ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Saturday 12 June 2010

Penyakit Reformasi Birokrasi

REFORMASI diartikan sebagai suatu proses perubahan baik secara drastis maupun incremental (bertahap melalui proses) dan komprehensif (menyeluruh) menuju suatu kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Di banyak daerah sepertinya mencoba berbenah diri untuk menjadi pioneer (icon / contoh baik) dalam melakukan reformasi birokrasi. Geliat reformasi birokrasi yang dirajut melalui pengembangan kapasitas yang meliputi tiga bidang yaitu pengembangan SDM Aparatur, penataan kelembagaan dan penataan sistem melalui inovasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Tentunya, nilai keberhasilan sebuah daerah apakah di level kabupaten / kota atau provinsi ini sangat dipengaruhi oleh komitmen kepemimpinan kepala daerah sebagai top leader. Birokrasi sering diibaratkan urusan dari suatu meja ke meja lain dalam pemerintahan atau prosedur pemerintahan... Menurut penulis, melalui pengamatan dan kajian kepemerintahan, menunjukan bahwa paling tidak model pengembangan sistem pelayanan ideal yang berlangsung dapat dikategorikan dalam tiga tahap yaitu the efficiency drive, downsizing (memulai dengan efisiensi atau memaksimalkan nilai manfaat pelayanan sekaligus meminimalkan alur birokrasi serta memangkas biaya pelayanan kepemerintahan) & decentralization (pelimpahan kewenangan secara tegas, dan akuntabel / dapat dipertanggungjawabkan) dan in search of excellence (menuju kesempurnaan pelayanan birokrasi melalui pemotongan-pemotongan persyaratan serta meja yang harus dihadapi / terpadu). BIROKRASI APATIS & EGOIS. Meningkatkan kepekaan penyelenggara pemerintahan sebagai representasi pelayan masyarakat terhadap aspirasi masyarakat sesungguhnya memiliki dua kata kunci penting. Meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah dan menumbuhkembangkan kesadaran akan partisipasi aktif masyarakat terhadap pembangunan daerah. Acapkali ketika kita berkomunikasi dengan masyarakat lapisan bawah (masyarakat kalangan ekonomi lemah / pinggiran) ternyata telah dalam mengakarnya opini salah yang memberikan cap / rendahnya tingkat nilai kepercayaan kepada aparatur birokrasi. Hal ini disebabkan tingginya intensitas penyalahgunaan wewenang dan atau memasyarakatnya praktek-praktek negative penyelenggaraan jual beli pemberian pelayanan publik. Dikalangan aparatur birokrasi / birokrat, bila diidentifikasikan berbagai permasalahan, penyebab utama lemahnya daya tanggap atau munculnya apatisme aparatur birokrasi, seperti : Malas atau tidak mau bekerja keras, penghasilan kurang mencukupi kebutuhan yang wajar hingga tidak tahan godaan, Gaya hidup konsumtif dan sifat tamak manusia. Tentu saja hal-hal manusiawi diatas dimiliki setiap manusia, hanya persentasinya saja yang berbeda menguasai pemikiran manusia. Kebijakan pencanangan etos kerja (semangat dan haus berprestasi atau berinovasi) serta produktif penting diterjemahkan dalam sebuah produk legal. Di Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah, sebahagian besar instansi pemerintahan memiliki usaha dengan modal bersama. Mereka mendapatkan penghasilan tambahan dengan tidak mengganggu kualitas pelayanan masyarakat setempat. Ada pom bensin, ada supermarket, ada toko hasil kerajinan tangan, ada warung internet, ada warung sembako dan banyak lagi ide yang di bangun melalui kebersamaan. Dalam era sekarang ini, banyak aspirasi dan pengaduan masyarakat yang tidak terinventarisasi secara baik. Jelas saja, tudingan yang mengatakan Pemerintah / Pemerintah Daerah kurang