ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Konflik Pemberontakan Politik PILKADA

MICHAEL Eisner, Pimpinan Disney Corporation pernah mengatakan dalam sebuah rapat yang ia pimpin demikian : “Mengapa tidak ada konflik dalam rapat ini ? Jika tidak ada konflik, pasti ada yang tidak beres”.

Aneh memang, ungkapan dalam yang disampaikan salah seorang pengusaha terkemuka perfileman “kartun” ini. Kalau di kita, justru jika ada konflik dalam rapat dan atau apa saja, maka jelas ada yang tidak beres. Demikian adanya, di saat menanti event akbar penyelenggaraan pesta demokrasi model kedua, PILKADA, sebagai barang baru dalam proses penyelenggaraannya tentu saja banyak menimbulkan tanda tanya. Permasalahan-permasalahan yang timbul sedikit banyak berimbas pada berkembangnya kecemasan, ketakutan, dan kekecewaan.

Konflik menurut Cassel Concise English Dictionary, 1989 didefenisikan sebagai : “a fright, a collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinions or purpose; mental strife, a guny” (“suatu pertarungan, suatu benturan; suatu pergulatan, suatu pertarungan; pertentangan kepentingan-kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin”). Jadi sependapat dengan defenisi konflik di atas, melihat berbagai kegiatan sebagai bahagian dari proses pemilihan kepala daerah secara langsung 2005 ini, paling tidak ada 4 (empat) objek yang muncul dan cenderung menimbulkan konflik dalam penyelenggaraan PILKADA.

Keempat konflik ini bisa berdiri sendiri dalam kegiatannya dan bisa juga merupakan turunan atau bahkan bahagian dari konflik yang lainnya. Objek konflik yang pertama muncul dari tubuh dan keberadaan KPUD itu sendiri, kemudian dari intern Parpol, massa pendukung Parpol atau calon kepala daerah, dan satu objek lainnya. Bermacam konflik yang terjadi menjelang PILKADA di gelar telah mulai bermunculan dan sedikitnya konflik muncul di 23 daerah di Indonesia.

KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) di seluruh Indonesia merupakan satu-satunya organisasi yang di daulat demokrasi berwenang penuh mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung sampai mengantarkannya (calon kepala daerah) menuju sidang paripurna pelantikan dirinya. Oleh karenanya sebagai lembaga independent, KPUD memiliki andil yang sangat besar dalam sebuah proses PILKADA. Tentu saja dalam melaksanakan tahapan-tahapan PILKADA, sosok KPUD harus netral dan menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai, konflik yang muncul bersumber murni dari KPUD sendiri. Mencoba meminjam istilah praduga tidak bersalah, untuk anggota KPUD, kadang pemikiran adanya tindakan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dalam penetapan Calon Kepala Daerah membuat legitimasi dan keabsahan penetapan calon kepala daerah (untuk bertarung di arena PILKADA).

Kasus umum KKN pada organisasi birokrasi pemerintahan yang semula menduduki “peringkat teratas” menjadi bergeser dalam perhelatan perpolitikan dan media massa saat ini, seperti contoh kasus yang sedang menimpa KPU Pusat. Tidak bisa begitu saja disalahkan, jika ada tindakan KPUD yang dengan pemikirannya, membatalkan pasangan calon kepala daerah yang sudah di usung Parpol / gabungan Parpol. Kalau administratif mungkin bisa saja di nilai kebenarannya karena ada undang-undang yang mengatur, tetapi jika permasalahan-permasalahan tekhnis dapat diselesaikan dengan penuh tanggungjawab, bisa saja kompromi-kompromi legal dapat dilakukan antara KPUD dan Parpol secara terbubka.

