ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

PILKADA Tapteng untuk Siapa

Otonomi daerah yang disajikan kepada Pemerintah Daerah termasuk otonomi memilih Kepala Daerah melalui institusi KPUD ternyata masih menyajikan dagelan lucu kepada masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, prinsip penyelenggaraan tugas dan wewenang KPUD untuk menggelar Pilkada di daerahnya membentuk suatu pemahaman keliru yang memandang kekuasaan KPUD itu tidak terbatas serta memiliki kewenangan penuh menyusun penjabarannya. Paling tidak seperti Pilkada yang berlangsung di Kabupaten Tapanuli Tengah dapat dijadikan contoh soal penyimpangan penafsiran UU 32/2004 dan PP 6/2005.

Dari sekian kelemahan undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, kembali muncul kepermukaan satu kelemahan lainnya dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peratutan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Konflik berbagai kepentingan mencuat deras ketika Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Tapanuli Tengah ‘nekad’ tetap menggelar Pemilihan Kepala Daerah walaupun tidak direstui Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 86 ayat (1) mengatakan kalau Pemungutan suara pemilihan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Kemudian pada ayat (3) dikatakan : Pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan, yang juga tertuang pada Pasal 70 ayat (3) PP 6 Tahun 2005 . Namun penjelasan dari hari libur tersebut jelas dikatakan bahwa penetapan hari libur ditetapkan oleh pemerintah atas usul KPUD. Artinya jika KPUD Kabupaten Tapteng ingin menyelenggarakan Pilkada maka KPUD Tapteng harus dan wajib memperoleh ijin dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Kenyataannya walaupun Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah mengingatkan KPUD Kab. Tapteng untuk mempedomani surat Mendagri mengenai penundaan pelaksanaan Pilkada namun Pilkada tetap diselenggarakan tanggal 11 Desember yang lalu. Menyikapi hal ini, ada dua permasalahan yang menjadi bahan kajian akibat penyelenggaraan Pilkada di Tapteng. Pertama, apakah Pilkada Tapteng secara hukum dan pemerintahan adalah legal atau dijamin undang-undang pelaksanaannya dan yang kedua apakah hasil Pilkada Tapteng secara hukum dan Pemerintahan merupakan sah sebagai hasil proses Pilkada Tapteng. Kedua pertanyaan ini nuansanya sangat kental bersentuhan dengan hukum terutama politis, hal ini tidak lain karena hasil akhir dari pelaksanaan Pilkada itupun akan melahirkan pejabat-pejabat politis.

Jika melihat Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 149 pada Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; tidak secara spesifik dijelaskan yang dimaksud hari libur itu apa, apakah hari libur nasional (tanggal merah) apakah hari minggu, ataukah hari yang ditetapkan sebagai hari libur. Tiga pemahaman mengenai hari libur ini dipandang oleh KPUD Tapteng sebagai Pilihan otomatis yang secara mudah dapat dilaksanakan sesuai keinginan KPUD Tapteng.

Demikian juga halnya dengan Pemerintah Pusat (Mendagri) yang dengan suratnya No. 120.22/2938/SJ dan Teleks Mendagri No. 120.22/3113/SJ meminta agar Wakil Gubernur Sumatera Utara memfasilitasi peninjauan kembali penetapan pasangan calon bupati/wakil, kemudian menjaga netralitas KPUD Tapteng sebagai penyelenggara Pilkada serta agar tahapan lebih lanjut (proses pelaksanaan Pilkada) ditunda pelaksanaannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa KPUD Tapteng mau tidak mau harus menunda pelaksanaan Pilkada mungkin karena penyelenggaraannya pada hari minggu yang sebenarnya bagi umat Kristiani adalah hari melaksanakan ibadah rutin. Menyikapi hal ini kelemahan yang muncul dari tidak tegasnya aturan yang melandasi pelaksanaan Pilkada ini menyebabkan timbulnya perselisihan dan konflik yang tidak saja bernuansa politis namun sudah menyentuh SARA.