tanggap akan kebutuhan masyarakat tidak dapat disembunyikan. Tidaklah sulit bila setiap instansi pemerintahan daerah mulai dari level pemerintahan terdepan (desa/kelurahan), kecamatan sampai tingkat kabupaten memberikan perhatian dan membuat kebijakan menampung, mengkaji dan merumuskan berbagai aspirasi / keluhan / permasalahan masyarakatnya. Banyak ahli statistik yang sejak lama mendewakan data sebagai penyelesaian awal berbagai permasalahan dunia. Pada pokok permasalahan ini, mapping (pemetaan) berbagai permasalahan dapat dikatakan sebuah solusi tepat untuk memulai berpikir menyelesaikan banyak masalah. Sebahagian mencatatkannya dengan menggunakan teknologi informasi komputer atau internet dan sebahagian lagi juga mengekspose nya di surat kabar atau papan informasi. Bila setiap aspirasi / permasalahan terrekam secara baik, kontrol kebijakan pemerintah juga akan berjalan dengan baik dan benar pada kesempatan pertama. Coba lihat pembukaan layanan sms 9949 yang di gagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berbagai permasalahan masyarakat mulai dari keluhan kebutuhan air bersih, oknum aparat yang bandel, sulitnya transportasi sampai keluhan karena belum mendapat jodoh dihimpun oleh sebuah unit tertentu dan ditindaklanjuti secara cepat dan tepat dengan komunikasi yang baik termasuk kepada yang mengirimkan keluhan atau permasalahan. Kebanyakan orang tidak pernah bertanya mengapa organ-organ tubuh manusia yang mematikan (jika tidak ada maka dia akan mati) selalu tidak kelihatan atau disembunyikan di dalam tubuh agar dapat berfungsi dengan baik. Lihat saja jantung, paru-paru, darah, ginjal, bahkan syaraf manusia, selalu tempatnya di dalam tubuh manusia. Mereka bersatu mempertahankan kelangsungan hidup sebuah tubuh dan saling ketergantungan. Tidaklah berbeda dengan sebuah pemerintahan seperti pemerintahan daerah, misalnya. pemerintah kabupaten atau kota yang terdiri dari badan / dinas / kantor atau bagian. Masing-masing memiliki tugas pokok dan fungsi sedemikian rupa seperti organ tubuh manusia. Seyogyanya satu dengan lainnya bekerjasama untuk membuat sebuah pemerintahan yang sehat. Sehat berarti tidak memiliki penyakit atau permasalahan yang mengganggu. Contoh nyata egosime instansi yang sering di pertontonkan misalnya, tiang listrik yang berdiri di tengah trotar jalan, hari ini jalan di aspal namun besok jalan itu di gali untuk memasang pipa air minum. Kadangkala kata egois instansi pemerintah ini berdekatan dengan kata cuek atau apatis tadi. Warisan nenek moyang kita, gotong royong, sampai saat ini masih terus dilaksanakan. Tidak ketinggalan pemerintah daerahpun bersama seluruh pejabat-pejabatnya sibuk membersihkan selokan, pasar dan jalan di wilayah desa, kelurahan dan kecamatan. Sebahagian orang berpandangan bahwa kegiatan ini adalah tindakan bodoh dengan alasan bahwa percuma karena masyarakat tidak akan sadar setelah itu. Ada lagi aparatur yang berkomentar dan tidak menerima kalau setelah jauh-jauh dia disekolahkan di universitas ditambah jabatan yang setinggi langit, toh akhirnya harus mengutip sampah di selokan masyarakat desa. Kedua pandangan ini sah-sah saja namun bila makna sebuah pelayanan bagi seorang pelayan masyarakat (birokrat) diterjemahkan, dua pernyataan diatas sangat tidak tepat. Walaupun nantinya sampai pensiun, aparatur terus bergotongroyong membersihkan selokan, toh itu adalah tuntutan sebagai pelayan masyarakat yang harus memberikan contoh baik dari perkataan / kebijakan atau perbuatan / eksen dilapangan. Permasalahannya, aparatur di tingkat kecamatan tidak tanggap bahwa