ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Wednesday 23 November 2011

HAKEKAT BEKERJA UNTUK RAKYAT

TERBERSIT kebanggan sesaat setelah membaca sebahagian Buku “Rakyat Mengadu, Presiden Menjawab”. Buku ini berisikan berbagai kasus / permasalahan serta proses yang telah di tempuh sebagai tindaklanjut dari bedah SMS dan P.O. Box 9949 yang di gagasi Presiden SBY. Keluh kesah rakyat Indonesia ditumpahkan melangkahi berbagai meja birokrasi Pemerintahan dan deretan prosedur yang kadang membingungkan. Bayangkan saja, seorang abang becak boleh mengirimkan SMS dari HP-nya ke Presiden SBY karena mendapatkan perlakukan yang tidak adil dari aparat, korban mal praktek yang mengakibatkan kedua matanya buta, lambatnya proses pelayanan administrasi di kecamatan dan juga warga transmigran yang mengelum karena jalannya rusak parah namun sudah sekian puluh tahun tidak diperbaiki. Inilah sebahagian kecil permasalahan yang disampaikan selain pujian dan dukungan terhadap berbagai kebijakan Pemerintahan seperti gaji ke-13 yang menggembirakan serta dana BOS yang melegakan masyarakat pinggiran.

Hal menarik dari Buku “Rakyat Mengadu, Presiden Menjawab” , dalam hitungan detik setelah SMS atau surat yang dikirimkan sampai ke meja Presiden SBY, berbagai kasus dan permasalahan yang disampaikan masyarakat langsung di tanggapi dan tidak sediki tuntas ditindaklanjut.

Berkaca dari itu, ada rasa gembira serta haru sekaligus kecewa di dalamnya. Buku yang menyajikan keberhasilan penanganan satu demi satu problem atau keluh kesah rakyat ini. Namun pikiran terusik dengan sebuah pertanyaan : Mengapa urusan jalan rusak di desa terpencil haruslah Menteri Negara yang menyelesaikannya ? Mengapa hanya karena lambannya pelayanan administrasi di kecamatan harus Mentri Dalam Negeri yang ikutan repot berpikir ? Haruskah seorang Presiden yang turun tangan agar semua itu tidak terjadi lagi ?

Tidaklah jauh berbeda dengan tindakan brilliant yang di ilhami Pemerintah Kabupaten Dairi melalui motto “ Bekerja Untuk Rakyat” dengan salahsatu terobosan kunjungan kerja ke desa-desa menyatu dengan berbagai suka dan duka rakyat Kabupaten Dairi. Substansi latarbelakang ide pemikiran tersebut tidaklah jauh berbeda dengan pokok pemikiran yang terkandung dalam SMS dan P.O. Box 9949 di atas.

David J. Schwartz,Ph.D dalam bukunya The Magic of Thinking yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti : Berpikir dan Berjiwa Besar, menuliskan : “Jika Anda Percaya, Pikiran Anda Mencari Jalan untuk Melaksanakannya”. Maksudnya, jika anda percaya sesuatu itu tidak mungkin, Pikiran anda akan bekerja bagi anda untuk membuktikan mengapa hal itu tidak mungkin. Akan tetapi jika anda percaya, benar-benar percaya sesuatu dapat dilakukan, pikiran anda akan bekerja bagi anda dan membawa anda mencari jalan untuk melaksanakannya.

Kalaulah mau berpikir jujur, sebahagian orang ada yang berkomentar miring dengan kegiatan Kunjungan Kerja (Kunker) yang dipimpin Bupati dan Wakil Bupati Dairi, Pertanyaannya. “Apa yang masih kurang dari Kunker ini ?” Paling tidak ada dua entry point yang bisa menjadi pemicu dan landasan untuk mulai berpikir menemukan solusi alternative.

