ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Menyidik Politik 'Pahlawan Kesiangan'

Kehidupan perpolitikan di Indonesia semakin hari semakin “berkualitas”, dan semakin mendekati hakekat politik yang tidak mengenal siapa kawan dan siapa lawan. Kondisi ini mau tidak mau menuntut masing-masing insan yang terlibat dalam perpolitikan harus belajar memahami hukum rimba. Politik yang identik dengan - kekuasaan dan mempermainkan - serta cenderung memaksa siapa saja yang jika dihadapkan pada pilihan menang atau menanggung harus berani dan tega menerimanya. Walau akhirnya kriminalitas, pengkhianatan, dan penghancuran karakter lawan sudah menjadi bahagian dari protap yang harus dilakukan. Sebahagian orang pintar mengatakan, salah satu penyebab utamanya adalah karena adanya oknum yang banyak berprilaku negatif menyakiti Partai dan pendukungnya.


Betul kata nenek moyang kita kalau menjadi orang baik itu mudah, tetapi menjadi orang yang bernasib baik itu sulit. Paling tidak hal itu sering kita temukan ditengah peradaban manusia mulai dari mencari sesuap nasi sampai mencari kekuasaan. Tidak jauh berbeda dalam pertarungan di dunia politikpun ungkapan tersebut cenderung tidak pandang bulu menghampiri siapa saja.


Hal ini lambat laun akan melunturkan kepercayaan masyarakat dan akibatnya dukunganpun kabur menjauh. “Hancurnya” beberapa Partai besar dewasa ini diakibatkan munculnya gerombolan-gerombolan yang mau enak sendiri. Dibalik semua itu, diprediksikan adanya kekuatan-kekuatan terselubung yang bergerak menyusupi Partai-Partai besar dengan banyak misi jahat. Sebahagian bertugas membelokkan arah haluan partai, ada yang menginginkan perpecahan kalangan elit Partai, dan bahkan ada yang bertujuan menghancurkan Partai besar itu, secara perlahan. Semua dapat kita amati dalam percaturan politik yang terus berputar sampai saat ini.


Mencermati riak-riak persiapan Kongres PDI Perjuangan yang direncanakan penyelenggaraannya di Bali nanti, banyak yang perlu di kaji mendalam. Kongres yang merupakan wahana tertinggi untuk merumuskan pengembangan Partai adalah saat strategis berkomunikasi menentukan masa depan Partai PDIP kedepan. Namun kita tidak menutup mata jauh sebelum konflik-konflik yang timbul menjelang Kongres, sudah banyak silang pendapat yang mewarnai perjuangan PDIP. Jika di urut-urut, berawal dari kalahnya PDIP dalam Pemilu 2004 lalu, kemudian di susul gagalnya Ketua Umum PDIP diusung bersama Koalisi Kebangsaan untuk menjadi Presiden RI 2004-2009, sebenarnya menggunung kekecewaan didalam tubuh PDI Perjuangan.


Pada masa menjelang Kongres nanti, beberapa hal tersebut sepertinya akan diputarbalikkan segelintir orang dan dijadikan senjata untuk menghambat langkah Megawati menjadi Ketua Umum PDIP lima tahun kedepan. Maksudnya, rentetan kegagalan PDIP itu akan dialamatkan pada ketidakmampuan Megawati me-manage Partai dan ujung-ujungnya menjadi raport merah Megawati. Isu-isu pun banyak dilontarkan dari kalangan atau berbagai “gang” yang ada dalam tubuh PDI Perjuangan, mulai dari kekalahan Pemilu, “bobroknya” beberapa pengurus partai (sambil saling menunjuk hidung lawan “gang”-nya), formatur tunggal dalam kongres yang tidak bernafas demokratis, sampai gagasan-gagasan yang membuat gerah pengurus lawan “gang”-nya.


