Pertama : Tidak Ada Balon yang Populer. Alasan ini bisa saja menjadi pertimbangan sebuah partai besar menunda-nunda pengusungan Balon kepala daerah. Waktu yang cukup panjang dibutuhkan partai mencari-cari sosok ideal, dikenal masyarakat karena prestasi dan berkharisma dihadapan masyarakat.Alasan ini oke-oke saja, karena kebanyakan Balon kepala daerah muncul mengaku sebagai malaikat yang terpaksa turun gunung, katanya terpanggil membangun masyarakat. Padahal, kesehariannya saja dikeluarga dan masyarakat hanya ngeributin, trouble maker (pembuat masalah), dan tukang gosip murahan. Kehadirannya di tengah orang banyak bukan menyejukan bahkan cenderung menjijikkan. Sebahagian ada juga yang mengatakan dirinya briliant punya konsep ala hollywood yang spektakuler dan realistis, padahal kalau ditanya permasalahan yang dihadapi masyarakat, tidak tahu. Lucu kan, punya konsep membangun masyarakat tapi tidak mengetahui permasalahan masyarakatnya. Bisa saja, konsep itu contekan dari Balon-Balon kepala daerah di tempat lain yang berhasil walau topologi masyarakatnya berbeda. Kedua : Tidak Ada Kader Partai Yang Menjual. Susah memang bila dari awalnya jabatan hanya diformat bak sebuah kerajaan, turun temurun dan hanya melihat telunjuk pimpinan tertinggi ke arah mana. Siapa yang tidak bernafsu jadi ketua partai, bila harta dan tahta menari-nari dihadapannya. Pola kerajaan di partai sebenarnya sudah lama ada, dan yang namanya kerajaan, seorang raja punya kuasa termasuk mendapatkan proyek-proyek. Inilah penyebabnya, kader yang ada dalam sebuah partai cenderung karbitan yang masak sebelum waktunya. Lihat saja pada pilkada-pilkada di Indonesia, banyak kepala daerah yang tidak berasal dari partai-nya. Ini menandakan, kader-kader partai pada level pimpinan-pimpinan mampu tampil karena satu RT, satu keluarga, satu sekolah dan bahkan satu “geng motor”.
Ketiga : Partai Kehabisan Modal. Namanya kehabisan modal yang maknanya kehabisan ongkos. Kalau kehabisan ongkos, gimana bisa sampai ke tujuan dan bila jalan kaki, capek…deh. Nah, saatnya mencari modal biar bisa maju dalam Pemilu Legislatif mendatang. Untuk menyiapkan sebuah kapal buatan partai bagi Balon kepala daerah, sebahagian orang pemodal (kaya) tidak ragu mengeluarkan 5 Milyar sambil duduk-duduk ngelihatin orang sibuk bawa mesin foto copy dan masuk angin ngumpulin foto copy KTP. Namanya juga jualan, harga ditentukan banyak hal. Kalau semakin banyak yang menawar, biasanya sombong penjual muncul. Tapi ingat saat berbelanja durian di pajak, ketika matahari mulai terbenam, harga durian yang tadinya 15 ribu berubah jadi 5 ribu rupiah itupun pakai bonus.Keempat : Partai Masih Menganut Pola Orde Baru. Masalah ini, sebenarnya tidak cocok lagi dipraktekkan di era reformasi demokrasi sekarang. Selain menimbulkan pembelajaran jelek terhadap makna kaderisasi dalam sebuah partai, kekompakan pun terkikis bila praktek-praktek seperti ini tetap dikedepankan pimpinan partai tertinggi di Jakarta. Kader akan berpikir dua kali mencalonkan diri berlaga dalam Pilkada melalui partai-partai yang letih berdoa di daerah namun menunggu kata amin dari Jakarta. Bisa saja sewa kapal pada partai ini, tapi harus bawa bika ambon juga ke Jakarta ditambah salak dan ulos-lah biar tersentuh hatinya.Memang jadi dilema bagi partai-partai besar, disaat balon-balon kepala daerah dengan masing-masing kapalnya sudah berlayar dari satu tempat ke tempat lain, dianya masih sibuk ngintip-ngintip yang gak jelas. Untungnya ada, tetapi ruginya lebih banyak. Itulah politik yang penuh intrik dan senyuman palsu, jauh berbeda dengan poliklinik yang penuh pasien dan polibek tempat bunga mekar yang menyejukan hati walau ada ulat bulunya.
1 comment :
artikel anda :
http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/mengapa_partai_besar_bingung_pilih_balon_kepala_daerah
jadikan artike anda yang terbaik dan terpopuler.salam blogger!!!
Post a Comment