ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Perseteruan “Bodoh” DPD dengan DPR Menjelang HUT RI

RIBUT – ribut dalam lembaga terhormat di Pusat sepertinya tidak akan sirna walaupun jaman dan waktu terus berkembang menuju kesempurnaan. Kita masih ingat pada satu masa, dulu, keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR) juga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah “alat” penguasa untuk meng-amin-kan berbagai niat penguasa. Sehingga ditelinga kita tidak asing lagi ungkapan-ungkapan bahwa lembaga-lembaga terhormat (DPR dan MPR) adalah kelompok paduan suara yang selalu membawakan lagu setuju.

Melalui revolusi demokrasi yang terbentang, kehadiran DPR dan MPR-pun berubah mencoba mencari arti kebebasan demokrasi dan pengabdian kepada masyarakat. Sosok DPR tetap sebagai lembaga legislatif yang kuat dan “ditakuti” oleh penguasa, sampai saat ini. Paradigma ini melahirkan berbagai spekulasi-spekulasi dari berbagai partai politik terutama yang memiliki kursi kecil di DPR untuk eksis dalam kancah perpolitikan Indonesia. Banyak tindakan yang dilakukan sebahagian partai politik yang selain ingin memperoleh dana juga mendapatkan kekuasaan di pemerintahan juga bisnis.

Komposisi MPR yang dulu berasal dari anggota DPR dan berbagai utusan-utusan dari daerah dipandang tidak efektif karena disinyalir para utusan dari berbagai golongan tersebut tidak independent. Kenyataan yang kita temui mulai dari proses penjaringan sampai duduk di MPR, keberadaan anggota-anggota utusan masih berkiblat kepada apa kata partai politik yang menjadi induk semangnya. Harapan akan murninya semangat anggota (MPR) utusan berbagai golongan menyuarakan hati rakyat yang diwakilinya sirna karena pada akhirnya dalam bertindak tetap tidak mandiri.

Saat ini, gerbong reformasi demokrasi terus bergulir dan merubah keberadaan utusan-utusan golongan dari berbagai daerah menjadi perwakilan daerah dalam suatu lembaga Dewan Perwakilan Daerah. Lepas dari pengaruh partai politik, DPD mencoba menempatkan dirinya sejajar dengan anggota DPR karena baik anggota DPR maupun DPD sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Pada hakekatnya, substansi yang mendasar yang membedakan anggota DPR dan anggota DPD adalah pada sisi institusi yang menaunginya. Para anggota DPR yang karena fungsi DPR adalah sebagai lembaga legislasi, maka peran aktif DPR dalam urusan-urusan pemerintahan pusat wajib banyak dan tegas.

Disisi lain, anggota DPD yang merupakan lembaga baru di era reformasi ini sebenarnya dibutuhkan untuk membawa suara-suara masyarakat di daerahnya, termasuk berbagai keluhan masyarakat yang tidak terbawa oleh partai politik yang diwakili anggota-anggota DPR. Wacana yang dapat diambil, sebenarnya para anggota DPD lebih merdeka dalam “bertransaksi” politik dibanding anggota DPR yang harus “manut” pada keputusan partainya. Kelemahan anggota-anggota DPD ini terletak pada organisasi atau institusi yang tidak ada menaunginya di daerah. Kelemahan ini mengakibatkan para anggota DPD tidak bisa berbuat banyak menyerap aspirasi masyarakat bawah.

Kekurangan ini mungkin terpikirkan oleh anggota DPR namun tidak disadari oleh sebahagian anggota DPD yang sama-sama mengisi kursi-kursi MPR. Pada prakteknya dalam “partisipasi” penyelenggaraan pemerintahan negara, para anggota DPD-pun terkesan memposisikan dirinya sebagai lembaga legislatif sama seperti anggota-anggota DPR. Penyimpangan pemahaman anggota DPD ini tentu saja memicu api perseteruan antara anggota dan pimpinan kedua lembaga terhormat ini. Sidang-sidang yang diselenggarakan DPR yang mengundang Pemerintah acap kalai “diberangi” DPD karena mereka tidak diundang atau tidak dilibatkan.

