ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Thursday 17 May 2007

Fenomena Hedonism Gaji Ke-13

Ketika seseorang mengambil keputusan ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil, apakah dengan kehendak dirinya sendiri ( kurwillw ) atau kehendak orang lain, hampir dapat dipastikan cita-cita yang ada di dalam benaknya adalah kapan bisa menjadi pejabat termasuk pejabat negara. Keinginan ini sangat logis sebab bagi seorang PNS, semakin tinggi tingkatan jabatan yang digenggam atau semakin banyak rentang kendali yang dipegangnya, maka semakin banyak pula fasilitas / kenikmatan yang diperoleh.Walaupun kata orang pekerjaan PNS bukanlah termasuk pekerjaan profesional, tidaklah mengecilkan hati karena mungkin saja pemikiran itu dilatarbelakangi lemahnya daya intelektual sebahagian besar PNS dalam hal konsistensi melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Jika dibandingkan dengan para pedagang, investor, wiraswastawan, atau yang ingin menjadi pegawai swasta tuntutannya harus profesional. Sependapat sajalah, bukti yang mudah dicermati lihat saja kecendrungan pola pikir PNS yang mengukur keseriusannya bekerja dengan besaran rupiah yang tersedia. Sedangkan di pihak swasta sendiri ada semacam value system (sistem nilai) sebagai dasar pemberian gaji berdasarkan merrit system (sistem kinerja/prestasi). Sebaliknya, seperti diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi Indonesia bidang Penindakan, pada satu acara resmi, bahwa sistem penggajian PNS masih menganut sistem PGPS (Pedoman Penggajian Pegawai Negeri Sipil) yang diplesetkannya menjadi Pintar Goblok Penghasilan Sama.


Ada juga pandangan merdeka lain yang mengatakan kalau pekerjaan sebagai PNS sebenarnya bukanlah sebagai pekerjaan namun layak dikatakan the hidden unemployment (pengangguran tidak kentara). Tidak usahlah tersinggung, karena memang demikian tergambar sampai saat ini, walaupun pemerintah memiliki keinginan untuk merevisinya, namun sepertinya perdebatan sengit masih sulit menemui pemikiran briliant merubah konsep PGPS tadi. Kalau melihat segregation (pemisahan golongan-golongan dalam masyarakat), status menjadi PNS yang kata orang banyak kasta – nya lebih tinggi dari pekerja swasta atau bahkan pekerja kantor berlantai 20 sekalipun. Sehingga walaupun kekayaannya melimpah ruah, tetap ingin menjadi PNS untuk mengejar status sekalipun pada akhirnya pekerjaan sebagai PNS menjadi pekerjaan nomor 2 setelah keinginan terwujud menjadi PNS. Gaji merupakan hal prinsip selain sebagai sumber pembiayaan dapur rumahtangga PNS, dan yang namanya gaji PNS juga memiliki kekuatan mempengaruhi harga-harga kebutuhan pokok masyarakat. Buktinya saja, setiap ada kenaikan gaji PNS maka sepertinya hukum ekonomi berlaku, harga-harga barangpun wajib dinaikkan, katanya.


Demikian juga dengan adanya keinginan Pemerintah memberikan Gaji ke-13 bagi PNS di Indonesia termasuk Pejabat Negara. Perdebatannya seputar munculnya keinginan Pejabat Negara untuk menolak dan menerima gaji ke-13, yang dinilai sebahagian orang pemborosan atau bahkan pembodohan bagi Pejabat Negara. Seorang PNS biasa menerima gaji ke-13 mulai dari 700 ribu sampai 3 juta rupiah menyesuaikan dengan golongan PNS nya dan jumlah ini sangat dibutuhkan PNS atau “ Pegawai Kecil ” untuk membiayai anak yang akan masuk sekolah tahun ajaran baru atau bahkan membayar hutang selama bulan lalu, walaupun jumlah gaji ke-13 nya tidak seberapa. Namun jika seorang Pejabat Negara ia akan memperoleh gaji ke-13 kira-kira mulai dari 5 juta sampai 20 juta dan ini peruntukkannya berbeda, bisa jadi untuk melunasi kredit mobil atau menambah cicilan pembelian villa di puncak. Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia –pun sepertinya lempar-lemparan pendapat apakah menerima atau menolak gaji ke-13, padahal sebelumnya merekalah yang menyetujui adanya gaji ke-13 di APBN. Tentu saja banyak vested interest (kepentingan-tertanam) bagi mereka dan partainya atau bahkan bagi kepentingan Pemilu 2009 seperti disuarakan pengamat-pengamat politik. Ini sah-sah saja, toh yang namanya politisi “plat merah” (politisi yang di gaji pemerintah) tidak akan bisa konsisten menempatkan dirinya mewakili suara masyarakat diatas kepentingan partainya, dan jikalau mewakili masyarakat itupun jumlahnya hanya sebesar suara pendukungnya saja.


Gaji ke-13 memang menjadi kontraversial dan memang di negara demokratis seperti Indonesia tidak cuma yang enak-enak saja yang bakalan menjadi perdebatan, masalah bencana alam-pun menjadi lahan “bertarung” berbagai kepentingan elit penguasa, elit politik sampai masyarakat biasa yang ingin menjadi elit lainnya, dengan segudang harapan tertentu. Walau kasar dikatakan orang-orang yang demikian suka menari diatas penderitaan orang lain. Gaji ke-13 bagi PNS yang bukan Pejabat Negara memang cukup pantas diberikan, karena secara umum sebahagian besar PNS yang bukan Pejabat Negara datang dari kalangan kurang mampu dan lemah ekonominya. Namun jika seorang Pejabat Negara, tidak ada yang harus mencangkul di sawah, tidak ada yang mengontrak tempat tinggal kecuali mengontrak villa, tidak ada yang harus jalan kaki ke kantor karena tidak punya kendaraan, dan tidak ada yang menangis karena bingung beras untuk dimakan anak sudah habis. Oleh karenanya Fenomena Hedonism (filsafat kenikmatan) Gaji Ke-13 bagi Pejabat Negara sebaiknya di “kunyah-kunyah” lagi. (Penulis adalah Sekretaris IKADIK-PP Dairi-Pakpak Bharat, Dosen UPMI Medan).