ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Saatnya Naga Bonar Jadi Gubernur, Bupati atau Walikota

Di dalam kehidupan manusia, banyak hal yang mampu mewakili perasaan orang banyak dan sekaligus mempersatukannya. Tidak heran jika sesuatu itu sedang di bela atau di aniaya, maka air mata dan nyawa siap digadaikan untuk membela. Lihat saja saat kesebelasan sepakbola Indonesia berlaga di Piala Asia, banyak orang yang terpanggil menunjukkan identitasnya sebagai orang Indonesia. Ada yang rela mencoreng muka dengan cat, ada yang bertelanjang dada melukiskan Indonesia di tubuhnya, serta ada juga yang meneteskan air mata menahan nafas ketika seorang pemain Indonesia terjatuh berguling-guling di tabrak lawan. Tidak jauh berbeda, makna yang terkandung pada saat perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Berbagai hasrat keinginan dan KKN terpinggirkan oleh naluri kecintaan terhadap bangsa dan negara. Orang miskin, kaya, pintar dan bodoh bahu membahu atas satu tekad membela harkat dan martabat Bangsa dan Rakyat Indonesia.


Masih mengundang kagum dan tawa, mencermati perjuangan Jenderal Naga Bonar seorang Pemimpin Pasukan Perjuangan Rakyat, orang Medan yang juga raja copet itu, mengangkat senjata menipu penjajah Belanda. Tidak pernah Naga Bonar disekolahkan apalagi sampai di wisuda atau diberi gelar Doktor Honouris Causa. Baginya yang terpenting untuk bangsa adalah persatuan dan kesatuan, senasib sepenanggungan susah dan senang selalu bersama anggota serta rakyatnya. Naga Bonar memang pintar menipu tetapi demi harga diri bangsa Indonesia dan ia mencopet untuk rakyatnya. Bagaimana kondisi sekarang ini, saat Indonesia sudah mampu membuat pesawat udara, banyak pemimpin perjuangan rakyat mengentaskan kemiskinan dan membangkitkan ekonomi masyarakat justru melupakan Naga Bonar. Pada level Kepala Daerah seperti Gubernur ataupun Bupati/Walikota misalnya, sudah banyak yang jauh lebih pintar dari Naga Bonar bahkan ada yang bergelar Profesor. Kecenderungan pola kepemimpinan yang disajikan bertolak belakang dengan cita-cita “orang bodoh” seperti Naga Bonar. Sebenarnya dibahagian mana yang salah pada sisi para pemimpin bangsa Indonesia, pasca Naga Bonar ? Tentu saja ini menjadi pertanyaan sulit bagi kita jika pada saat menjawabnya, posisi diri berada pada sistem birokrasi pemerintahan yang sudah berantakan tidak bisa dilihat mana garis start dan mana garis finish.

Bangsa kita masih saja mempermasalahkan hal-hal yang tidak mendasar untuk menentukan siapa pemimpinnya. Lihat saja keributan di kalangan politisi termasuk politisi plat merah dalam hal syarat pokok mencalonkan diri menjadi Presiden ataupun Gubernur atau Bupati dan Walikota yang harus Sarjana ataupun satu tingkat di bawahnya. Kita belum mampu menyelami kedalaman pikir sumber daya manusia calon pemimpin kita yang sebenarnya berhati emas tetapi kita masih saja mengemukakan bermacam syarat apakah gelar pendidikan, suku, agama, golongan, latar belakang keluarga, serta kehidupan di masa lalu yang sama sekali bukan menjadi acuan berpijak menilai calon pemimpin kita mendatang. Pada sumber permasalahan bidang pendidikan, adalah satu pertanyaan, sebenarnya kita mencari pemimpin yang juara 1 di perkuliahan yang memiliki 10 gelar sarjana tetapi berhati serigala, atau sosok pemimpin yang hanya bisa baca tulis namun memiliki pengalaman segudang serta telah berhasil ditempa kepemimpinan dan nuraninya dalam organisasi maupun kemasyarakatan ? Orang pintar mengatakan kalau ilmu tidak hanya dapat diperoleh di bangku sekolah dan orang pintar juga mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik. Bercermin dari apa kata orang pintar ini, jika kita tetap memandang manusia Indonesia yang hanya bergelar sarjana saja mampu membawa kemakmuran rakyatnya, mengapa tidak kita pilih saja semua profesor atau guru besar di berbagai universitas menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, Presiden atau bahkan Ketua RT/RW sekalian.


Tidak ada yang mengatakan kalau pendidikan tidak penting, namun Jenderal Sudirman, Cut Nyak Dhien, Sisingamangaraja XII, bahkan Naga Bonar menjadi pemimpin bukan karena gelar sarjana atau hasil menempuh pendidikan tinggi, tetapi rasa kecintaan terhadap daerah dan rakyatnya mendorongnya mau belajar dan mau merasakan bagaimana ia harus berpikir dan bertindak untuk keselamatan dan kebahagiaan masyarakat. Sangat puitis memang jika di zaman modern seperti ini kita masih berpikir seperti pujangga dan penyair, tetapi justru karena rasa malu, gengsi dan tinggi hati membuat orang merasa rendah diri untuk memaknainya. Naga Bonar yang polos namun setia, sangat dibutuhkan seperti di zaman teknologi internet ini karena sudah terlalu banyak orang pandai yang menggunakan kepintarannya menipu rakyat, baik dengan senyum maupun rupiah. Kembali kata orang pintar, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti suatu saat jatuh ke tanah, tetapi jika sang tupai kita letakkan di padang pasir atau padang rumput apa sang tupai masih bisa lompat dari satu pohon ke pohon lainnya ? Tentu saja tidak, tentunya sang tupai akan berjalan di atas pasir, tanah atau rumput, jika kelelahan mungkin saja sang tupai naik becak . Demikian juga dengan pemimpin yang tidak memiliki nurani membangun bersama rakyat, jika rakyatnya sendiri tidak memberikan peluang untuk mempermainkan mereka, apa ia memiliki kesempatan KKN, tentu tidak dong. (Penulis : Sekretaris IKADIK-Pamong Praja Dairi/Pakpak Bharat dan Redaktur Majalah KIRANA).

No comments :