PERTAMA, sebagai subjek atau pelaku dalam Kunker ini digambarkan dalam tubuh instansi atau satuan kerja perangkat daerah. Saat Kunker yang menyahuti motto “Bekerja Untuk Rakyat “ di gelar, kalaulah boleh diibaratkan, seluruh instansi Pemerintah Kabupaten Dairi terjun ke “medan pertempuran”. Kemudian “Musuh” yang sesungguhnya dihadapi itu tentu bukan rakyat, karena rakyatlah yang berperang melawan keterbelakangan pengetahuan, kemalasan dan kelesuan semangat membangun daerah. Bak perang di jaman dinasti dan kaisar-kaisar romawi, selalu saja ada tenaga tambahan dan selalu tentara cadangan siap sedia menunggu komando untuk menghadapi musuh. Inilah analogi yang mudah di cerna melihat perlu tidaknya aparatur Pemerintah Kabupaten Dairi turun ke lapangan bekerja untuk rakyat. Wujud musuh bagi seorang petani bentuknya adalah hama tanaman jagung, binatang pengegrek penggangu coklat, virus tanaman pisang, lahan pertanian yang sudah “sakit”, dan kalau di dunia kesehatan, musuh itu berwujud penyakit yang menjengkelkan dan berbagai tradisi yang sesungguhnya kurang menguntungkan kesehatan ibu maupun anak.

Itulah contoh sebahagian musuh-musuh yang harus di hadapi seluruh aparatur Pemerintah Kabupaten Dairi. Bagaimana mereka menghadapinya, tentu masing-masing memiliki peluru yang berbeda untuk melenyapkan lawan. Tidaklah sama peluru yang digunakan untuk membasmi musuk tanaman coklat dengan jagung demikian juga yang lainnya. Meminjam kata-kata bijak saudara kita dari Minangkabau, para pejabat dan staf SKPD yang ikut KUNKER sesungguhnya adalah orang-orang yang ditinggikan setingkat, dimajukan selangkah, haruslah mampu menjadi sandaran dan tempat pencerahan bagi mereka rakyat di desa.

Sebagai objek, instansi Pemerintahan Daerah terutama yang berwujud Camat, setidaknya harus mampu merubah wacana dan pola piker status “quo” yang mempertahankan situasi serta kondisi yang ada minus aktifitas pelayanan kemasyarakatan paripurna. Pelayanan masyarakat yang paripurna adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh sesuai dengan maksud dan tujuan keberadaan instansi di bentuk dalam arti yang luas dan bukan teks book. Katakanlah pada lini terdepan Pemerintahan dan pelayanan rakyat, sosok Camat lah yang harus mampu menjelma menjadi “air” di waktu kehausan dan menjadi “obat” ketika masyarakatnya kesakitan. Kesimpulan yang tentu tidaklah premature dapat diambil adalah waktu yang diberikan kepada seorang camat sesungguhnya harus dimanfaatkan camat untuk ada bersama masyarakatnya dan menapaki setiap jengkal wilayah kerja nya. Acapkali hal ini hanya isapan jempol, bila jujur di cermati ke setiap insan camat, dan secara umum demikian di manapun ia berada. Hal keliru yang menjadi kegemaran aparatur adalah terlalu suka meniru pola tingkah seekor kucing dengan tuan atau majikannya. Perhatikan saja seekor kucing, kalau dilihatnya tuannya pasti dia mendekat, jilat sana jilat sini, kalau tuannya tidak ada, ikan asin di lemari besi pun “almarhum”.

