ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Reshuffle Kabinet : Jalan Tol Kampanye 2009

RESHUFFLE KABINET : JALAN TOL KAMPANYE POLITIK 2009
Sebuah Perdebatan Antara Tanggungjawab Moril Dan Perjuangan Politik


Gonjang-ganjing percaturan politik di Republik Indonesia semakin hari menuju kedewasaan iklim yang cenderung moderat dan tidak bersahabat. Hakekat dunia politik modern yang selalu menginginkan jawaban kemenangan kekuasaan atau minimal kesepakatan win-win solution, tidak akan bergeser menuju harapan menuai kekalahan. Posisi Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tertinggi memiliki hak prerogatif menentukan menteri-menteri Negara, sebagai unsur pembantu penyelenggaraan pemerintahan di segala bidang.

Reshuffle Kabinet adalah sebuah peristiwa luar biasa yang hampir sama “seram” nya dengan mutasi jabatan di “kabinet” Pemerintahan Daerah. Ada pejabat yang demam, pilek, jantungan, stroke dan bahkan kembali kepangkuan Ilahi, akibatnya. Reshuffle Kabinet yang memilih menteri-menteri baru di banyak kalangan merupakan suatu bentuk jawaban terhadap tanggungjawab akan kredibilitas dan kualitas yang ditunjukkan seorang menteri. Sangat terpuji jika penampakan idealisme tersebut jujur melahirkan suatu pemikiran jernih untuk membangun bangsa tercinta yang masih banyak dihuni masyarakat miskin seperti Indonesia. Namun alangkah sedihnya kita jika, tangisan dan ratapan serta teriakan Resuffle Kabinet menjadi topeng meraih kekuasaan baru di ajang Pemilu 2009. Atas nama pemilihan umum yang menghasilkan wakil-wakil rakyat terhormat dan yang lebih penting akan menemukan Presiden Republik Indonesia 2009-2014 mendatang.

Itulah panggung politik yang memiliki perbedaan setipis kulit ari manusia jika dibandingkan dengan rasa tanggugjawab, cinta kasih dan kemanusiaan. Lihat saja ketika seorang calon presiden atau calon gubernur atau lebih rendah lagi calon bupati, ketika dirinya berada di tengah-tengah orang yang berduka cita sekalipun, cenderung di cemooh sebagai tindakan kampanye terselubung. Walau tesis ini tidak selamanya benar, karena seluruhnya tergantung hati nurani manusianya. Menggandengkan keduanya, ternyata memang sangat sulit menterjemahkan ke kata-kata dimana sebenarnya perbedaan tanggungjawab moral dan tanggungjawab politik. Yang jelas sedikit makna yang dapat dipahami terletak pada jumlah komunitas yang di bela atau yang mendapat keuntungan di balik keputusan serta tindakan yang di ambil. Demikian halnya dengan Reshuffle Kabinet SBY yang sangat santer terdengar di sela-sela banyaknya menteri yang sakit dan memiliki kinerja rendah. Kalau menteri yang sakit memang jelas pasti mengganggu kinerja penyelenggaraan tugas yang diembannya, namun jika ribut-ribut mengenai tuntutan rendahnya kinerja, masih perlu di kaji lebih mendalam.

Di negara-negara maju apalagi super power, hal yang biasa terdengar jika terjadi suatu kasus atau kesalahan individual sekalipun, yang dilakukan anak buah atau staf-nya, maka pimpinan tertinggi seperti menteri akan legowo (rela) mengundurkan diri. Pembelajaran akan tanggungjawab moral dikedepankan sebagai suatu keharusan walau kehadirannya atas jasa partai politik yang mengusung dirinya. Kedewasaan politik individu dan partai politik jelas ditunjukkan di berbagai negara seperi China, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat yang senantiasa memuji proses demokrasi yang di anut negara Indonesia. Pengunduran diri seorang menteri di negara di luar Indonesia dipandang sebagai tangungjawab moril yang justru tidak ditakuti membawa preseden buruk terhadap partai-nya, namun sebaliknya. Berbeda keadaannya jika ada pejabat politis di Indonesia yang takut mengundurkan diri walau manajemen di departemennya amburadul dan banyak menelan korban atau banyaknya permasalahan yang timbul kemudian diselesaikan namun justru menimbulkan permasalahan baru, selalu di bela setengah mati dengan menunjuk bawahanlah yang harus bertanggungjawab.

Walaupun Pemilu dan Pemilihan Presiden masih sekitar 2 tahun lagi, tetapi menurut berbagai kajian pengamat politik, adalah moment strategis untuk membangun kekuatan politik meraih simpati rakyat demi kemenangan di tahun 2009. Jabatan Menteri hampir sama seperti Kepala Dinas di Daerah, ada banyak kesempatan melakukan perjalanan dengan “tiket gratis” melalui “jalan tol” berkampanye untuk Partai maupun dirinya pribadi. Lihat saja di banyak tempat, kampanye terselubung acap kali di praktekkan dengan suntingan jabatan yang melekat pada dirinya. Sulit memang menelaah apakah kunjungan kerja, pidato, papan bunga, ucapan terima kasih, kelender, sumbangan, bantuan sosial, peletakan batu pertama, sunatan massal dan kawin massal, mobilisasi media elektronik dan non elektronik adalah upaya mencuri start, karena kita tidak bisa menemukan siapa sebenarnya yang kehilangan start. Tentu kesempatan politisi jabatan dengan menyandingkannya pada kegiatan-kegiatan Partai secara etika pemerintahan jelas salah. Dikatakan salah karena konsekuensi dan hakekat sebuah jabatan publik, orang yang menjabatnya harus melepaskan diri dari berbagai aktifitas politik sebab saat dia dilantik dalam jabatan publik (menteri, kepala dinas, ataupun kepala daerah) 100 persen didaulat membela kepentingan masyarakat luas tanpa di batasi oleh warna kulit dan warna bendera partai politik.

Ketidak tegasan peraturan terhadap pejabat negara dan struktural yang ingin terjun ke arena politis sepertinya memang di sengaja, sebab yang membuat undang-undang adalah orang-orang politik tentu saja tidak ingin kepentingannya terganggu. Jika saja rambu-rambu Pemilu, Pilpres ataupun Pilkada lebih netral, meminjam semangat olahraga “ fair play” tidak ada lagi kegiatan yang boleh dilakukan seorang pejabat negara dengan membawa atribut partai politik. Jika titik kedewasaan dalam proses demokratisasi ini terwujud, tentu, para Ketua Partai Politik tidak perlu repot bergerilya memasang “ kaki dan tangan, senjata, ataupun belaian” agar kader partainya duduk di setiap Reshuffle Kabinet. Jika tidak demikian, yakin dan percayalah Reshuffle Kabinet semata-mata hanya menjawab kepuasan partai politik untuk Reshuffle Kabinet dan bukan bersandar untuk memenuhi tanggungjawab moral. (Penulis adalah Alumni STPDN, e-mail : rhgmsi@yahoo.com )

No comments :