ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Disiplin Setengah Hati adalah Korupsi

Kata Disiplin sudah tidak asing lagi di telinga kita, mulai dari sepatu sampai panjang-pendeknya rambutpun memenuhi syarat sebagai objek untuk sebutan Disiplin. Sebenarnya disiplin memiliki makna ringkas namun kompleks, yaitu sesuai aturan yang berlaku. Ada 2 (dua) kata penting dari makna disiplin yaitu sesuai dan aturan yang berlaku. Sesuai berarti tidak menyalahi atau tidak melanggar ataupun tidak bertentangan. Dalam hal ini diwujudkan pada pola dan tingkah laku seseorang dan lingkungannya. Kemudian aturan yang berlaku merupakan rambu-rambu yang memberikan panduan serta pedoman prilaku dan keadaan yang sepatutnya dilakukan atau yang tidak boleh terjadi. Sejak lama kit mengenal disiplin dan sehari-hari kata disiplin lebih kita kenal pada kalangan militer atau dunia usaha modern. Pada tataran organisasi komando seperti militer, penegakan disiplin tidaklah begitu sulit, mungkin karena kata disiplin itulah yang menjadi “jalan hidup” dalam setiap kegiatan mereka dan acapkali disiplin itu “nyawa” mereka. Namun bagaimana dengan disiplin yang ada di kalangan sipil seperti kehidupan kerja Pegawai Negeri Sipil, contohnya.


Sebagai aparat pelayan masyarakat, selayaknya msing-masing individu harus mampu berpola hidup disiplin terutama dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini menjadi faktor penting karena berbagai upaya kerja pelayanan yang dirumuskan akan mustahil menjadi optimal jika niat dan proses kerja yang ditempuh tidak disiplin atau sesuka hati tanpa berani menertibkan diri sesuai aturan yang berlaku. Jika di kaji lebih dalam, sebagai manusia biasa ada banyak faktor yang menyebabkan prilaku disiplin di kalangan Pegawai Negeri Sipil seperti terlupakan. Faktor pertama adalah kaburnya komitmen pimpinan. Yang namanya seorang pemimpin, sebagai pusat perhatian dan kebijakan maka disiplin mau tidak mau akan berjalan jika kepemimpinanya berpihak kepada berbagai upaya penegakan disiplin kerja. Mustahil jika penegakan disiplin tidak “di kawal” oleh pimpinannya terutama pada level top manager atau pimpinan tertinggi daerah. Keacuhan terhadap perjalanan penegakan disiplin staf seperti menggapai cita-cita dan berhasil dalam mimpi yang indah. Tentunya, akan banyak pujian sumbang dari staf “korban” disiplin yang dialamatkan kepada pimpinan yang gemar gembar gembor penegakan disiplin tapi negatif berlaku untuk dirinya.


Mungkin karena ia (pemimpin) merasa disiplin dalam kamusnya adalah “staf only” karena ia pimpinan atau katakan sebagai seorang pejabat eselon tinggi. Selayaknyalah pemimpin yang profesional mampu menempatkan dirinya sebagai cermin teladan di muka staf, dan membimbing membantu staf untuk disiplin bersama-sama dengan merangkulnya berjlan di samping staf, kemudian terus mendorong staf dari belakang untuk terus bertumbuh dalam berkehidupan disiplin dalam lingkup tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Bagaimanakah pelayanan prima untuk masyarakat dapat diwujudkan jika disiplin aparatur masih terombang-ambing dengan besaran rupiah sebagai seperti penutup doa dalam akhir pelayanan. Inilah yang dikatakan gerbong pertama korupsi yang patut diwaspadai. Sebenarnya jika ditilik lebih dalam dari perbuatan yang tidak disiplin dengan pemahaman korupsi cukup patut bahwa keduanya berhubungan erat dan dapat merupakan wajah hukum sebab akibat.