Kunjungan kerja yang telah dilaksanakan tentu akan mewariskan berbagai hal bermanfaat untuk rakyat setempat dan Kabupaten Dairi pada umumnya. Adalah contoh, ketika jalan ke kantong produksi di buka, setelah itu, satu bulan kemudian akan kembali meng-hutan dan ularpun kembali bersarang di situ. Mungkin ini contoh kecil dan sepele, namun untuk menjawab pertanyaan di atas, seyogyanya, pada porsi seorang camat, setelah Kunker selesai, segera menindaklanjuti seluruh hasil kunker tersebut. Kalaulah jalan yang di buka, mari dipipkirkan bagaimana merawat jalan tersebut dengan membersihkan dan membuat drainase nya, kalaulah ada yang kena TB Paru, tentu perawatan khusus plus laporannya tidak kelupaan di buat. Sebagai instansi di level atas di tingkat Kabupaten, sudah harus di rumuskan anggaran untuk perkerasan jalan baru dan pembuatan drainase jalan yang baru di buka tadi. Demikian mungkin seharusnya menjawab dan menghancurkan musuh-musuh yang sering membuat rakyat menangis meratapi diri dan mungkin menghhujat Tuhan karena himpitan kesusahan luarbiasa.

Terkadang pimpinan dan staf, aparatur pemerintahan, hanya berpikir kalau tugas pokok dan fungsinya hanyalah di mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor sekian seperti tertulis dalam Peraturan Bupati yang mengatur uraian tugas pokok dan fungsi.

Kembali ke pemikiran David J. Schwartz,Ph.D tadi, pertanyaan yang muncul. Apakah mungkin karena malasnya berpikir sehingga kinerja yang ditunjukkan aparatur terlebih pimpinan, bukannya menyelesaikan banyak masalah tetapi justru membuat banyak masalah. Ada orang bijak mengatakan “Kalaulah kita tidak mampu memperbaiki, minimal janganlah merusak”. Pumpunan tadi masih relevan bagai aparatur pemerintahan yang nafas hidupnya sesungguhnya adalah pelayan rakyat tidak hanya pelayan pimpinan. Jika budaya jelek pelayan pimpinan ini menjadi pokok inti pengabdian, coba perhatika di sekelilingi kita, sudah terlalu banyak orang yang letih dan kecanduan “angkat telor” menutupi kelemahannya, padahal sesungguhnya “telor” yang diangkatnya busuk. Namanya telor busuk, tentu suatu saat akan mengeluarkan aroma tak sedap dan biasanya dicampakkan untuk makanan anjing.

Pelaku KEDUA dalam menjawab pertanyaan Apa yang masih kurang dari Kunker ? adalah Masyarakat atau rakyat itu sendiri.

Julius Gurning,S.Sos (mantan Kabag Tata Pemerintahan Setda. Kabupaten Dairi/ Penanggungjawab) beserta Tim dalam Buku Rumusan Aplikasi Good Governance, Edisi Revisi ke-3 Tahun 2007, mengatakan : Dalam Tabulasi Identifikasi Permasalahan Prinsip Partisipasi, beberapa penyebab kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu : Pertama di sebabkan Trauma masyarakat jika berurusan dengan instansi pemerintah, banyak mengeluarkan biaya yang tidak dapat diterima akal. Kemudian yang kedua adalah kurangnya kesadaran masyarakat, bahwa pembangunan akan berhasil jika masyarakat juga ikut terlibat.

Kedua hal diatas tentu bukan untuk dipertentangkan namun menjadi ide pemikiran awal bahwa ada lagi yang perlu dibenahi setiap instansi pemerintahan selain pola pikir dan semangat aparaturnya. Sudah menjadi suatu keharusan meninggalkan bentuk pelayanan berwawasan boss atau KKN / NKK dan berlajar menuju pelayanan berwawasan kemasyarakatan.