itu adalah sebuah pukulan bagi pemerintah kecamatan / desa / kelurahan. Bayangkan saja kalau setiap saat kepala daerah dan pimpinan unit kerja bergotongroyong membersihkan lingkungan kecamatan yang jorok, tentu kesimpulan yang dapat di ambil, seorang camat atau lurah atau desa sesungguhnya tidak mampu memahami bahwa itu tugasnya dan tidak mampu membina masyarakat di wilayah kerjanya. BIROKRASI ENGGAN TRANSPARAN. Tindakan transparan tentunya akan mengurangi tanda tanya. Sebuah instansi pemerintahan khususnya yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut mengutamakan transparani pelayanan. Transparan dalam bahasa sehari hari berarti tembus pandang atau bisa di lihat secara jelas. Pada birokrasi, jelas tertera semua persyaratan untuk mendapat pelayanan (apakah untuk mendapatkan KTP dan perijinan), lama proses pelayanan sampai selesai, meja mana saja yang harus di lalui serta berapa biayanya. Begitu sulitnya mencontoh restoran atau rumah makan di perkotaan. Ketika kita duduk di meja makan restoran, dihadapan kita sudah tertera menu makanan, uraian dari makanan itu termasuk harganya bahkan lama masak nya pun ada tercantum pada restoran siap saji atau pesan dulu baru di masak. Faktor lain yang bisa dijadikan sebagai alasan keengganan birokrasi transparan yaitu untuk menutupi kelemahan, keteledoran atau ketidakmampuan organisasinya. Di suatu masa ketika pimpinan daerah mengunjungi sebuah sekolah dasar, siswanya tidak bisa membaca padahal sudah kelas 5. Kepala sekolah dan gurunya mengatakan memang si anak itu yang bodoh. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, ternyata gurunya jarang mengajar karena suka tidak masuk, dan jika di tanya kenapa, ternyata guru nya itu malas ngajar sebab terlalu di porsir atau di paksa mengajar di banyak kelas karena kekurangan guru. Ditelusuri lebih lanjut, akhirnya tiba pada permasalahan seluruh guru baru yang ditempatkan di sekolah dasar terpencil itu beberapa waktu kemudian mengurus pindah ke kota kabupaten atau ke sekolah yang lebih menyenangkan. Ini adalah sebuah permasalahan ‘basi’ yang ternyata luput dari perhatian banyak pimpinan daerah sebagai pemegang kebijakan tertinggi pemerintahan. Orang berpikir, adalah kerja bodoh jika kita melaporkan situasi dan kondisi atau permasalahan-permasalahan unit kerja termasuk kondisi sekarang dan kondisi ideal yang diharapkan kepada pimpinan daerah lengkap lengkap permasalahan dan solusinya. Yang menjadi masalah, pertama karena ketakutan instansi pimpinan akan mudah mengevaluasi kinerjanya berdasarkan laporan perkembangan penyelesaian berbagai permasalahan yang dilaporkan secara rutin. Kedua, dengan tidak melaporkan kekurangan yang ada atau data kondisi lapangan, maka peluang menyalahgunakan wewenang masih tetap terbuka bagi instansinya. BIROKRASI TIDAK MAU BELAJAR. Kodrat manusia sesungguhnya adalah belajar sampai mati. Konsep belajar tidak dalam arti sempit yang berarti harus menempuh bangku sekolah. Siapapun bisa menjadi dokter dan sekolahlah di kedokteran atau siapapun bisa menjadi penyuluh pertanian yang baik dan handal bila ia bersekolah di faktultas pertanian. Namun ternyata ada juga belajar dari alam atau lingkungan sekitar termasuk belajar dari pengalaman orang lain. Tidak ada sekolah yang khusus mengatakan kalau di gigit anjing itu sakit, namun tidak ada seorangpun ketika di kejar anjing dan tidak lari terbirit-birit. Belajar dari alam bahwa gigitan anjing sangat berbahaya, maka semua orang akan lari ketika di kejar anjing, kecuali orang itu gila. Demam jabatan membuat seseorang yang dilantik dalam