Pihak KPUD Tapteng bisa saja melihat bahwa penundaan penyelenggaraan Pilkada hanya bisa diketengahkan jika terjadi kerusuhan, gangguan keamanan yang mengganggu proses pelaksanaan Pilkada; sedangkan di Kabupaten Tapanuli Tengah situasi dan kondisinya cukup kondusif, sehingga menurutnya tidak ada dasar yang kuat untuk menunda pelaksanaan Pilkada pada hari minggu tanggal 11 Desember yang lalu. Melihat kondisi yang berkembang tampaknya Pemerintah Pusat memandang penyelenggaraan Pilkada pada hari minggu secara keseluruhan tidak boleh dilaksanakan karena akan mengganggu penyelenggaraan ibadah salah satu agama mengingat pelaksanaan Pilkada-pun dimulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB dimana pada waktu seperti inilah jadwal beribadah umat Kristiani.

Keputusan ini ternyata tidak dapat diterima oleh KPUD Tapteng dengan tetap menyelenggarakan Pilkada walau menuai protes dari sebahagian masyarakat di Tapteng, KPUD Tapteng tetap menggelar Pilkada-nya. Hasil akhirnya nanti, secara etika pemerintahan jelas bahwa KPUD Tapteng yang tidak mengindahkan ‘perintah’ Pemerintah Pusat untuk menunda Pilkada adalah keliru. Dampaknya, maka hasil akhir dari Pilkada pun akan cacat hukum dan tidak dapat dijadikan sebagai keputusan final penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Tapanuli Tengah. Mengapa hal ini dapat dijadikan suatu kesimpulan, karena secara hukum dan etika pemerintahan, Komisi Pemilihan Umum Daerah adalah perpanjangan tangan Pemerintah sebagai lembaga independent pelaksana pemilihan kepala daerah. Hal ini berarti tidak ada alasan KPUD untuk berani ‘membangkang’ dari Pemerintah walau sebutan KPUD adalah lembaga independent.

Mungkin saja KPUD Tapteng memandang surat Mendagri tidak cukup ‘sakti’ mengatur mereka dan berharap sebuah Keputusan Presiden seperti yang diamanatkan pasal 149 pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Namun kembali perlu kita cermati walau pada pasal tersebut sebuah Keppres akan lahir jika hal-hal kejadian luar biasa tertentu timbul , secara garis besar bisa saja Pemerintah bisa saja mengeluarkan Keppres penundaan Pilkada karena memandang kegiatan Pilkada yang direncanakan KPUD pada hari minggu tanggal 11 Desember 2005 bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945, yaitu kebebasan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaanya, namun ternyata itu tidak dilakukan. Permasalahannya terletak pada pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar sebagai aturan yang lebih tinggi dari aturan apapun di Indonesia ini.


Mencermati permasalahan yang berkembang di atas, secara hukum dan pemerintahan sebenarnya KPUD Tapteng tidak dapat sepenuhnya disalahkan karena Undang-undang atau peraturan itu sendiri tidak menegaskannya. Namun sebaliknya KPUD Tapteng pun setidaknya menghormati prosedur dan birokrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia agar tidak ada yang menjadi korban. Alangkah baiknya jika KPUD Tapteng menyikapi penegasan dari Pemerintah mengenai pengunduran Jadwal Pilkada dengan menetapkan pelaksanaannya pada hari senin 12 Desember-kah atau terserah tanggal berapa asalkan tidak hari minggu. Jangan sampai tindakan menyelenggarakan Pilkada justru menimbulkan banyak permasalahan baru dan lebih rumit jika ditunggangi para politisi dan spekulan.


Pengalaman ini telah membuka mata kita semua akan pentingnya daya nalar dan intuisi memandang suatu permasalahan tidak saja dari hasil yang akan dicapai tetapi tidak kalah penting mempertimbangkan dampak-dampaknya. Dengan demikian masing-masing individu maupun institusi mampu berpikir kritis serta dewasa untuk bersandar pada tugas pokok dan fungsinya namun tetap memperhatikan dengan sungguh-sungguh suara pemerintah dan undang-undang yang diatasnya. KPUD Tapteng seharusnya mampu berpikir general dan legowo memandang permasalahan Pilkada di Tapteng, terlepas dari banyaknya kepentingan yang mengiringi gerak langkah KPUD Tapteng. Paling tidak kedepan, lebih difokuskan kembali perumusan aturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat banyak agar benar-benar mampu menyelesaikan permasalahan bukan sebaliknya menimbulkan permasalahan baru. (Penulis adalah Dosen UPMI, Alumni STPDN/Pascasarjana UI)

No comments :