ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Inkonsistensi Pemerintah semakin Meradang

Memasuki bulan kedua tahun 2006 ini nampaknya pertarungan politik dan kekuasaan masih menduduki peringkat pertama kasus terpopuler yang dipraktekkan Pemerintah. Sebagai bahagian masyarakat awam yang jauh dari lingkaran kekuasaan poltik Pemerintahan, siapapun kita pasti dapat melihat gambaran kesemerawutan kebijakan penyelenggaraan Pemerintahan terutama menyangkut politik dalam negeri. Tidak menampik berbagai keberhasilan Pemerintah merumuskan berbagai ide stratejik pengentasan kemiskinan dalam format kebijakan-kebijakan pembangunan daerah. Namun disisi lain, justru cenderung sama banyaknya kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat ekonomi lemah. Lihat saja kebijakan Pemerintah di bidang perekonomian dan investasi, sependapat dengan Ryaas Rasyid seorang deklarator otonomi daerah Indonesia, iklim investasi yang diciptakan Pemerintah ( termasuk didalamnya iklim politik dan pemerintahan ) semakin memberatkan investor menanamkan modalnya di Indonesia. Untuk mengurus izin investasi di Indonesia saja rata-rata baru clear setelah memakan waktu 2 sampai 3 tahun sementara Singapore 2 minggu, Thailand 1 bulan dan China sendiri urusan singkat dan selesai di tingkat Walikota.


Di bidang tenaga kerja, menurut hasil penelitian terbaru pada era Pemerintahan baru sekarang ini, lapangan kerja di sektor industri kecil mencapai tingkat kehancuran 90 % dan prosentasi lapangan pekerjaan berkurang sekitar 80 % serta para usahawan di bidang UKM mengalami kehancuran sekitar 50 %. Yang lebih menghebohkan, terjadi peningkatan penghuni Rumah Sakit Jiwa di setiap Propinsi hampir mencapai 100 % dan 50 % diakibatkan karena terjadinya PHK. ( Kajian Prof. M. Ryaas Rasyid,MA,Ph.D dalam Seminar Mengurai Permasalahan Otonomi Daerah).


Kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi tadi tidak saja diperparah oleh munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang berwawasan kedepan seperti kenaikan luar biasa harga BBM, TDL, serta pemborosan yang dilakukan untuk membiayai para ’pejuang amanat penderitaan rakyat’ yang duduk di Dewan dan Pemerintahan, pemberantasan korupsi yang masih terkesan setengah hati ditambah makin tidak jelasnya penerapan Undang-Undang penyelenggaraan hukum dan pemerintahan, mengkristal menggerogoti nilai-nilai kesejateraan masyarakat khususnya masyarakat pinggiran. Kasus lain di bidang hukum, selain penilaian buruk terhadap adanya mafia peradilan di Indonesia juga yang tidak kalah menyedihkan adalah besarnya prosentasi ketidakpastian hukum bagi masyarakat kecil dan pinggiran. Terlalu vulgar memang protes yang dituliskan ini namun mari kita mencermati proses peradilan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga peradilan di Indonesia; sebut saja satu kasus yang di putuskan di Pengadilan Negeri yang dimenangkan oleh si ‘A’ kemudian si ‘B’ banding ke Pengadilan Tinggi dan dimenangkanlah si ‘B’ , kemudian si ‘A’ Kasasi ke Mahkamah Agung demikian seterusnya sampai Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden. Begitu panjang lebarnya proses keadilan yang harus ditempuh membuat masyarakat banyak berpikir kalau keadilan hanya terletak di tangan Presiden dan atau Mahkamah Agung, sedangkan para hakim di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang Keputusannya di batalkan tidak pernah mendapat teguran atas kinerjanya, belum lagi jika kita harus bersentuhan dengan yang konon katanya mafia peradilan.


