ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Sunday 6 April 2008

KEMBALIKAN “ROH” ORANG KARO

Anna Freug (The Ego and the Mechanism of Defense, International University Press,1966) mengatakan, ada dua dorongan besar pada diri seseorang yaitu kerja dan cinta. Untuk kebanyakan orang, upaya menyeimbangkan sumber identitas ini penuh dengan kesulitan. Jika kita terlalu banyak mencintai, mencurahkan sebahagian besar enerji pada kehidupan emosional, maka hasrat untuk bekerja seringkali pudar. Sebaliknya, jika terlalu keranjingan kerja seperti budaya Amerika, apa yang masih tersisa pada diri batin kita ?

Seorang penegak hukum melaksanakan tugasnya dengan hanya berlandaskan cinta kasih dan kekeluargaan, maka negara akan hancur. Demikian juga jika kerja menjadi dewa dalam berprilaku seperti robot yang tidak memiliki perasaan dan cinta, kebencian juga pengkhianatan akan dituai. Keseimbangan keduanya diperlukan untuk merajut detik-demi detik kehidupan dalam dunia, walau itu tidak berarti membuka peluang kasus seperti korupsi, kolusi maupun nepotisme.


Melangkah dari daerah Padang Bulan sampai Kabanjahe, hanya satu nama berkuasa di jalan raya puluhan kilometer itu, Jamin Gintings. Begitu membuminya nama Jalan Letjend. Jamin Gintings, seorang Pahlawan Etnis Karo, menyajikan kebanggaan salah satu suku kebanggaan Indonesia. Nama jalan terpanjang di Sumatera Utara bahkan Indonesia ini, sebenarnya bosan mengingatkan suku Karo untuk menjadi lebih lagi, tidak sekedar dinobatkan menjadi nama-nama jalan tetapi lebih dari itu.


Pada penetapan kandidat Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Utara periode 2008-2013, bukan menggiring opini ke SARA, namun sebagai upaya pembelajaran, keterwakilan suku Toba, Mandailing, Melayu bahkan 4 calon suku Jawa terbukti mengkoreksi, apakah suku Karo tidak potensial ? Kembali kepada kata Anna Freug, pertanyaannya, mengapa orang Karo yang terkenal bijaksana mau hidup miskin asal anak bahagia dan tinggi sekolahnya itu serta mudah diajak berkompromi, “tidak diminati”. Orang Karo yang pintar, cerdas dan bijaksana tentunya ada. Mungkin saja, pemahaman yang dibutuhkan para pemegang mandat kekuasaan seperti petinggi birokrat atau petinggi partai, mencari sosok orang karo yang memiliki cinta dan kerja. Jika demikian, seharusnya orang karo mengevaluasi diri dan mulai berani vokal berteriak kepada siapapun orang karo yang ingin tampil : “ you pantas tampil, gak !!!”.


Persatuan, bukanlah slogan kosong untuk meraih cita-cita dan keterwakilan orang Karo di Pemerintahan. Kata persatuan terbukti mampu mengibarkan bendera Merah Putih dan dengan persatuan, Argentina mampu menjadi juara dunia sepakbola. Saat pemilihan Gubernur Sumatera Utara, orang Karo harus bijaksana dan memilih orang yang hatinya dekat dengan suku Karo. Bentuk dari kedekatan bisa saja seperti tingginya perhatian terhadap daerah Karo dan penghormatan terhadap simbol-simbol suku Karo. Tentunya, tidak semua masyarakat Karo yang memahaminya dan selayaknya tokoh-tokoh Karo berani tampil serta menempatkan dirinya seperti seorang ibu yang ingin menidurkan bayinya di ayunan. Sang ibu akan memeriksa keselamatan sang bayi dengan melihat kondisi ayunan apakah posisi ayunan sudah benar, kain yang masih baik, lingkungannya yang aman jangan ada binatang atau benda berbahaya, dan lagu-lagu merdu untuk memberikan rasa aman dan tenang bagi sang bayi. Demikian juga seharusnya yang dipandang sebagai tokoh atau pemimpin merga silima (lima marga) suku Karo agar merangkul orang-orang Karo untuk kuat dan bisa satu bahasa.


Jika orang Karo ada yang ingin tampil kepermukaan, para pemimpin suku Karo harus mampu berkonsentrasi dan menimbang-nimbang, apakah ia memiliki komitmen kuat membangun sebuah komunitas besar seperti wilayah atau daerah dan apakah ia peduli orang karo, sebelum pencalonannya. Jika jawabnya benar, sungguh bijaksana untuk mendukung, namun jika tidak, pemimpin dan masyarakat Karo harus tetap bersatu mencari figur lain yang peduli orang Karo, apalagi telah berkomitmen. Suatu saat, jika orang Karo masih tidak senada seirama, Kabupaten Karo sendiripun tidak akan dipimpin orang Karo. Memang tidak menjadi masalah asal Gubernurnya, Walikotanya atau Bupatinya masih orang Indonesia. Namun apa kata dunia, apakah tidak ada orang Karo yang mampu ? Berbagai konspirasi politik bisa saja mengenyampingkan cinta dan kerja. Namun jauh lebih sulit dari kondisi itu jika orang Karo sendiri tidak bisa menampilkan seseorang yang mumpuni, cerdas, bijaksana dan layak jual, janganlah salahkan dunia, jika orang Karo tetap menjadi penonton di gelanggang Pemerintahan. (Penulis adalah Sosiolog, Alumnus S-2 Universitas Indonesia, email : rhgmsi@yahoo.com web : www.rhgmsi.blogspot.com).

No comments :