ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Mengusik Kepekaan Nurani Penguasa

Nicholas Rescher dalam bukunya Welfare, The Issues in Philosophical Perspective, University of Pitsburg Press seperti dikutip Prof. DR. Paulus Tangdilintin, Guru Besar Iilmu Sosial Universitas Indonesia pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia ( 1999 ), mengatakan bahwa pembentukan suatu tatanan masyarakat selalu membutuhkan pra kondisi. Untuk mewujudkan masyarakat postwelfare State ( tatanan masyarakat baru) menurutnya harus berangkat dari masyarakat welfare state ( negara sejahtera). Dengan kata lain, postwelfare state akan dapat diwujudkan jika sebelumnya telah ada pertumbuhan tinggi, industri tinggi, dan sistem kesejahteraan yang rapi. Untuk menuju postwelfare state salahsatu pendukungnya adalah adanya sistem kesejahteraan yang rapi. Sistem ini merupakan rangkaian berbagai proses yang diterjemahkan dalam berbagai program kerja untuk mewujudkan pola pembentukan makna kesejahteraan. Pola-pola inilah yang sering disebut ide strategis atau aplikasi kebijakan pemerintahan yang baik dalam pembangunan masyarakat.


Meminjam kajian Prof. Ryaas Rasyid, MA, Ph.D dalam tulisannya Membangun Pemerintahan Indonesia Yang Baik, dikatakan bahwa pemerintahan yang baik bisa diartikan sebagai pemerintahan yang secara politik diterima (terbentuk melalui proses demokratisasi), secara hukum efektif (mampu melakukan penegakan hukum), dan secara administrasi efisien (organisasinya ramping, kinerjanya maksimal, tidak boros dalam pengeluaran). Minimal, pemerintahan yang baik harus relatif bebas dari kesewenang-wenangan penguasa, korupsi, perampasan hak milik, inefisiensi administrasi. Dari pemerintahan yang baik itulah bisa diharapkan lahirnya berbagai bentuk dan tingkatan pelayanan publik yang adil. Adanya komitmen menyebarkan rasa keadilan serta berbagai kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat yang akan membuat mereka ( masyarakat ) semakin mandiri dari waktu kewaktu, diiringi kebijaksanaan pembangunan untuk mempercepat peningkatan dan perluasan kesejahteraan masyarakat.


Hal itu berarti pejabat (pemerintah) / penguasa menjalankan peran absolut dan tak terdefenisi dalam menentukan laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Penguasa acapkali lupa mengejewantahkan dirinya memenuhi tuntutan tugas yang sudah merupakan bahagian tak terpisahkan dari tanggungjawab jabatan. Perilaku penguasa sering tak terkendali dengan berbagai kenikmatan jabatan tanpa mau meluangkan sedikit waktu berbagi keadilan menjalankan tugasnya. Kadang justru kita berpikir dan mendeklarasikan bahwa semua penguasa pasti lupa pada tugas jabatannya saat ia memperoleh kenikmatan jabatan. Sulit memang menebak apakan kebenaran masih ada dalam tubuh setiap penguasa karena begitu sulitnya menemukan penguasa yang setia akan dirinya.


Bila kita renungkan, alangkah nistanya sebagai seorang Pejabat atau katakanlah Penguasa yang gemar mengagungkan kekuasaannya dan menganut filsafat aji mumpung dengan pola pikir sekaranglah saatnya “mendulang emas” . Kecendrungan ini tidak mengherankan dikalangan birokrat terutama pada jaringan birokrasi pemerintahan, sudah menjadi hukum alam atau bahkan konvensi yang sulit terputuskan mata rantainya. Analognya seperti cerita lama segelintir besar wakil rakyat terhormat pada saat kampanye begitu mendengungkan prioritas kesejahteraan masyarakat, namun ketika sudah dipilih dengan sangat mudah ia lupa seperti kacang lupa kulitnya. Mudah mengamatinya, akan terlihat sangat jelas perbedaan saat matahari belum terbit pada karirnya dan ketika sinarnya menyilaukan orang.


Kekecewaan masyarakat dan kalangan birokrasi pinggiran hanya dapat direnungkan ketika sesuap nasi dilahap tanpa lauk dan saat seorang “Kopral Jono “ atau Guru Oemar Bakri bergelut dengan hutang tambal sulam. Tawa dan canda penguasa tak akan mampu mengobati mereka yang bersandiwara untuk kelanggengan kekuasaan walau acapkali mencuri kesempatan menabur hutang budi semu. Kesalahan pemahaman kesejahteraan masyarakat sudah lama terjadi dan tanpa disadari Kesejahteraan masyarakat itu tidak sekedar cita-cita bangsa dan negara tetapi hakekatnya adalah cita-cita rakyat seluruhnya. Ini berarti pandangan para penguasa / pejabat negara seringkali menyimpang menentukan kondisi masyarakat sejahtera menurut barometer penguasa tanpa mempertimbangkan parameter masyarakat.


Bila penguasa masih menjunjung nilai-nilai “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme) bahkan model KKN murni seperti Kooptasi (pengambil alihan / penguasaan) terhadap lembaga-lembaga tempat mencari keadilan. Apa daya billa kooptasi terhadap lembaga-lembaga tempat mencari keadilan ( kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan ) oleh sekelompok orang, tentu sulit mencapai kesejahteraan masyarakat karena hukum menjadi mandul. Akhirnya, hukum yang mana yang mampu mengawal titian pencapaian kesejahteraan masyarakat, yang baik dan yang adil, tentu hanya rumput bergoyang yang mampu menjawab. Ketakutan rakyat kecil, jika wujud rahasia “filosofi “ hukum yang dipraktekkan penguasa pada era modern bercermin kepada celotehan – dilarang jeruk makan jeruk – atau – sesama angkot dilarang mendahului.


Harapannya terletak pada bila hati nurani penguasa bangsa terketuk oleh tangisan suara keadilan atau jika tidak, menunggu bencana merenggut kebebasannya. Saat bencana itu menghampiri, nurani tidak layak lagi dikedepankan karena kehancuran sudah melumatkan dirinya. Oleh karenanya berpalinglah para penguasa bangsa bangunlah bangsamu, cintai kampung halaman dan jangan merusak jika tidak mau berbuat. ( Penulis adalah Sekretaris IKADIK-PP Dairi / Dosen Pengajar UPMI Medan ).

No comments :