Siapapun akan tersanjung dan dipastikan bermasa depan “cerah” jika akhirnya menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, nanti. Kaji-kajinya, sebagai Partai terbesar nomor 2 setelah Partai Golkar (sesuai Pemilu 2004) peluang untuk menjadi Presiden Republik Indonesia 2009-2014, atau wakil presiden atau setidaknya sebagai Pejabat Negara pasti di tangan. Jadi jangan disalahkan jika menjelang Kongres PDIP banyak gerakan-gerakan tambahan yang ingin memancing di air keruh. Harapannya, agar orang banyak, peserta Kongres, melihat bahwa dirinya care pada PDIP dan patut dipertimbangkan sebagai Ketua dan pengurus lainnya. Untuk mendapatkan itu, banyak yang tidak malu menghalalkan berbagai cara tampil ke depan dan tidak memang dapat disalahkan karena seperti itulah hakekat ber-Politik, kejam.


Melihat perkembangan hubungan antara legislatif dan eksekutif belakangan ini, sepertinya memasuki era baru yang sangat mudah terbaca. Lihat saja Partai Golkar yang dulunya sangat lantang bersuara di DPR dan cenderung selalu berseberangan, kini seperti malu-malu kucing. Memang sudah dapat diprediksikan prilaku Golkar kedepan setelah jatuhnya Akbar Tanjung dan hancurnya Koalisi Kebangsaan di DPR, membuat haluan Golkar berubah 180 derajat terhadap Eksekutif, berbeda dengan PDIP yang masih konsisten bersuara keras. Contoh nyata dalam alotnya sidang paripurna penentuan layak atau tidaknya kenaikan BBM oleh Pemerintah, tidak lagi terdengar suara Golkar Baru Bersatu Untuk Maju. Tinggallah PDIP mantan rekan kompaknya saat Pemilu yang berjuang bersama beberapa Partai kecil menyambung lidah para demonstran anti kenaikan BBM.


Terlepas dari pemanfaatan dana kompensasi BBM yang katanya sangat banyak bermanfaat bagi rakyat miskin, namun kondisi yang berkembang saat itu kenaikan BBM sangat memberatkan masyarakat kecil. Kalau orang kaya, dipandang, tidak akan pusing memikirkan harga-harga yang melambung tinggi karena hanya dengan Bunga Deposito Bank yang mereka miliki saja masih berlebih banyak untungnya. Berpikiran simple sajalah, untuk jalan keluar subsidi bagi rakyat miskin, mengapa tidak diambil dari saja dari sebahagian penghasilan anggota DPR dan pejabat tinggi negara atau dari biaya operasional seluruh BUMN yang nilainya sangat besar dan terkesan menghambur-hamburkan uang rakyat. Kalau kita menyerahkan semuanya pada PDIP, tentu sulit mewujudkannya, karena suara PDIP di DPR-pun tidak bisa berdiri sendiri dan harus di bantu.


Tebak-tebak buah manggis, jangan-jangan pada saat kongres nanti Ketua Umum PDIP jatuh ketangan Pejabat Eksekutif, hingga nantinya apakah kontrol terhadap Pemerintah atau untuk bargaining politik akan semakin sulit dan rakyat akan terpojok bersuara lagi. Siapa tahu gerakan-gerakan dari “gang” yang tak bernama itu mampu membawa PDIP seperti Golkar yang malu-malu kucing dan salah tingkah. Semuanya tergantung dari peran Politik yang dijalankan Megawati sebelum dan saat Kongres nanti. Rumit memang jika semuanya harus bertanya kepada Politik, karena kalau politik diikutsertakan dalam urusan perut rakyat miskin, sang Politik akan terlebih dahulu bertanya : “honor saya ada ‘gak ?”.


Berkaca dari semuanya, siapa yang berjasa dan siapa yang tidak berjasa atau siapa yang berniat baik dan siapa jahat, nantinya sangat sulit digambarkan. Yang penting masing-masing individu mampu menyikapi diri dan pikirannya agar dapat membedakan mana kawan dan mana lawan, sehingga berbicara di Partai dan berbicara di masyarakat seharusnya sesuai porsinya-lah. Kebiasaan manusia politik yang ingin menuai tetapi tidak mau menabur, mendapatkan bunga tetapi tidak menabung jangan lagi ditunjukkan pada era ini. Bersikap jantan, tampil di depan tunjukkan prestasi dan buat rakyat terkagum.

No comments :