ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

MENGGAGAS TNI IKUT POLITIK PRAKTIS

Sebuah Kajian Fenomena Pembusukan SBY atau Strategi Pemilu 2009


Pekerjaan rumah bagi Marsekal TNI Djoko Suyanto, Panglima TNI, sesaat ketika dilantik menggantikan Jendral TNI Endriartono Sutarto, adalah membenahi bisnis TNI dan memikirkan wacana melibatkan kembali TNI dalam Politik praktis. Kedua permasalahan ini menjadi isu utama mengawali kepemimpinan Panglima TNI baru, di era reformasi TNI dalam hal ‘menggilir’ jabatan Panglima TNI . Sebahagian kalangan menilai pekerjaan rumah yang ditinggalkan Panglima TNI lama ibarat ranjau darat waktu yang siap meledak kapan saja dan mengenai siapa saja jika tidak bisa menjinakkannya. Kita dapat membayangkan di awal masa tugas seorang Panglima TNI , isu utama yang dihembuskan bukan menyangkut peningkatan kesejahteraan prajurit atau persenjataan TNI yang banyak menjadi barang rongsokan atau mungkin dikondisikan agar pejabat baru terjerumus kedalam posisi yang sulit. Semuanya berpulang pada pola pengembangan pemikiran manjemen individu dan institusi pejabat Panglima sebagai pucuk pimpinan tertinggi TNI.


Wacana ini tentu saja merangsang anggota TNI serta kerabatnya berpikir panjang jauh kedepan dan tidak ada yang menjamin kalau diantaranya mulai mencari-cari ‘contoh soal’ masa orde baru yang begitu ‘menggairahkan’. Tidak bisa disalahkan jika ada yang berpikiran demikian karena organisasi besar seperti TNI memiliki keunggulan luar biasa di bidang korsa atau korps almamater / kesatuan. Kajiannya, dengan modal kekompakkan luar biasa ini TNI mampu menjadi salah satu kekuatan penentu dibidang apa saja termasuk Politik. Jadi sungguh ‘bodoh’ jika sebahagian orang mengatakan kalau kekuatan Prajurit TNI yang hanya sekitar 1 jutaan tidak akan mampu mempengaruhi suatu sistem politik tanpa memikirkan arah komando untuk kerabat dan sanak saudaranya demi kekuasaan abadi.


Belajar dari ketimpangan top penyelenggara birokrasi pemerintahan pada masa orde baru, kekuasaan sekitar 32 tahun dapat berjalan sebahagian besar akibat besarnya peran TNI dalam perpolitikan negara. Tidak aneh kalau mendengar ada peta kabupaten/kota/propinsi yang kepala daerahnya wajib dari kalangan militer. Walau jamannya berbeda namun, tentu peluang munculnya pola baru dalam menjamin melebarnya peran TNI selain fungsi kemanan negara dapat saja terjadi. Salah satu contoh aktivitas bisnis TNI yang katanya menjadi usaha ‘sampingan’ ternyata begitu strategis dan menjadi tak kalah pentingnya dengan penanganan GAM, dulu. Hal tersebut tentu saja karena kebijakan Presiden sebagai panglima tertinggi di ketiga angkatan dan Polri yang berperan besar dalam memberikan kemudahan aktivitas bisnis TNI. Kondisi tersebut bisa saja berjalan idealis dengan sistem baku yang telah ditetapkan untuk mencegah penyimpangan prilaku anggota TNI yang juga turun ke dunia bisnis dan politik. Pada kancah perpolitikan, tahun 2009 merupakan babak kedua demokrasi baru dengan pemilihan pemimpin daerah dan negara secara langsung. Jika TNI kembali ikut berpolitik dalam artian ada suara TNI di lembaga legislatif dan ada suara yang disumbangkan TNI dalam Pemilu tentunya memiliki nilai positif dan negatif. Melongok nilai positif tentu saja ungkapan hak demokrasi memberikan suara untuk seluruh masyarakat Indonesia terpebuhi bagi TNI, namun nilai negatif yang akan muncul adalah timbulnya perpecahan di tubuh berbagai kesatuan TNI. Pemicu peluang perpecahan itu memiliki banyak indikator yang dapat menjadi alat penghancur tanpa pandang bulu.


Mari kita kaji, jika TNI mulai berpolitik yang nota bene semangat dunia politik itu sendiri adalah menang atau kalah dan untuk itu para pelaku politik yang ada di partai-partai politik tentu akan menggunakan berbagai cara baik intervensi, invasi maupun kolusi. Uang sebagai bumbu pelengkap akan mewarnai setiap kalangan TNI yang telah diperbolehkan terjun kedunia politik. Tidak menyangkal suara dari sebahagian mantan petinggi TNI yang mengatakan jika TNI ikut berpolitik maka akan muncul Kodam Demokrat, Kodam Golkar, Kodam PDI-P dan kodam-kodam lainnya, menyesuaikan dengan bendera partai politik yang mengasuhnya. Jika demikian kejadiannya, sangat sulit kembali menyatukan nafas TNI yang membela rakyat tanpa pandang bulu dan bendera partai, walau Menteri Dalam Negeri yang sekarang kembali cenderung dari TNI (purn) telah ‘mengaminkan’ wacana TNI ikut berpolitik.


Jika sebahagian anggota TNI atau kerabatnya protes akan keberadaan PNS yang juga pelayan rakyat mengapa boleh ikut berpolitik memberikan suaranya, tentu lain kajiannya. Pada sisi pelayan masyarakat sesungguhnya PNS pun tidak boleh ikut memberikan suara dalam Pemilu karena akan mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat kendati kecendrungan itu kecil sekarang, lain dimasa orde baru. Namun ketakutannya bukan pada timbulnya pengkotak-kotakan dalam tubuh PNS tapi karena PNS tidak memiliki senjata yang dapat memicu perang atau korban jiwa secara seporadis. Sementara TNI memiliki persenjataan yang dapat saja dijadikan alat pemaksaan sehingga menjadi ancaman rakyat lain. Kembali ke Pemerintahan sekarang yang dipimpin oleh seorang TNI (Purn), wacana TNI ikut berpolitik dapat saja dijadikan peluang meraup tabungan suara pada Pemilu 2009 karena seperti kajian beberapa pakar politik, pada masa mendatang kharisma seseorang saja tidak cukup untuk mendongkrak perolehan suara yang luar biasa. Oleh karenanya jika peran prajurit dan keluarganya dibangkitkan dan dimanajemen sedemikian rupa, tentu akan menyumbangkan peran yang luar biasa juga.Kebalikannya, wacana ini sendiri bisa merupakan penghancuran karakter SBY sebagai sosok Presiden dari latar belakang TNI, karena dikira akan meniru seniornya yang bisa eksis luarbiasa dengan dukungan penuh TNI.


No comments :