Begitu sulit memahami jalan pikiran para ‘penguasa’ sekarang yang bertanggungjawab terhadap masalah ekonomi, hukum terlebih pemerintahan. Pada bidang Pemerintahan sebagai lokomotif pencapaian pembangunan masyarakat ( tidak disebut bangsa karena pembangunan bangsa sepertinya diplesetkan sebagai pembangunan bangsa-wan ) masih perlu belajar banyak lagi. Seyogyanya suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan hukum di buat untuk mengawal produk-produk pemerintah yang juga disebut kebijakan berpihak kepada rakyat, namun terlihat begitu sulitnya mencapai cita-cita tersebut. Hal ini disebabkan karena Pemerintah sendiri kurang dewasa dan lebih mengedepankan bargaining politik dibandingkan penegakan hukum untuk rakyat. Memang dinegara berkembang seperti Indonesia, peran partai politik cenderung masih dominan mengudara sebagai alasan pertimbangan utama dalam pengambilan setiap kebijakan Pemerintah walaupun pada prinsipnya kebijakan itu menyangkut hidup dan mati sekelompok rakyat. Namun seperti biasa, dengan alasan untuk menjaga iklim yang kondusif antara eksekutif dan legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan, suara legislatif menduduki prioritas pertama didengarkan tanpa melihat substansi kebutuhan masyarakat yang mendesak. Kita ambil saja contoh pada saat wacana 100 hari pemerintahan baru terbentuk bersamaan dengan harga dolar yang menembus level Rp 10.000,- harga barang dan kebutuhan melonjak tinggi, ternyata Pemerintah lebih ‘ribut’ membahasa pergantian Panglima TNI di DPR daripada upaya perbaikan ekonomi negara.


Kebuntuan-kebuntuan dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan di daerahpun banyak menuai keributan dan perpecahan diantara masyarakat yang sebelumnya erat bersatu akibat pertarungan politik, hukum dan pemerintahan. Ambil contoh kasus di Kota Depok, Walikota Terpilih kalah digugat di Pengadilan ternyata dimenangkan di tingkat Mahkamah Agung, dan inipun prosesnya sangat membingungkan karena disana sini banyak pelanggaran terhadap Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan mengenai Pilkada. Namun apa lacur, mungkin karena banyak pihak yang tutut serta dalam pemunculan kasus-kasus baru untuk memudarkan ingatan orang terhadap kasus ini, maka apa daya lupa lah orang akan inti dari permasalahan yang sedang diperjuangkan di depan mata.


Kasus lain mengenai tidak dilantik-lantiknya Wakil Gubernur Sumatera Utara menjadi Gubernur Sumatera Utara jelas merupakan aksi ‘ bodoh ’ yang dilakoni Pemerintah Pusat termasuk didalamnya anggota Dewan yang terhormat. Pemerintah Pusat dan DPR-RI sendiri telah membuat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam satu pasalnya menyebutkan jika Kepala Daerah berhalangan tetap maka Wakil Kepala Daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya, tetapi sampai lebih dari empat bulan, Propinsi Sumatera Utara tidak memiliki Gubernur. Ini merupakan bahagian ter aneh dari kebijakan Pemerintah yang membingungkan termasuk DPR yang ‘ diam-diam ’ saja menonton perkembangan kasus pemimpin di Sumatera Utara ini. Seperti Penulis ulas pada artikel sebelumnya, seharusnya Pemerintah konsisten melantik Wakil Gubernur Sumatera Utara menjadi Gubernur Sumatera Utara karena ini merupakan amanat undang-undang, sedangkan terkait dengan dugaan tindak pidana lain juga seharusnya aparat terkait tetap memprosesnya. Semuanya tetap berjalan sesuai undang-undang yang mengamanatkannya dan jangan kembali terhambat karena pertarungan para elit politik dengan politik dagang sapi yang dibumbui banyak macam seperti suka tidak suka atau bahkan SARA.


Pemerintah sekarang belajarlah berpikiran dewasa dengan mengedepankan profesionalisme paling tidak seperti kata Prof. DR. Ryaas Rasyid,MA,Ph.D dalam satu makalahnya Membangun Pemerintahan Indonesia yang Baik, yang mengatakan bahwa : “ Pemerintah yang baik bisa diartikan sebagai Pemerintahan yang secara politik ( terbentuk melalui proses demokrasi), secara hukum ( mampu melakukan penegakan hukum ), dan secara administrasi efesien ( organisasi ramping, kinerjanya maksimal, tidka boros dalam pengeluaran). Minimal, Pemerintahan yang baik harus relatif bebas dari kesewenang-wenangan penguasa, korupsi, perampasan hak milik, dan inefisiensi administrasi.”


Kita tidak perlu menuntut banyak, namun setidaknya dalam konteks politik, hukum dan pemerintahan, rakyat dan nasib rakyat kecil harus selalu dihadirkan dalam setiap proses perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan negara dan pemerintahan, termasuk pemerintahan di daerah-daerah. ( Penulis adalah Dosen UPMI ).

No comments :