jabatan tertentu lupa mengoreksi diri. Dibanyak pemerintahan, apakah karena keterbatasan sumber daya manusia atau karena memilih yang terbaik dari yang terjelek, cenderung bila seseorang ditempatkan pada sebuah jabatan strategis yang bukan bidang ilmu (pendidikan sekolah yang diperolehnya) ia lupa diri dan merasa menguasai bidang tugas jabatan itu padahal sebaliknya. Seekor tupai sudah dilahirkan untuk pintar melompat dari suatu dahan ke dahan pohon yang lainnya, namun sesekali ia jatuh juga ke tanah karena satu dan lain hal. Berbeda dengan seekor katak atau kodok. Ia pun dari lahirnya sudah di kodratkan akan sangat mahir melompat dari satu tempat ke tempat lain. Antara tupai dan katak memiliki keahlian yang sama yaitu melompat namun orang tidak boleh lupa, seeokor katak hanya bisa melompat di tanah dan tidak bisa melompat dari satu pohon ke pohon lainnya sebaliknya seekor tupai akan mampu melompat dari suatu titik di tanah ke lokasi lainnya di tanah. Logika yang ingin ditampilkan, seeorang aparatur birokrasi yang telah memiliki kemampuan baik memimpin sebuah program atau kegiatan atau uni organisasi yang besar, maka ia pun diprediksikan akan mudah menguasai sebuah pekerjaan kecil atau lebih mudah dari pekerjaan sebelumnya, namun tidak bila sebaliknya. Aplikasi dilapangan, orang awam sering mengatakan “terkejut badan” dialamatkan kepada seseorang yang karena keberuntungan menghampirinya hingga menduduki sebuah jabatan strategis namun lupa diri untuk belajar dan sesegera mungkin belajar ini dan itu. Orang bijak mengklasifikasikan ketidaktahuan itu dalam tiga sifat. Pertama, saya tidak tau apa yang saya tahu. Kedua, saya tau apa yang saya tidak tahu. Ketiga, saya tidak tahu apa yang saya tidak tahu. Kecendrungan aparatur pemerintahan pada umumnya memiliki sifat ke tiga, dan bila ini tidak segera di sikapi, seperti berita yang sering di lihat di televisi dan Koran maraknya kasus penindakan hukum terhadap KKN, disinyalir salah satu penyebabnya karena sifat yang ketiga ini. BIROKRASI KURANG MANUSIAWI. Disebuah sinetron televisi, terlihat adegan seorang ibu tua renta yang miskin menangis sejadi-jadinya didepan anaknya yang sekarat karena kecelakaan lalu lintas. Pihak rumah sakit tetap bertahan tidak mau mengobati si anak bila sang ibu tidak mampu membayar uang administrasi pendaftaran terlebih dahulu. Akhirnya sang anak kehabisan darah dan meninggal sebelum menerima perawatan. Contoh ini sering kita temui dalam praktek penyelenggaraan birokrasi pemerintahan pada kasus-kasus di berbagai bidang pelayanan kepemerintahan. Membuminya istilah kalau bisa di persulit buat apa di permudah sudah dari sejak lama menggerogoti birokrasi pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa kelurahan. Inilah virus (sesuatu yang berbahaya baik berupa program di computer, penyakit di makluk hidup dan atau sesuatu yang berbahaya) yang sangat berbahaya. Walau persentasinya tidak sedikit, ternyata virus itu juga tumbuh akibat dipelihara sebahagian masyarakat atau dikembangbiakkan masyarakat di lingkungan birokrasi. Katakanlah seseorang yang banyak uang ingin mengurus sebuah surat di kantor kecamatan, pada awalnya staf atau aparat birokrasi bekerja dengan baik sesuai tuntutan tugas tanpa mengharap adanya imbalan berupa hadiah atau uang. Namun ketika surat itu selesai dan orang kaya / masyarakat itu menyalamkan atau memberikan uang sebagai tanda terimakasih dan diterima staf kecamatan. Peristiwa ini berlangsung terus sepanjang waktu dari orang-orang yang berbeda sehingga pada akhirnya meracuni pikiran birokrasi sehingga