ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Pribadi Imitasi Nurani Penguasa yang Ternoda

G.WATTS CUNNINGHAM, dalam bukunya The Idealis Argument in Recent British and American Philosophy, 1933, mengatakan : “Idealisme merupakan suatu ajaran kefilsafatan yang berusaha menunjukkan agar kita dapat memahami materi atau tatanan kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada hakekatnya yang terdalam, maka di tinjau dari segi logika kita harus membayangkan adanya jiwa atau roh yang menyertainya dan yang dalam hubungan tertentu bersifat mendasari hal-hal tersebut.

Lalu bagaimana jika idealisme itu ternoda oleh tekanan lingkungan kerja yang memaksa diri melupakannya ?. Pertanyaan ini patut di kaji lebih dalam sebab idealisme para manusia yang terjun ke dalam birokrasi pemerintahan acapkali terganggu dengan idealisme semu lingkungannya. Memang sepertinya lumrah, jika hakekat pelayanan tugas mulai berbenturan dengan uang dan kekuasaan, maka idealisme cenderung terpinggirkan.

Menarik memang, idealisme diri yang kadang sudah terpatri di lubuk hati sebelum bersentuhan dengan kekuasaan dan atau penguasa (selanjutnya baca pemimpin), akan terdiam dikalahkan hawa nafsu kepentingan pribadi. Mari kita mendalami hakekat kekuasaan seperti dikatakan Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi : “Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana, maupun yang sudah besar dan kompleks susunannya. Akan tetapi meskipun selalu ada, kekuasaan tidak dapat di bagi rata kepada semua anggauta masyarakat, oleh karena justru karena pembagian yang tidak merata tadi, timbul makna yang pokok dari kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi fihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan”.

Inilah makna terdalam dari sebuah kekuasaan, sehingga, khususnya di birokrasi pemerintahan; sering sekali kerusakan prilaku staf disebabkan pemegang kuasa (atasan) memberikan pendidikan “setan” melalui penampakan-penampakan kinerja yang negatif. Seorang sosiolog dan kriminolog Prancis, Gabriel Tarde, pernah mengatakan bahwa kehidupan masyarakat dimanapun berada (social interaction) berkisar kepada proses imitasi. Proses imitasi ini adalah kegiatan contoh-mencontoh, tiru-meniru, dan ikut-mengikut.

Proses imitasi yang dipraktekkan penguasa cenderung ke arah negatif, seperti tekhnik korupsi agar tidak terdeteksi, tekhnik mencari “muka’ atasan, tekhnik intimidasi, tekhnik penggalangan massa, sampai kepada tekhnik mencuri simpati staf. Sehingga kadang kita bingung mencerna sikap penguasa, dimana sebenarnya alam pikir dan pola prilakunya berada. Keraguan ini sendiri disebabkan penguasa yang hari ini mendongengkan idealisme, kreatifitas murni, dan pengabdian sepenuh hati adalah hal utama dalam setiap kegiatan organisasi; namun satu detik kedepan, terjadi persekutuan perselingkuhan penyalahgunaan wewenang dan peninabobokan idealisme diri.

Sependapat dengan Franz Magnis-Suseno (1989) yang menyatakan kebebasan ada hubungannya dengan otonomi moral. Inti sikap moral otonom ini bahwa kita melakukan kewajiban bukan karena di bebankan dari luar, melainkan karena kita sendiri menyadarinya sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai tanggungjawab kita. Dengan pola pikir demikian, selayaknya penyimpangan-penyimpangan kaidah dalam penyelenggaraan tugas dan tanggungjawab di dalam birokrasi pemerintahan tidak akan terjadi lagi.

Kadang kita merenung, untuk apa memiliki seorang penguasa yang tidak mempercayai anggotanya dan mau menikmati kue enak sendiri saja. Sepertinya sudah menjadi rahasia umum, jika ada “laba” dari setiap kegiatan, sosok seorang penguasa cenderung menuntut “perhatian” lebih dan menuntut banyak lebihnya “perhatian” untuk dirinya. Padahal bila dikunyah-kunyah, sungguh rendahnya karakter kita (penguasa) yang meminta tambahan selain “DAU (Dana Alokasi Umum)” juga menuntut “DAK (Dana Alokasi Khusus)“, dengan predikat “cumlaude” dalam hal mengenyampingkan nurani, kepercayaan, dan kejujuran.

