ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Gaya Wakil Rakyat berselingkuh dengan Kebodohan

Cassel Concise English Dictionary 1989, mendefenisikan konflik sebagi “ a fighf, a collision, a struggle, a contest; opposition of interest, oppinions of purpose; mental strife, aguny “ (suatu pertarungan, suatu benturan , suatu pergaulan, suatu pertunjukan ) pertentangan kepentingan –kepentingan, oponi-opini atau tujuan pergulatan mental, penderitaan batin)”.Demikian juga hanya “kericuhan” di kalangan wakil rakyat terhormat yang duduk di dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, sedikit banyak bersentuhan dengan defenisi konflik diatas. Bagi kota besar dan kota mtropolitan, seperti Medan, sosok seorang pemimpin puncak pemerintahan (top manager ) menjadi. Sangat vital keberadaanya. Konsep kota metropolitan memuat makna kota yang telah memiliki banyak fasilitas modern, kehidupan masyarakat yang lebih mengandalkan industri besar-menengah, serta kepadatan penduduk yang relatif besar di banding daerah lain. Oleh karenaya, untuk mampu meramu dan mengolah semua potensi yang ada (termasuk potensi peluang masalah) dibutuhkan seorang pemimpin utama seperti gubernur.


Paradigma lama, Gubernur yang merupakan pejabat politis adalah orang yang mampu mendekatkan diri dengan berbagai simbol-simbol kekuasaan di masyarakat, kini mulai bergeser kepada makna pejabat yang mampu mendekatkan diri dan di percaya masyarakat. Kepala daerah yang langsung melibatkan suara masyarakat untuk menentukan siapa yang berhak jadi pemimpin. Kasus diberhentikanya (dengan hormat) Gubernur Sumatra Utara T.Rizal Nurdin (almarhum) oleh DPRD Sumatra Utara pada tanggal 19 september yang lalu menjadi tonggak sejarah pilu yang tak akan terlupakan. Seharusnya duka dan kepedihan masyarakat Sumatra Utara tidak mendalam jika sebahagian anggota DPRD Sumatra Utara mampu berpikir lebih jernih serta dewasa dan jantan menghadapi pergantian pimpinan pemerintahan (gubernur) Sumatra Utara.


Melongok Pasal 26 : 3 UU 32 /2004, dikatakan bahwa : “ wakil kepala daerah menggantikan kepala Daerah mengantikan kepala daerah sampai habis masa jabatanya apabila kepala derah meninggal dunia, berhenti diperhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibanya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatanya. Memenuhi pasal 26 : 3 inilah sebagai awal “kebodohan “ sebahagian wakil rakyat propinsi Sumatra Utara. Keengganan menetapkan dan mengusulkan wakil gubernur sumatra utara (wakil kepala daerah) menjadi gubernur Sumatra Utara (kepala daerah) menuai berbagai protes dan kecaman terhadap sebahagian anggota DPRD Propinsi Sumatra Utara, DPRD Sumatra utara Pada umumnya.


Arogansi politik yang ditunjukkan sebahagian anggota DPRD tersebut dari kacamata manapun dipandang sebagai tindakan ”bodoh” yang pantas dilakukan orang-orang seperti tokoh pewayangan Rahwana, yang selalu memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri. Permasalahan adanya dugaan tindakan pidana (pemalsuan) yang katanya (sebahagian wakil rakyat di DPRD) dilakukan wakil kepala daerah, dalam kajian hukum politik dan pemerintahan , prosesnya tidak dapat di nomor satukan dari ketentuan yang mengatur pergantian pimpinan daerah dalam UU No 32 tahun 2004.


Menjadi pertanyaan dan kajian kritis apa sebenarnya yang menjadi dasar serta motivasi sebagian anggota DPRD Sumatera Utara sampai sekarang belum mengusulkan Wakil Gubernur Sumatra Utara menjadi Gubernur Sumatra Utara kepada Presiden Republik Indonesia. Berpikir positip sajalah, pasti seluruh anggota DPRD Sumatera Utara telah membaca pasal 32 : 1 UU 32 yang mengatakan : “dalam hal kepala daerah /atau wakil kepala daerah menghadapi krisisi kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggungjawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya.


Walaupun pasal ini tidak secara bulat dapat dijadikan pijakan menuntut penyelengaraan hak angkat, tetapi dapat saja DPRDSU menggunakan hak-haknya sebagai anggota DPRD, termasuk hak angket. Dikatakan tidak secara bulat karena dugaan kasus yang mengenai gosok pribadi dan kebetulan sekarang menjabat Wakil Gubernur Sumatra Utara terjadi sebelum menjabat wakil Gubernur. Lain dengan kasus kepala daerah dibeberapa tempat karena kebijakanya pada saat menjabat melakukan tindak pidana maka dapat dijatuhkan.


Kembali kita melihat pasal 32 : 3 yang menegaskan jika kepala daerah / wakil kepala daerah diduga melakukan tindak pidana, ada bukti didapat maka cukup diserahkan pada aparat penegak hukum untuk menyelesaikanya. Ayat berikutnya, ,jika pengadilan mengatakan bersalah tetapi belum berkekutan hukum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dan peresiden menetapkan kemudian jika telah memiliki kekuatan hukum tetap, baru dapat diberhentikan.


Namum aneh pada kasus wakil gubernur sumatra utara ,wakil gubernur tidak diusulkan menjadi gubernur Depdagripun sepertinya “ mendiamkan” masalah ini yang ada dalam benak penulis, presiden ataupun Depnagrit” menjadikan pasal 29-4 UU 32 /2004 sebagai” sengaja untuk m,enyikapi permasalahan ini. Dalam pasal tersebut dikatakan presiden wajib memroses usul pemberhentian kepala daerah dan (atau wakil kepala daerah tersebutpaling lambat 30 ( Tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaukan UU tersebut. Dengan demikian, presiden repoblik indonesia, mau tidak mau harus melantik wakil gubernur sumatra utara menjadi gubernur paling lambat tanggal 19-oktober 2005 jika maksud pasal 29 :4(empat).tadi dianulir, dikawatirkan masyarakat akan diajak akan berpikir kearah SARA,semoga tidak .(penulis adalah dosen UPMI)

No comments :