ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Mencari Sekretaris Daerah yang Mengakar ke Bawah

Paradigma lama ternyata masih terselip dalam UU 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 122, yang menginginkan campur tangan Pemerintah Pusat dalam menentukan kandidat sekretaris daerah. Hasrat menyerahkan seluruh kewenangan mengatur daerahnya sendiri bagi propinsi maupun kabupaten/kota sepertinya belum dapat dipahami oleh para “bidan” UU 32 Tahun 2004. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kewenangan daerah yang masih berada di pusat dan walaupun sebahagian sudah diserahkan, namun nampaknya kesan setengah hati dari Pemerintah Pusat-pun masih ditunjukkan seperti penetapan sekretaris daerah misalnya.Jabatan sekretaris daerah merupakan jabatan puncak di daerah bagi karir seorang pegawai negeri sipil daerah. Seperti dijelaskan dalam Pasal 122 ayat 4 : “Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya”. Kemudian pada penjelasan ayat tersebut dikatakan : “yang dimaksud pembina pegawai negeri sipil dalam ketentuan ini adalah pelaksanaan pengembangan profesionalisme dan karier pegawai negeri sipil di daerah dalam rangka peningkatan kinerja”.


Jelas terlihat begitu besar dan pentingnya kedudukan seorang sekretaris daerah dalam membantu kepala daerah termasuk dalam menentukan karir pegawai negeri sipil lainnya. Dengan demikian, sosok seorang sekretaris daerah merupakan sosok panutan yang dituntut memiliki pengetahuan managerial pemerintahan luas dan juga dikenal memiliki responsibility yang tinggi terhadap pegawai negeri sipil di daerahnya. Oleh karenanya, untuk menduduki jabatan sebagai sekretaris daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, sudah selayaknya seorang pegawai negeri sipil memiliki kualifikasi luar biasa, baik luarbiasa dalam tugas managerial pemerintahan juga luarbiasa dekat di hati pegawai negeri sipil lainnya.


Paradigma lama yang masih tersisa dalam UU 32 Tahun 2004 pada penjelasan Pasal 122 ayat 4, mengharuskan seorang kepala daerah wajib mengajukan 3 calon sekretaris daerah yang dipandang memenuhi syarat-syarat administrasi sebagai calon pemegang jabatan eselon tertinggi di daerahnya. Kemudian Pemerintah Pusat akan menentukan siapa yang layak menjadi sekretaris daerah menurut kacamata “orang pusat”. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang memberikan kedewasan setiap daerah mengelola daerahnya termasuk memilih pemimpin-pemimpinnya.


Salah satu kedewasaan yang telah diberikan Pemerintahan Pusat yaitu memilih kepala daerah di masing-masing wilayahnya dan prosesnya telah dilalui banyak daerah. Hal ini tentu saja dipandang positif dan anggapannya bahwa Pemerintah Pusat betul-betul memahami semangat otonomi daerah yang didengung-dengungkan. Namun sayang ternyata masih ada tersisa hak daerah yang “dirampas” Pemerintah Pusat, contohnya dalam hal pemilihan sekretaris daerah.


Seharusnya untuk menentukan sosok seorang sekretaris daerah, Pemerintah Pusat cukup berperan sebagai wadah legalisasi atau mengukuhkan Pegawai Negeri Sipil yang telah dipilih oleh daerah dan bukan sebagai palu pengambil keputusan. Memang betul Pemerintah Pusat perlu dilibatkan karena jabatan sekretaris daerah sebagai pejabat memiliki eselon tertinggi di daerah perlu diketahui dan dipikirkan untuk pengembangan karirnya kedepan, jika suatu saat terjadi mutasi jabatan. Namun sebaliknya, keinginan mendapatkan seorang sekretaris daerah yang betul-betul “mumpuni” membina staf / PNS lainnya sebenarnya dapat saja dilakukan oleh setiap daerah tanpa campur tangan Pemerintah Pusat menentukannya.


Peran Menteri Dalam Negeri dalam hal memberikan penilaian terhadap kandidat sekretaris daerah memang cukup penting, namun kewenangan memberikan penilaian inipun dirasa tidak menjadi keharusan karena dasar-dasar penilaian seseorang untuk menjadi sekretaris daerah sudah ada ditetapkan dan sudah dilaksanakan oleh kepala daerah. Kalau demikian untuk apa Menteri Dalam Negeri melakukan penilaian ulang yang juga telah dilakukan oleh kepala daerah dan baperjakatnya. Tentunya tarik ulur berbagai kepentingan pemerintah atas entah kepentingan apa namanya patut dipertanyakan mengapa dibiarkan terjadi.