Carole Hyatt dan Linda Gottlieb dalam bukunya Bila Orang-Orang Piawai Gagal, mengatakan: “Sejumlah orang di perkuat oleh kegagalan, dan sejumlah orang yang lainnya ditaklukan olehnya. Siapa yang bertahan dan siapa yang tidak memiliki sedikit kepentingan dengan urusan uang atau keuntungan; hal itu lebih bertumpu pada kekuatan karakter batin…” Ini menguatkan pemahaman kita akan dominannya nurani untuk menelorkan perbedaan keutamaan uang atau penghargaan yang hakiki. Coba kita tinjau pendapat seorang ahli jiwa Kurt Lewin yang mempopulerkan Topological Psychology atau Field-Psycology, mengatakan bahwa manusia itu hidup dalam suatu field, suatu lapangan kekuatan-keuatan fisis maupun psikis yang senantiasa berubah-ubah menurut situasi kehidupannya.

Demikian juga pada level bawahan, diatas segalanya interaksi birokrasi (atasan-bawahan), kepuasan, kepercayaan, sikap, toleransi, merupakan penghargaan hakiki yang diinginkan walaupun materi atau uang kadang sebagai simbol pengantarnya. Oleh karenanya sependapat dengan Kurt Lewin, bahwa nurani seorang penguasa dalam perpaduan harmonis kata-kata dan prilaku hendaknya sepadan serta konsisten dicerminkan dalam tindakan sehari-hari. Sebagai manusia biasa, tentunya seorang bawahan akan berusaha menempatkan dirinya seperti idealisme dan penghargaan yang di berikan seorang penguasa (bos-nya).

Mari kita coba memahami ulasan-ulasan umum mengenai manusia yang dikumpulkan Louis Kattsoff dalam bukunya Element of Fhilosophy (1992) : “Manusia tiada lain kecuali hewan, manusia merupakan hasil sejarah, manusia adalah makhluk rohani, ia mencoba mempertahankan kemanusiaannya di dalam keadaan yang gawat”. Kalau boleh di panjangkan lagi, pemahaman gawat di sini dapat saja berarti nyawa sedang terancam, penghinaan yang melanggar harga diri, ketidakadilan karena penipuan makna, serta pelecehan rohani. Pada sisi inilah di tuntut kedewasaan pola pikir dan cara pandang seorang penguasa dalam menjembatani hati nurani dan mengayomi prilaku bawahan dengan kedewasaan diri, pengarusutamaan kebahagian staf, dan keutuhan simbol-simbol keharmonisan organisasi.

Terpulang kepada para penguasa, nuansa yang seperti apa yang ingin diciptakan pada lingkungan kerja. Apakah membiarkan tumbuh berkembang perasaan senasib sepenanggungan dengan tetap memelihara etika pemerintahan juga etika komunikasi, atau membiarkan prasangka-prasangka sosial berkembang untuk membunuh karakter dirinya sebagai penguasa. Paling tidak perlu kita pertimbangkan pendapat DR.W.A. Gerungan DIPL.PSYCH, dalam bukunya Psikologi Sosial yang mengemukakan : “Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap orang lain, dan mempengaruhi tingkahlakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial yang pada mula-mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan yang diskriminatif. Tindakan-tindakan diskriminatif diartikan sebagai tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangannya, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang hanya karena mereka kebetulan termasuk golongan yang di prasangkai itu.”

Demikian dan seindahnya jika kita yang sudah diberikan kesempatan sebagai penguasa mampu menyikapinya dengan belajar dan berkarya, kemudian jangan sampai orang berkomentar kalau SDM (Sumber Daya Manusia) kita kurang, jadi harap dimaklumi. (Penulis adalah Staf Pemda. Kabupaten Dairi)

No comments :