Rangkaian proses Pesta Rakyat yang terbungkus dalam Pemilihan Umum 2004 telah berjalan dalam gerbong-gerbong demokratis yang katanya konsekwen. Hanya menunggu hitungan minggu, Indonesia akan menyambut sosok Presiden dan Wakil Presiden priode lima tahun ke depan. Dua kandidat pasangan Presiden kini bisa tebar senyum tunjuk pesona segalanya. Tentu semuanya itu melambangkan rasa kemenangan dan kehebatan yang penuh harapan bersambung. Pemilu yang dilaksanakan Negara penduduk besar seperti Indonesia ini merupakan implementasi hati nurani rakyat yang konsep awalnya ingin mendudukkan kembali tulisan hukum pernyataan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Kegiatan ini juga sebagai aksi protes terhadap timbulnya berbagai penyimpangan prilaku politik yang dilakukan para wakilnya (wakil rakyat). Sampai saat ini, satu demi satu tahapan Pemilu telah diselenggarakan dan kini hanya menyisakan satu tahapan lagi yaitu pemilihan presiden babak kedua.
Berkaca dari “sepak terjang” kandidat presiden dan wakilnya, paling tidak perlu lagi di “kunyah-kunyah” setiap kata dan prilaku kandidat yang selalu ingin tampak sebagai bahagian dari suatu masyarakat dan atau golongan tertentu. Banyak strategi dilakoni dan disajikan kepada publik untuk siapa serta dimanapun juga, dengan keinginan terbangunnya opini menguntungkan bagi mereka (kandidat presiden). Seperti pembentukan simpati terselubung oleh para kandidat dengan menggunakan media elektronik menumpang pada acara-acara rating tinggi. Kesibukan baru ini cita-citanya menguatkan kecintaan publik terhadap sosok diri sebagai Capres-Cawapres baik dan mencoba merajut benang suka bagi orang-orang bersebrangan dengan dirinya. Paling tidak masyarakat luas yang suka menonton acara-acara idola di berbagi media di ajak berpikir bahwa ia-pun (Capres) akan di kira sependapat-sepaham dan bahagian dari kesenangan penonton.
Hal ini sebenarnya bahagian dari rantai upaya penggalangan opini publik dan merupakan salah satu cara yang cukup efektif mencari perhatian simapti orang. Resumenya adalah seberapa besar kemampuan kandidat meyakinkan publik bahwa dirinya care terhadap mereka sebagai bahagian dari kesenangan masyarakat pecinta acara TV itu. Tentunya kiat sukses seperti ini sah-sah saaja karena masih melambangkan kerja kampanye damai. Cerita lain, upaya mencari simpati menggalang opini irama suka, katanya mudah dilakukan dengan kesibukan kunjung-kunjungan terhadap basis-basis pendidikan murni dan umum. Kemudian di tambah dengan besarnya semangat mengadakan lawatan-lawatan kepada tokoh-tokoh mumpuni dari berbagai aspek kehidupan. Tidak jauh berbeda dari maksud kegiatan sebelumnya, hanya ini mengharapkan “kesaktian” kharisma sosok para tokoh berpengaruh. Nantinya diharapkan akan muncul fatwa dukungan dari para tokoh yang mengikat kroni-kroninya untuk mengikuti petuah-petuah darinya. Inilah salah satu cara paling efektif menarik massa pendukung dengan memanfaatkan pimpinan untuk mempengaruhi pengikut-pengikutnya.
Jika di telusuri lebih lanjut, memang walau seorang “public figure” mengeluarkan statement , tidak menjadi garansi pendukungnya akan sependapat. Salah satu penyebabnya adalah keengganan masyarakat untuk membohongi hati nurani dan kembali terpasung mengungkapkan aspirasinya. Sekarang, semuanya terletak dari seberapa besar kandidat presiden menumbuhkan kepercayaan publik bahwa dirinya adalah pilihan tepat bagi mereka. Kalau kepercayaan bisa terbangun ditengah-tengah masyarakat maka keberhasilan akan datang menjelang.Kardinal Gibbons dalam buku DR. Dale Carnegie yang berjudul Cara Mencapai Sukses Dalam Memperluas Pengruh dan Pandai Bicara, mengatakan : “Saya telah hidup selama delapan puluh empat tahun. Saya melihat , betapa beratus-ratus orang menaiki tangga sukses, dan menurut anggapan saya dari segala faktor dalam mencapai sukses, maka kepercayaanlah yang paling penting”. Para kandidat presiden-pun terlihat menggunakan dialog publik, curah pendapat, dan model kampanye lainnya untuk meperoleh yang namanya kepercayaan. Memang, mengemukakan visi-misi, pendapat dan debat merupakan cara terhormat, apalagi di dukung fakta dan ilmiah. Namun belakangan ini tradisi lama manusia yang doyan hujat menghujat mulai di praktekkan. Jika di kaji lebih lanjut, sebenarnya untuk level negarawan dan pimpinan bangsa sungguh naif melakukannya. Pemilihan umum kan tidak sama dengan seorang dunia gladiator yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Seandainya para kandidat mau menhan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan tidak populer itu, masyarakat tentu damai ditengah perbedaan-perbedaan pendapat (aspirasi).