Puncak perseteruan antara DPR dan DPD pada rencana penyampaian Pidato Kenegaraan yang sudah menjadi suatu konvensi pada tanggal 16 Agustus 2005 nanti. Kebiasaan di Negara Republik Indonesia, penyampaian Pidato Kenegaraan Presiden sehari menjelang ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini disampaikan pada Rapat Paripurna pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Namun, para pimpinan dan anggota DPD seperti kebakaran jenggot karena merasa kurang dihargai DPR.

Kasus ini mengemuka akibat “kesalahan” DPR yang pada surat awalnya hanya mengundang pimpinan DPD untuk menghadiri sidang Paripurna mendengarkan Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus nanti. Kasus ini berkembang menjadi besar dan menjadi konsumsi politik hangat di negara yang berkembang seperti Indonesia ini. Namun didalam berbagai tindakan dan keinginan anggota DPR yang banyak memicu kontroversial, sepertinya kini langkah DPR dipandang tepat dengan rendah hati mengakui “keteledoran” nya kepada DPD. Sehingga DPR-pun melayangkan surat undangan kepada 128 anggota DPD lainnya.

Sayangnya, DPD tetap “ngotot” dan meminta kepada DPR bahwa Rapat Paripurna mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden RI adalah rapat gabungan DPR dan DPD (joint session). Namun, sepertinya DPR tidak memberi “hati” lagi dan menolak permintaan DPD ini dengan alasan bahwa rapat tersebut merupakan rapat rapat pembukaan masa sidang DPR yang bersamaan dengan penyampaian RUU APBN dan Nota Keuangan oleh Presiden yang ditujukan kepada DPR bukan DPD.

Kalau dikaji ulang, jika DPD dan DPR menggelar rapat paripurna gabungan maka akan tergambar bahwa Presiden menyampaikan Pidato Kenegaraan di depan MPR, karena anggota MPR terdiri dari anggota DPD dan DPR. Kalau sudah begini konstitusi mana lagi yang dijadikan sandaran berpijak lembaga-lembaga terhormat seperti DPR dan DPD ?. Sepatutnya para anggota DPD tidak perlu “keras” menuntut hak-hak mereka yang “tidak jelas” dan “inkonstitusional” namun tetap turut berpartisipasi dalam pemerintahan dengan cara lain sesuai tupoksi DPD. Namun kondisinya menjadi lebih parah, ketika Wakil Ketua Tim Sebelas DPD, Sarwono Kusumaatmaja dan Ketua Tim Sebelas Irman Gusman, bahwa DPD akan menggelar sidang “tandingan” dan mengundang Presiden pada Sidang Paripurna 15 Agustus mendatang. Ditambahh lagi pernyataan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan kalau Presiden hanya akan menyampaikan Pidato Kenegaraan di hadapan DPR.

Permasalahan ini sebenarnya tidak akan mencuat kepermukaan jika DPD menyadari tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga perwakilan daerah dan memiliki kewenangan yang berbeda dengan DPR. Secara hukum dan pemerintahan, antisipasi munculnya peluang-peluang perseteruan antara DPD dan DPR sangat mendesak. Setidaknya DPD dan DPR duduk semeja mempertegas mekanisme kerjasama antara DPD dan DPR. Dengan demikian diharapkan muncul komitmen hukum yang mengikat DPD dan DPR dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Kejelasan mekanisme hubungan kerjasama DPD dan DPR diharapkan mampu menumbuhkembangkan kedewasaan pola pikir dan kinerja wakil-wakil rakyat yang terhormat ini. Jangan sampai parlement kebanggaan demokrasi Indonesia jadi “carut marut” dan kembali membuat malu muka Indonesia didepan rakyatnya sendiri. [ Penulis Purna Praja STPDN Jatinangor ]

No comments :