muncullah menjadi sebuah konvensi (sesuatu yang tidak ada peraturan atau undang-undangnya namun karena sudah sering dilakukan atau terjadi maka dianggap itu adalah sebuah keharusan atau kewajiban) bayar dulu baru urusan birokrasi bisa lancar. Pada sisi aparatur yang sepanjang hari berkutat di dalam birokrasi, ternyata di sebahagian besar pemerintahan daerah lupa membangun citra diri dan memupuk kecintaan aparatur terhadap pekerjaannya di birokrasi. Pegawai Negeri Sipil terutama kalangan staf terlebih di level pemerintahan terdepan seperti kecamatan dan desa / kelurahan. Barang langka bila pemerintah daerah melalui pimpinan daerahnya memiliki perhatian lebih kepada aparatur birokrasi yang berdedikasi dan memiliki loyalitas tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Pada umumnya promosi maupun mutasi jabatan belum memiliki indicator penilaian yang jelas. Seorang sahabat dalam diskusi pernah berkata, “seandainya pelayanan pemerintahan termasuk mutasi jabatan, pemberian penghargaan yang berprestasi, sekaligus penjatuhan hukuman disiplin bisa seperti mesin ronsen (rontgen) di rumah sakit. Ketika seseorang berdiri di hadapan mesin itu, seketika itu juga langsung kelihatan apa yang ia miliki sesungguhnya tanpa ada dusta diantara kita”. Namun kembali kepermasalahan umum birokrasi pemerintahan. Daerah masih setengah hati memanjakan aparatur birokrasinya, sehingga ini pun cenderung menyebabkan pimpinan daerah selalu bingung dan mengeluh karena orang yang dipercayakannya menduduki posisi pelayan masyarakat di sebuah jabatan tertentu, bukannya membantu menyelesaikan permasalahan tapi justru menambah masalah baru bagi pimpinan daerah. BIROKRASI ASAL BAPAK SENANG. Paradigma lama ini adalah warisan masa lalu yang memberikan kenikmatan kepemimpinan sekaligus membutakan mata hatinya. Tidak bisa disangkal pada masa-masa pemerintahan dimana pejabatnya gemar melakoni ini, banyak pimpinan apakah pimpinan instansi atau pimpinan daerah yang terjerumus dan berhadapan dengan hukum. Tampil seolah-olah baik bak malaikat ketika pimpinan berada di dekatnya, cenderung dilakukan untuk menghipnotis pimpinan. Ketika pimpinan ingin menguji kecakapan serta kepiawaian staf yang dipercayakan memegang sebuah jabatan, betapa sulitnya menemukan kelemahan. Hal ini seharusnya diantisipasi orang yang memiliki status sebagai pimpinan yang memiliki jabatan sebagai kepala di setiap jajaran birokrasi pemerintahan. Sebagian orang senantiasa menerapkan aturan pengiriman laporan kerja secara rutin oleh bawahannya sebahagian lagi langsung mengadakan hearing (dengar pendapat) dengan para staf dilingkungan unit kerja dan juga langsung berbaur berada di tengah-tengah masyarakat. Dibeberapa daerah, kepala daerahnya demi ingin mengetahui kualitas pelaksanaan kerja instansi pemerintahannya, rela dan semangat melakukan program ‘ngantor di desa’. Ngantor di desa ini tanpa ada acara seremonial atau upacara-upacara penyambutan. Kepala daerahnya datang dan melaksanakan program kemasyarakatan berupa penjaringan aspirasi masyarakat. Tentunya mayoritas masyarakat yang mendatangi kepala daerah hanya untuk bercerita tentang nasibnya, mengadukan aparatur sekaligus menyampaikan aspirasi pembangunan (seperti perbaikan jalan, irigasi, air minum, permbangunan rumah ibadah) namun ada juga yang sekedar ingin melihat wajah kepala daerahnya sekaligus bersalaman. Tanpa ada yang mampu menyangkal, pendekatan psikologis kepala daerah kepada masyarakatnya ini otomatis akan menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat terhadap pembangunan daerah. Terlepas dari