ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Penguasaan Kesadaran Kritis Massa

PENGUASAAN KESADARAAN KRITIS MASSA
Sebuah Catatan Penghianatan Penguasa Terhadap Hati Nurani
Oleh : Robert H. Ginting, AP, M. Si




ANTONIO Gramsci, seorang ahli Politologi ( Ahli Politik dan ideologi ) memberi sumbangan dalam dua macam sarana kekuasaan untuk maksud dominasi atau penguasaan itu. Yang pertama disebutkan Coercive Power, yaitu cara dan sarana untuk menguasai secara fisik dan memaksa dengan kekerasan. Sarana-sarana penguasan fisik ini berbentuk senjata, penjara, ancaman, sampai penguasaan secara fisik hingga yang dikuasai tidak bisa berkutik secara fisik. Yang kedua menurutnya adalah Coercive Power, yaitu bentuk-bentuk sarana penguasaan non fisik namun justru canggih kerena yang dikuasai adalah akal budi serta kesadaran kritis manusia.

Jika mencatat pandangan Frans Mangnes Suseno dalam bukunya Etika Dasar, sumbangan Antonio Gramsci itu merupakan suatu wujud dari kebebasan sosial. Kebebasan bagi manusia pertama berarti bahwa ia dapat menentukan apa yang mau dilakukannya secara fisik sesuai dengan kehendaknya, tetapi dalam batas-batas kodratnya sebagai manusia. Kebebasan manusia ini bukan sesuatu yang abstrak melainkan konkret, sesuai dengan sifat kemanusian. Meskipun ia menggerakkan tangannya keatas dan kebwah dengan kecepatan tinggi, ia tetap tidak akan bisa terbang seperti burung.

Mari kita meninjau hasil studi Antonio Gramsci perihal cara-cara dan sarana untuk menguasai secara fisik dan memaksa dengan kekerasan yang mengekang kebebasan kita adalah paksaan, karena tubuh kita berada dibawah hukum alam, kebebasan menggerakkan tubuh kita dapat dikurangi atau dihilangkan dengan kekuatan fisik yang lebih kuat. Ini berarti paksaan ketika kejasmanian kita dipergunakan untuk membuat atau melakukan sesuatu yang tidak kita kehendaki. Tentunya ini bertolak belakang dengan kebebasan rohani yang mempunyai makna bebas menentukan sendiri apa yang kita pikirkan untuk kebaikan dan bukan nafsu belaka.

Dari hegemoni sebagai penguasaan tak langsung non fisik dari rezim penguasa untuk menguasai kesadaran kritis massa dengan cara menguasai jagat, uang, kekuasaan serta selera massa dalam pemikiran dan opresiasinya. Konsep ini dipraktekkan pada peraturan dalam hubungan satu individual dengan individual lainya yang berinteraksi pada suatu insititusi ( negara, NGO, masyarakat ). Cerita panjang yang menyoroti para penguasa, diurut dari pusat sampai pelosok terbiasa berpola seperti “ badut-badut “ yang memberikan tontonan kesedihan tanpa mampu menghibur untuk melupakan berbagai fantasi sosial. Dengan menaklukkan dunia dan siapa saja, maka mekanisme “ kambing hitam “ serta “sasaran tambak” untuk memindahkan sasaran frustasi sosial ke korban-korban yang direlakan, sementara seperti korupsi, kolusi dan sistem dominasi diluputkan terus menerus dari sasaran kritik Kontrol massa masyarakat.

Hal ini jika dicerminkan ke sebahagian kehidupan dilingkungan Negara Indonesia, kesenjangan-kesenjangan yang ada hasil dari praktek sebahagian birokrat spekulan-spekulan politik cenderung bertingkahlaku menguntungkan diri sendiri . Konsep hegemoni diatas tidak berbeda dengan kita temui di pemerintahan dan masyarakat, kehidupan yang kompetitif dalam masyarakat ( termasuk penguasa ) terbiasa mengandung prinsip hidup “ siapa lu…siapa gue” dan konsep pemikiran negatip yang penting “ saya selamat dulu “ menimbulkan banyaknya korban-korban sosial tentu saja korban-korban ini sebagai batu loncatan untuk meraih lebih keberuntungan dan kesejahteraan pribadi/kelompok plus luput dari kesalahan. Jika kita gali dan pahami akan diperoleh suatu pemikiran banhwa pandangan ini menciptakan kultur negatip dalam pembangunan atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan pembangunan ( tujuan organisasi ) karena pembebasan masyarakat/orang yang dipimpin/dibina/dikuasai seperti “ di kebiri “. Hal ini tercermin dari tingkah para tuan-tuan pengusaha dan penguasa birokrat pemerintahan sebagai yang selalu mengintervensi dan mencocoki mansyarakat (bawahan ) dengan arahan/keputusan/intruksi yang harus ditanggapi sebagaii “ wahyu dewa “

Jadi apapun yang diteriakkan penguasa yang memiliki kuasa dianggap benar dan wajib dijalankan jika tidak ingin mendapatkan kesulitan. Seandainya suatu saat bila konsep kebijaksanaan itu macet/gagal atau menimbulkan dampak sosial yang merugikan individu/komunitas maka penguasa ini akan berkelit melindungi dirinya dari segala tuntutan dan tuduhan. Lebih jauh lagi penguasa ini dengan kuasannya merekayasa dan menciptakan suatu focus interest yang lain sebagai upaya mengalihkan perhatian permasalahan pokok diteruskan dengan menimbulkan berbagai kegoncangan serta mencari kambing hitam sebagai tindakan cuci tangan penguasa.

Dalam situasi sosial terhegemoni dan otomatis ini menimbulkan paling tidak tiga prilaku. Prilaku pertama, apatisme dan nomali atau bisu diam disebabkan dilumpuhkanya kesadaran kritis dan dunia lambang serta mimpinya. Konsep ini memandang tingkah laku yang dianggap baik adalah yang dapat memuaskan dan menbantu orang lain serta disetujui, karena imitasi, nantinya masyarakat sadar sendiri akan kebohongan itu dan berbalik mencari identitas menetang para penguasa karena ia di “ kibuli “. Prilaku kedua memakai kompensasi ketidak berdayaan dalam dunia mimpi, judi, bias, dan dualisme kekuasaan. Fenonema yang muncul adalah krisis kepercayaan, saling curiga dengan relasi, dengan sesama akan berlangsung amat negtif. Prilaku inilah yang sering dipraktekkan karena merupakan “ senjata ampuh “ untuk menghancurkan karakter, kelompok, masyarakat, rekan, pemimpin atau birokrat lain.

Prilaku ketiga yaitu penomorsatuan apa saja yang membuat orang yang merasa tampil sebagai orang yang berkuasa atau bewenang. Arogansi ini dengan mencari muka pimpinan atau penguasa yang diatasnya dan menjadikannya senjata untuk mendukung mendukung arogansi-arogansi, tidak memandang siapa kawan dan lawan.

Dimana pun kita, suara hati yang universal berlandaskan norma-norma, aturan yang dilandasi ajaran agama/kepercayaan selayaknya mampu membentuk sebuah kesatuan, kesepakatan memiliki daerah, negara atau insitusi sebagai diri sendiri dan berprinsip itu adalah juga tanggung jawab “ saya “ dan bukan mau enaknya sendiri karena ada peluang dari struktur yang ada, demikian. (Penulis adalah Dosen Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia, Sidikalang) .

No comments :