Kasus pada objek kedua yang langsung mengenai Parpol, yang di duga sebagai hulu permasalahan munculkan konflik dalam proses PILKADA. Mari kita ambil sebagai contoh di suatu daerah, di Indonesia, hanya karena ketidakdewasaan Parpol dalam merumuskan calonnya untuk bertarung di arena PILKADA, penarikan calon yang terjadi sudah selayaknya tidak terjadi walau dengan alasan apapun, jika kita ingin disebut Parpol yang dewasa. Memang permasalahan intern Parpol tidak dapat begitu saja dikesampingkan, namun munculnya calon ganda dari Parpol yang sama, patut dipertanyakan apa latarbelakang penyebabnya. Satu yang bisa kita tangkap, mungkin saja karena dualisme kepemimpinan Parpol pada saat itu sehingga klaim masing-masing versi Parpol-lah yang berhak mengajukan calon. Di sini akan terlihat jelas, Parpol mana yang solid dan tanggung dan pimpinan Parpol mana yang tidak mampu memanage anggotanya di daerah.

Hal kecil yang jika dikaji juga merupakan hal besar ini, cerita panjang ke depan jika tidak hati-hati di sikapi akan membawa pengarus besar dalam perkembangan kepengikutan masyarakat terhadap partainya. Jangan sampai ketidakbecusan pimpinan Parpol meniti salah satu proses PILKADA ini, akan membuat simpatisannya hengkang ke Parpol lain karena kecewa.

Kasus konflik yang banyak terjadi disebabkan oleh keberingasan massa atau kejahatan massa muncul yang dengan berani merusak kantor KPUD, menduduki kantor KPUD, massa protes menuntut pembatalan calon atau menuntut mengapa calonnya tidak lolos, pengaduan KPUD ke pihak kepolisian, sampai ke tindakan penyegelan kantor KPUD. Tindakan tidak dewasa ini di beberapa daerah cenderung anarkis dan terlelu mengedepankan arogansi partai dan dirinya. Terlepas dari massa yang hanya ikut-ikutan biar rame atau karena massa “dipaksa” oleh rupiah.

Seandainya KPUD terganggu dan tidak dapat beraktifitas menyelenggarakan PILKADA di daerah, kerugian tidak saja ditanggung oleh Negara atau daerah, tetapi masyarakat sendiri juga akan mengalami kerugian karena tertunda memilih pemimpin yang akan membangun daerahnya. Oleh karenanya, untuk menyikapi hal ini masyarakat dituntut mau berpikir jernih dan tidak begitu saja menyerahkan proses PILKADA ini kepada KPUD dan atau pihak keamanan. Namun, sebagai warga masyarakat yang baik kegiatan-kegiatan apapun yang tujuannya mengawal penyelenggaraan PILKADA berjalan dengan baik dan benar secara moral dapat diterima siapa saja. Namun, masyarakat juga perlu mengikuti berbagai prosedur tetap yang ada dan menghormati berbagai rangkaian proses PILKADA tersebut.

Begitu bagusnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang didalamnya mengatur proses PILKADA, tetapi jika para pejabat negara, pegawai negeri sipil, aparat, dan masyarakat sendiri tidak jernih berpikir dan konsisten, maka mustahil proses PILKADA yang baik dapat tercapai. Mengapa kita tidak berpikiran seperti ajaran-ajaran Conflict Resolution Network di Australia, sekelompok orang-orang yang mempunyai komitmen sama pada penyelesaian, strategi-strategi komunikasi kooperatif, dan keterampilan-keterampilan yang terkait (Hoda Lacey dalam How to Resolve Conflict in the Workplace).

Sebagai orang timur yang meletakkan kekeluargaan sebagai penopang di atas segala-galanya, penulis kira kita sependapat dengan yang dituliskan Hoda Lacey di atas. Terlepas dari semuanya, dimulai dari diri kita sendiri, mari kita sepakati ungkapan yang di sampaikan Henry Ward Beecher yang dikutip Paul Hanna dalam bukunya Believe and Archieve, “Buatlah diri anda bertanggung-jawab meraih standar yang lebih tinggi dari yang diharapkan orang lain terhadap anda. Dan jangan sebaliknya kita kekanak-kanakan seperti dikatakan J.Huizinga, Salmagundi, 1972, seperti dikutip Albert Camus,dkk dalam bukunya Seni, Politik, Pemberontakan, 1998, yang mengatakan “ Kekanakan, demikian kita akan menyebut sikap komunitas yang prilakunya kurang matang daripada seharusnya ; bukannya membuat anak menjadi manusia malahan menyesuaikan perilakunya dengan perilaku remaja. (Penulis adalah alumni STPDN, Jatinangor 1997).

No comments :