada siapa yang berani memberikan “perhatian lebih” kepada Partai-nya.


Kedua, bila ­judicial review dikabulkan Mahkamah Konstitusi, maka kembali Partai Politik khususnya yang memiliki kursi di legislatif akan kehilangan satu lagi kekuasaannya. Lihat saja periode 32 tahun orde baru, legislatif “dibungkam” oleh eksekutif walau keperkasaan eksekutif pada masa itu dominan merupakan penampakan satu partai politik pemenang. Periode selanjutnya, reformasi birokrasi dan sistem pemerintahan Repbublik Indonesia, secara luar biasa menghantui para kepala daerah ketika menghadapi proses penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, munculnya hak angket, interplasi dan mossi tidak percaya. Kemudian pada periode saat ini, paradigma Pemerintahan berubah, dan secara bijaksana mulai meletakkan legislatif dan eksekutif sesuai dengan hakekat adanya lembaga itu dan terus menyempurnakan berbagai hal yang menghambat proses birokratisasi dan pembangunan kemasyarakatan.


Ketika peluang munculnya calon independen terbuka bagi seluruh wilayah Republik Indonesia, demokrasi yang sesungguhnyalah yang akan terlihat. Peluang masyarakat yang memiliki semangat dan keinginan membangun daerah walau tidak memiliki uang banyak tentu saja terbuka, kemudian rakyat bebas memilih. Jika proses ini dilewati, kepala daerah yang terpilih akan lebih mudah memfokuskan pemikirannya membangun daerah tanpa harus terusik oleh tuntutan janji dari sekelompok orang dan kontraktor dari tim suksesnya. Indonesia ini memang aneh, kalau saja Pemerintah Pusat dan Partai Politik tidak menutup mata, proses pemilihan seorang kepala desa dapat dijadikan contoh baik penyelenggaraan PILKADA. Untuk menjadi seorang kepala desa tidak perlu “membeli kapal “ dari partai politik dan cukup memenuhi persyaratan administrasi, sedikit keberanian serta komitmen penuh membangun desa, otomatis dapat mencalonkan diri untuk dipilih menjadi seorang kepala desa. Keberadaan Badan Perwakilan Desa atau DPRD jika di tingkat Kabupaten / Kota / Provinsi, hanya sebagai lembaga legislasi dan penyambung lidah masyarakat dan mengawasi kebijakan pemerintahan agar berjalan di rel-nya.


Seluruhnya berpulang kepada niat Partai Politik dan / atau legislatif termasuk kalangan birokrat, apakah niatnya bekerja mencari kemakmuran untuk rakyat atau mencari kemakmuran dari rakyat. (Penulis adalah Sekretaris Ikatan Alumni Pendidikan Pamong Praja Kab. Dairi-Pakpak Bharat)

No comments :