Di dalam kehidupan manusia, banyak hal yang mampu mewakili perasaan orang banyak dan sekaligus mempersatukannya. Tidak heran jika sesuatu itu sedang di bela atau di aniaya, maka air mata dan nyawa siap digadaikan untuk membela. Lihat saja saat kesebelasan sepakbola Bangsa kita masih saja mempermasalahkan hal-hal yang tidak mendasar untuk menentukan siapa pemimpinnya. Lihat saja keributan di kalangan politisi termasuk politisi plat merah dalam hal syarat pokok mencalonkan diri menjadi Presiden ataupun Gubernur atau Bupati dan Walikota yang harus Sarjana ataupun satu tingkat di bawahnya. Kita belum mampu menyelami kedalaman pikir sumber daya manusia calon pemimpin kita yang sebenarnya berhati emas tetapi kita masih saja mengemukakan bermacam syarat apakah gelar pendidikan, suku, agama, golongan, latar belakang keluarga, serta kehidupan di masa lalu yang sama sekali bukan menjadi acuan berpijak menilai calon pemimpin kita mendatang. Pada sumber permasalahan bidang pendidikan, adalah satu pertanyaan, sebenarnya kita mencari pemimpin yang juara 1 di perkuliahan yang memiliki 10 gelar sarjana tetapi berhati serigala, atau sosok pemimpin yang hanya bisa baca tulis namun memiliki pengalaman segudang serta telah berhasil ditempa kepemimpinan dan nuraninya dalam organisasi maupun kemasyarakatan ? Orang pintar mengatakan kalau ilmu tidak hanya dapat diperoleh di bangku sekolah dan orang pintar juga mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik. Bercermin dari apa kata orang pintar ini, jika kita tetap memandang manusia Indonesia yang hanya bergelar sarjana saja mampu membawa kemakmuran rakyatnya, mengapa tidak kita pilih saja semua profesor atau guru besar di berbagai universitas menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, Presiden atau bahkan Ketua RT/RW sekalian.
Tidak ada yang mengatakan kalau pendidikan tidak penting, namun Jenderal Sudirman, Cut Nyak Dhien, Sisingamangaraja XII, bahkan Naga Bonar menjadi pemimpin bukan karena gelar sarjana atau hasil menempuh pendidikan tinggi, tetapi rasa kecintaan terhadap daerah dan rakyatnya mendorongnya mau belajar dan mau merasakan bagaimana ia harus berpikir dan bertindak untuk keselamatan dan kebahagiaan masyarakat. Sangat puitis memang jika di zaman modern seperti ini kita masih berpikir seperti pujangga dan penyair, tetapi justru karena rasa malu, gengsi dan tinggi hati membuat orang merasa rendah diri untuk memaknainya. Naga Bonar yang polos namun setia, sangat dibutuhkan seperti di zaman teknologi internet ini karena sudah terlalu banyak orang pandai yang menggunakan kepintarannya menipu rakyat, baik dengan senyum maupun rupiah. Kembali kata orang pintar, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti suatu saat jatuh ke tanah, tetapi jika sang tupai kita letakkan di
No comments :
Post a Comment