adanya unsur keterpaksaan aparatur pelayan masyarakat untuk tidak lagi main-main melayani masyarakat karena selalu di pantau kepala daerah. Banyak ide brilliant penyelenggaraan pemerintahan yang tujuannya membuka wawasan aparat birokrasi untuk menelaah kebutuhan hakiki masyarakat. Salahsatu wujud nyata adalah ada bersama masyarakat di desa berdialog dan melakukan kegiatan pembangunan dengan bergotongroyong. Ada banyak pejabat birokrasi yang sesungguhnya kurang siap menghadapi program ini. Lihat saja ketika turun kelapangan hanya bermodalkan cangkul dan kaus kutang. Seharusnya masing-masing memberikan pembelajaran kepada masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, apapun instansinya. Kecendrungan hanya instansi yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat saja (kesehatan, administrasi kependudukan, pertanian) yang sibuk sendiri dengan barang-barang bawaannya ke lokasi. Sesungguhnya, pembelajaran buat masyarakat itu dapat saja diberikan dalam bentuk selebaran atau informasi-informasi penting yang bermanfaat bagi orangtua, ibu rumahtangga, pemuda, anak-anak maupun pelajar. Bila dibenturkan kepada seluruh unit kerja, jawaban klasik hanya satu kata : dana tida ada. Tahap awal tentu program-program itu belum dianggarkan, namun koordinasi anggaran yang intensif tentu akan mampu menjawab ketiadaan anggaran di suatu unit kerja dengan mengambilkan sedikit dana di kegiatan atau program kerja unit lain. Kuantitas di kurangi dari satu program agar mampu memuat banyak program namun kualitasnya tetap terjamin. Tidak bakalan ribut bila semangatnya sama untuk membangun masyarakat. Tentunya pada perubahan anggaran atau penyusunan anggaran berikutnya masing-masing unit kerja harus mampu membuat program menyahuti hasil investigasi kebutuhan masyarajat pada setiap kunjungan kerja tersebut. Apapun ceritanya, reformasi birokrasi di jaman ini tidak bisa lagi melakukan desentralisasi kewenangan sepenuhnya tanpa memperkuat pengawasan walaupun aparat birokrasi itu istri kepala atau pimpinan daerah. Aparatur yang professional merupakan pilihan satu-satunya bila ingin memberikan warna kesejahteraan kepada masyarakat. Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber penghidupan. Di samping istilah profesionalisme, ada istilah yaitu profesi. Profesi sering kita artikan dengan “pekerjaan” atau “job” kita sehari-hari. Tetapi dalam kata profession yang berasal dari perbendaharaan Angglo Saxon tidak hanya terkandung pengertian “pekerjaan” saja. Profesi mengharuskan tidak hanya pengetahuan dan keahlian khusus melalui persiapan dan latihan, tetapi dalam arti “profession” terpaku juga suatu “panggilan”. Dengan begitu, maka arti “profession” mengandung dua unsur. Pertama unsur keahlian dan kedua unsur panggilan. Sehingga seorang “profesional” harus memadukan dalam diri pribadinya kecakapan teknik yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaannya, dan juga kematangan etika. Penguasaan teknik saja tidak membuat seseorang menjadi “profesional”. Kedua-duanya harus menyatu. Bila demikian reformasi birokrasi yang dikawal oleh ketegasan kebijakan kepala daerah akan mampu secara bertahap mendekatkan pelayanan kepemerintahan kepada masyarakat sampai tanpa ada skat pembatas yang berarti. (Artikel RoBERT HENDRA GINTING)

1 comment :

James P. said...

Bagaimana solusinya bro ? Bukankah yang anda tuliskan itu sudah menjadi budaya...kalau sudah menjadi budaya kan susah di hilangkan...tergantung bos bos nya lah...termasuk konsistensi komitmen para lembaga yang menjaga tidak terjadinya praktek KKN lagi kan...