Menurut pandangan masyarakat hukum Amerika Serikat tentang pengertian korupsi dapat di lihat dari pengertian korupsi seperti kata Kamus Hukum terpopuler di Amerika Serikat “Black’s Law Dictionary”, dimana pengertian korupsi tersebut adalah “ suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak pihak lain. Perbuatan hukum dan secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain” Dari pengertian korupsi di atas, maka setiap hal yang berlawanan dengan hak-hak orang lain dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi, dan tidak hanya yang berkaitan dengan masalah rupiah atau “uang sogok”.


Kalau melihat peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil Nomor 30 Tahun 1980 yang mulai berlaku sejak tanggal 30 Agustus 1980, pada larangan angka 6 (enam) dikatakan bahwa PNS dilarang melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibt menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani. Jelas bahwa korupsi juga dapat dikatakan melanggar PP 30 Tahun 1980 termasuk pasal 6 (enam) di atas. Namun lebih dekat pada kurang maksimalnya mutu pelayanan karena aparatur kurang disiplin seperti kurangnya disiplin segi waktu, kerja, tempat, dan prilaku. Acuannya adalah prosedur resmi pelayanan kepemerintahan dan bukan prosedur “Naga Bonar” atau prosedur suka-suka. Tentu ujung-ujungnya adalah mewujudkan good and clean governance .


Zaman sekarangkan tidak seperti “orde baru” yang kata pelawak Warkop “Maju Kena, Mundur Kena !” . Jadi sampai kapan good and clean governance atau kepemrintahan yang baiik, bersih dan berwibawa terwujud ? . Jawabannya hanya satu, bagi seluruh elemen masyarakat di luar PNS, kapan kita mau tahu dan membuka mata 24 jam menempatkan diri sebagai elemen masyarakat yang peduli akan penegakan disiplin PNS dengan cara dan prosedur sesuai profesi serta tempat yang tersedia. Ini terpaksa dilakukan seandainya suasana kondusif penegakan disiplin masih termarginalkan oleh “Bos” PNS dilingkungan kerjanya. Di tilik satu persatu, mulai dari PNS yang di beri “sumbangan” oleh masyarakat berupa gaji; latarbelakangnya adalah sebagai “upah” pelayanan mereka (masyarakat) kepada para PNS. Oleh karenanya PNS yang tidak disiplin jelas merupakan tindakan korupsi, walau sering tidak di sadari sebahagian PNS.

Memang kalau diurut-urutkan ke atas dalam hal siapa yang berpengaruh besar dalam terciptanya budaya disiplin pada PNS, maka pimpinan daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) - lah yang pertama-tama harus berani berpola disiplin. Paling tidak sebelumnya ia (pimpinan) terlebih dahulu memahami filosofi organisasi mengenai apa artinya staf/karyawan (manusia).
Di Weyerhaeuser Company dan Southwest Airlines (Amerika), secara khusus Manajemen Puncak yang diterapkan memandang staf/karyawan (manusia) seperti :


Ø Manusia adalah dewasa, individu-individu yang bertanggungjawab dan ingin berkontraksi.
Ø Manusia menginginkan dirinya memiliki standar integritas dan etika yang tinggi; mereka adalah pelayan yang bertanggungjawab terhadap bumi dan lingkungan.
Ø Lingkungan kerja didasarkan pada saling menghormati; kepuasan personal, dan peluang bertumbuh bagi semua orang.
Ø Manusia sadar bahwa kerja tim, kerjasama, dan tempat kerja yang bersih, aman, dan di pelihara baik adalah esensial untuk memenuhi komitmen berfokus pada pelanggan / yang di layani (masyarakat).
Ø Pendidikan berkelanjutan adalah sebuah komitmen yang berlangsung terus menerus dan melibatkan semua orang.


Jadi jelas, seharusnya seorang pemimpin pada level apapun (terutama level teratas) berani berkata dan berbuat bahwa disiplin itu hanya oleh semua dan untuk semua. Karena, jika penerpan disiplin masih pandang bulu, maka yang senang adalah para “monyet”, karena monyet banyak bulunya, demikian dibanding manusia biasa.***

No comments :