Sangat disesalkan adanya tindakan sebahagian kkandidat yang bertingkah seperti anak-anak, tidak layak di praktekkan dalam percaturan politik bangsa. Contohnya saja, menggalang kekuatan dengan menyuntikkan perselisihan ke tubuh partai. Cara ini tentunya akan menciptakan benih pembusukan merusak komunikasi intern partai yang merdeka, dan sepantasnya cap tidak ksatria pantas dikalungkan untuknya. Memangsih dalam dunia politik kata orang pintar tidak mengenal, sosok Ksatria seperti Gatot Kaca misalnya. Semuanya berkonsentrasi untuk menang kalau tidak ingin malu karena kalah. Tetapi setidaknya, Indonesia memiliki budaya ketimuran yang rendah hati, ramah tamah dan suka bergotong-royong itu dapat di adopsi dalam etika berpolitik. Sosok Partai Politik itu kan hidupnya dari dukungan simpatisandan kader yang berasal dari masyarakat, jadi diperlukan tatanan berkehidupan politik. Tatanan ini fungsinya menjaga pluralisme pandangan dan perbedaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya, para elite politik harus menyadari dan tidak merusak perekat persatuan yang sudah lama tumbuh sebelum Indonesia merdeka, dulu.
Jika kita melihat, membaca dan menyaksikan lingkungan di sekitar, pada saat ini yang lagi “in” adalah berbicara Koalisi. Dalam terjemahan bebas, dapat di pahami bahwa koalisi merupakan tindakan penyatuan pandangan, emosi, serta kekuatan dengan kontrak-kontrak politik yang merupakan bahagian tidak terpisahkan. Kenapa ada koalisi ? Ini pertanyaan logis untuk di cari jawabannya. Bila berandai-andai atau mungkin sebenarnya, jika kandidat presiden dengan perolehan kursi DPR-RI sedikit memenangkan Pemilihan Presiden, maka dapat di prediksikan penyelenggaraan kebijakan pemerintah akan banyak terkoreksi dan kalau berlarut-larut akan menyebabkan jalannya pemerintahan lamban.
Tentu ini harus disikapi secara bijaksana oleh Presiden terpilih. Tapi ketakutan itu tidak akan beralaskan jika Presiden dan pembantunya berani tampil beda serta konsisten mewujudkan good and clear governance. Dengan demikian rakyat Indonesia yang berdiri di belakang Presiden terpilih tentunya tidak akan diam berpangku tangan saja. Kalau sebaliknya, sang pemenang Pilpres adalah partai atau koalisi partai besar, maaka dapat juga diprediksikan betapa sulitnya mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah. Terlepas dari semua pikiran buruk itu mungkin berbagai ide strategi dari kandidat presiden patut di acungkan jempol, mungkin saja kandidat presiden Republik Indonesia pernah membaca buku Carole Hyatt & Linda Gottlieb yang berjudul When the Smart People Fail (Bila Orang-orang Piawai Gagal), penulis menyebutkan paling tidak ada sembilan alasan umum atas suatu kegagalan yaitu : Keterampilan interpersonal yang tidak baik, Ketidak-laikan, Usaha yang tanggung-tanggung = ketiadaan komitmen, Rencana yang sembrono, Perilaku yang bersifat merusak diri sendiri, Terlalu terpencar-pencar untuk suatu pemusatan, Seksisme-ageisme-rasisme, Manajemen yang lemah = lebihnya atau kurangnya pendelegasian, dan bertahan.Paling tidak semua itu merupakan modal bagi Kandidat Presiden untuk segera menyikapi diri untuk menghadapi kenyataan sebenarnya demi suatu keberhasilan yang tidak gagal. Tetapi di atas semua itu, marilah berpikir positif untuk pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang duduk di eksekutif mupun legislatif bahwa mereka juga berpikir untuk negara Indonesia dan mereka juga berpikir untuk kita, semoga.***
No comments :
Post a Comment