Kesulitan mendasar yang menyebabkan belum optimalnya keberhasilan program Kunker ini adalah kurangnya keiklasan serta malas. Pertanyaan berikutnya, “Mengapa kurang iklas dan malas?” menyelami Kunker. Jawabannya bisa saja disebabkan kebingungan dan kebimbangan. yang tebal menyelimuti aparatur dan masyarakat. Ada cerita, kepuasan yang muncul sesaat setelah selesai melaksanakan kunker hanya dimiliki beberapa orang saja, padahal masih banyak aparatur maupun masyarakat yang ingin turut didalamnya. Kala suatu waktu, perbincangan di tempat jual Koran mengarah kepada ucapan terimakasih seseorang karena merasa terbantu penyakitnya dapat sembuh setelah mendapat penjelasan dokter saat Kunker, namun cerita lain yang justru lebih dahsyat, kekecewaan dan rasa iba dirinya melihat dan mendengar ucapan dan perkataan seorang ‘penguasa’ yang bertutur tidak santun mirip jaman penjajahan Jepang pada saat memerintah pekerja paksa ‘romusha’. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang di langgar oknum penguasa setempat saat Kunker digelar kemudian ditunjukkan ‘penguasa’ kepada istri kepala desa. Akhirnya istri kepala desa berkelahi dengan suaminya, dan dampaknya, rusak susu sebelanga karena nilai setitik.

Ini sungguh mencederai hakekat Bekerja Untuk Rakyat yang salah satu wujudnya melalui Kunker. Pemikirannya, apakah tingkat keberhasilan Kunker itu cukup ditunjukkan dengan pelayanan KTP 100% atau panjangnya jalan baru yang di buka ? Tentu saja bukan ini jawabannya, seharusnya. Hakekat Kunker sebenarnya adalah kepuasan masyarakat kemudian diikuti kepuasan aparaturnya.

Hal diatas menjawab pertanyaan masyarakat, sedangkan bagi aparatur sedikit berbeda penyebabnya. Saya teringat saat dulu masih mengontrak rumah tempat tinggal. Baru saja saya menempati rumah kontrakan, tetapi ketika ada tetangga mengatakan bahwa saya tidak akan lama menempati rumah itu karena katanya ada orang lain yang ingin menempatinya. Perasaan was-was menyelimuti pikiran saya, yang tadinya saya ingin memperbaharui cet rumah atau menanami bunga di halamannya agar indah berseri, tetapi gara-gara informasi itu saya jadi malas dan tidak iklas plus apatis. Inilah cerita yang bisa di analogikan ke kehidupan aparatur “pasukan” Bekerja Untuk Rakyat. Ketegasan serta indicator keberhasilan plus kepuasan masyarakat seharusnya sudah ada digambarkan. Kalau dulu-dulu ada kontrak poltik yang menjadi acuan atau aturan mainnya sehingga akan menjadi mudah mengetahui keberhasilan program yang dilaksanakan aparatur atau instansi pemerintahan itu apakahan berbanding lurus dengan manfaat atau dampak positif dari masyarakat. Ini juga sebagai sari dari Hakekat Bekerja Untuk Rakyat, memperhatikan apa suara hati aparaturnya.

BEKERJA Untuk Rakyat, tidak akan bisa di lihat manfaatnya bila tidak menggunakan hati untuk menerawangnya. Kacamata emosi dan dendam sesungguhnya lebih buruk dari kacamata kuda bila di pakai membedah untung-ruginya Kunker, apalagi kalau yang melihatnya tidak ikutan Kunker. Ada ilustrasi menarik yang dulu disampaikan seorang tokoh agama saat berkhotbah. Di suatu daerah, seorang tokoh agama berkhotbah dengan semangat ber-api-api. Lalu seorang anak muda mengangkat tangannya dan mengatakan kalau agama yang berkhotbah itu tidak bisa membawa keselamatan, tidak bisa memberikan kebahagiaan dan tidak bisa menyelesaikan permasalahan hidup dunia. Lalu sambil tersenyum, tokoh agama itu mengambil sebuah jeruk dan kembali bertanya kepada anak muda tadi. “Apakah anda tau jeruk ini rasanya manis atau asam ?” tanya tokoh agama. Sang Pemuda menjawab : “Mana saya tau, karena saya belum memakannya!” Dengan tersenyum tokoh agama itu berkata : “Demikian juga dengan agama saya, mari masuklah menjadi anggota agama saya dan anda akan merasakan keselamatan, kebahagiaan serta temukan jawaban dari segala permasalahan anda.” Ujarnya.

No comments :