Membaca beberapa aturan perundangan kepegawaian yang mengatur kriteria sesorang untuk dapat menduduki suatu jabatan struktural, bahwa diluar kriteria-kriteria penilaian yang ditentukan Pemerintah Pusat / undang-undang masih banyak lagi kriteria yang patut dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama sebelum mendudukan seseorang dalam suatu jabatan struktural, termasuk jabatan sekretaris daerah. Beberapa kriteria itu antara lain integritas, moralitas, kepemimpinan, loyalitas dan kemampuan. Dari lima kriteria tersebut, seluruhnya didapatkan dari hasil interaksi atau hubungan seorang kandidat pejabat struktural dengan lingkungannya, termasuk pimpinan dan staf nya. Tidaklah mungkin Pemerintah Pusat mengetahui seberapa baik atau seberapa sempurna kepemimpinan seseoran yang di daerah karena Pemerintah Pusat sama sekali jarang/tidak pernah bergaul dengannya.


Oleh karenanya, pada tahap menentukan siapa calon-calon yang layak menduduki jabatan sekretaris daerah, peran Baperjakat terutama kepala daerah dominan memberikan penilaian sesuai indikator-indikator penilaian yang telah ditetapkan sebelumnya. Kemudian setelah didapatkan lima atau tiga orang calon sekretaris daerah, maka untuk menentuka siapa yang berhak menduduki jabatan sekretaris daerah, harus diserahkan kepada Pegawai Negeri Sipil di daerahnya.


Hal ini berarti, penilaian dari segi moralitas, integritas, kepemimpinan dan loyalitas murni menjadi hak Pegawai Negeri Sipil lain di daerahnya. Dalam arti setelah penetapan calon-calon sekretaris daerah oleh kepala daerah, maka diadakan semacam Pemilihan Umum sekretaris daerah yang diikuti seluruh Pegawai Negeri Sipil di daerahnya. Hasil Pemilihan Umum inilah yang menjadi dasar kepala daerah menetapkan seorang Pegawai Negeri Sipil menjadi sekretaris daerah di daerahnya. Proses selanjutnya, kepala daerah menyampaikan hasil pemilihan umum ini kepada pemerintah atasnya.


Proses ini dipandang cukup strategis untuk mendapatkan seorang Pembina Pegawai Negeri Sipil di daerah yang betul-betul dikenal dan mengakar di hati Pegawai Negeri Sipil lainnya. Kecendrungan semangat proses pemilihan Sekretaris Daerah selama ini masih menyisakan penilaian “suka atau tidak suka” terhadap sosok seorang calon sekretaris daerah dan lebih ekstrim lagi penentuan sosok seorang sekretaris daerah tergantung besarnya “upeti” yang dihibahkan kepada penguasa, jika prosesnya masih menunggu restu Pemerintah atas.


Semuanya berpulang kepada aparatur pemerintahan di mana saja berada termasuk yang ada di Pemerintah Pusat, apakah materai pelayan masyarakat yang menjadi simbol utama seorang Pegawai Negeri Sipil masih saja berkutat pada permasalahan untung dan rugi. Walaupun undang-undang yang mengatur bertentangan dengan semangat pemimpin yang mengakar diatas, sudah selayaknya mulali dipikirkan Pemerintah Atas untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan meletakkan kembali bahagian otonomi daerah yang masih terpasung dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.


Diharapkan napas otonomi daerah yang menjadi kebanggaan setiap daerah dimana saja di Indonesia tidak lagi “dikangkangi” Pemerintah Pusat dengan menetapkan peraturan-peraturan yang “mengkebiri” daerah untuk mendewasakan diri dan daerahnya. Kebebasan daerah mendewasakan dan mengembangkan dirinya memang penting juga dibatasi dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah agar tidak mengganggu kepentingan daerah lain atau bahkan negara. Dengan demikian semangat persatuan dan kesatuan daerah dan Pemerintah Pusat tetap terjalin dalam satu ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Penulis adalah Dosen UPMI, Alumni STPDN dan Magister Sains Bidang Ilmu Sosial)

No comments :