ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Thursday 19 June 2008

Refleksi Masyarakat Madani Untuk Self Sustaining

Pembangunan masyarakat cukup mempunyai dasar konstitusional sebagai bahan integral dari upaya pembangunan nasional. Namun di dalam realitasnya, titik berat pembangunan masyarakat masih diletakkan pada usaha memenuhi kebutuhan pokok yang dicapai melalui pemberian pelayanan dan fasilitas sosial. Pelbagai program pemerintah seperti peningkatan pendapatan, perbaikan gizi, kesehatan, sanitasi lingkungan sampai pemberian dana kompensasi BBM, kebanyakan lebih memanifestasikan charity strategy daripada penumbuhan kemampuan masyarakat untuk dapat self sustaining. Didalam upaya memberikan pelayanan sosial dan fasilitas sosial tadi, pemerintah seringkali menggeser peran dan fungsi lembaga-lembaga tradisional yang ada dan nyata lebih fungsional, serta menggantikannya dengan struktur baru yang diletakkan dari atas. Demikian pula, kini, banyak fungsi-fungsi tradisional berubah menjadi tanggungjawab pemerintah. Dimasa Orde Baru sampai saat sekarang ini, implementasi pembangunan di Indonesia sepertinya diarahkan dalam praktek-praktek dari teori Dependensia serta Teori Modernisasi dan masyarakat madani dijadikan cita-cita Bangsa. Dalam konsep masyarakat madani, terkandung hubungan antar negara dan masyarakat yang terkait dengan demokrasi dan proses demokratisasi. Pada dasarnya demokrasi hanya bisa ditegakkan apabila terjadi proses demokratisasi atau penguatan kedudukan masyarakat. Masyarakat yang diperkuat dengan proses demokratisasi inilah yang disebut masyarakat madani. Proses yang di maksud inilah yang disebut pembangunan, selanjutnya.

Belajar dari Buku Perspektif Developmental dalam Kesejahteraan Sosial karangan James Midgley, istilah ‘pembangunan’ digunakan secara luas dan hampir semua orang mengaitkannya dengan proses perubahan ekonomi yang langsung lewat industrilisasi. Jika disimak, terdapat perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam hal pencapaian tujuan-tujuan pembangunan, namun usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini telah mengalami perubahan menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Michael P. Todaro dalam bukunya Pertumbuhan Ekonomi di Dunia Ketiga, yang menyatakan bahwa pembangunan secara luas sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang ‘lebih baik’ atau ‘lebih manusiawi’. Oleh karenanya dibutuhkan terus reevaluasi secara periodik yang menyegarkan sesuai dengan kondisi-kondisi lingkungan masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia sendiri.

Paling tidak (menurut Profesor Goulet), ada tiga komponen dasar atau nilai-nilai inti untuk memahami konsep pemikiran dalam mengembangkan pembangunan menjadi benar-benar milik rakyat. Ketiga komponen dasar itu adalah kecukupan (sustenance) , jati diri (self esteem) dan kebebasan (freedom). Ketiga hal inilah yang menjadi tujuan pokok yang harus digapai setiap pemerintahan dan masyarakat melalui pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat atau masyarakat madani. Dr.Niels Mulder, pada tulisannya di suatu media, mengatakan bahwa masyarakat madani tak bisa andalkan nilai Jawa dengan budaya ‘ngelinya’ (mengikuti arus). Menurutnya, ciri-ciri kemadanian itu antara lain adalah kekuatan ilmu pengetahuan dan moralitas, tatanan hukum yang menjamin dmeokrasi, dan equality.

Masyarakat madani seharusnya mewujudkan dirinya melalui sikap oposisi terhadap negara yang merupakan kekuatan politik dan kekuatan ekonomi yang cenderung bahkan sering mengatasnamakan untuk kepentingan umum melakukan tindakan-tindakan yang tidak berasaskan demokrasi serta kepentingan umum. Konsep pemikiran masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sejalan dengan cita-cita masyarakat madani ‘civil society’ yang ingin dikembangkan. Tentunya ‘kebhinekaan’ cara-cara individu untuk untuk menyelewengkan cita-cita masyarakat itu harus dikikis sedikit demi sedikit untuk menjaga kesetabilan proses pembangunan. Yang paling sering terdengar, menjamurnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, peradilan yang ‘impoten’ serta memunculkan perang diantara masyarakat dengan meramu ‘dagelan’ SARA untuk menceraiberaikan proses pembangunan yang di rajut dengan masyarakat sampai saat ini masih menjadi top model prilaku.

Secara eksplisit, kelompok bisnis, birokrat termasuk militer, intelektual dan media massa sering disebut sebagai empat pilar yang bertanggungjawab dalam mengembangkan masyarakat madani. Masing-masing pilar tidak dapat berjalan sendiri-sendiri melainkan seiring, bahu membahu, saling menolong dan tidak saling menyalahkan – menjegal. Muaranya adalah berkembangnya masyarakat yang terbuka yang motivasi partisipasi publik secara realistis dan berkonotasi baik. Walau hal ini sulit terwujud karena banyaknya pergulatan kepentingan-kepentingan dan acapkalinya terjadi proses-proses ‘pengkhianatan’ terhadap kesepakatan-kesepakatan. Seperti yang disampaikan Anders Uhlin,PhD dari Universitas Sodertorns Hogskola Swedia, bahwa gerakan pro-demokrasi akan sulit menyatukan diri karena adanya perbedaan-perbedaan ideologis dan strategis serta adanya perselisihan pribadi.

Prof.Dr.Nurcholish Madjid, yang mempopulerkan istilah masyarakat madani dan sejalan dengan yang diungkapkan Prof. William Montgomerywatt dalam Piagam Madinah (Mitsagal Madinah) dengan konsepnya konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Konsep pemikiran ini merupakan suatu permasalahan terbesar yang sedang dialami Bangsa Indonesia. Walaupun roda reformasi telah digulirkan pemerintah setelah orde baru, namun justru terjadi peningkatan kualitas ‘penyangkalan’ terhadap konsep pembangunan masyarakat madani tersebut. Penyebabnya, sebahagian, tentu saja disebabkan sedikitnya kaum birokrat yang mau peduli bahwa reformasi harus berjalan sesuai logika dan keterbatasannya sendiri. Berbeda dengan suatu revolusi yang berusaha membalik semua tatanan yang berlaku, reformasi adalah ‘to change without destroying’ ia hanya ‘meluruskan’ kinerja sistem yang ada dalam rangka mereproduksi legitimasi dari sistem tersebut, sama seperti dikatakan Ryaas Rasyid.

Pada kondisi saat ini, reformasi sepertinya hanya berusaha melakukan perubahan yan diperlukan seraya tetap memelihara (to change pre serving) . Selain itu karena gerak reformasi sepenuhnya dikendalikan oleh para pelaku politik di dalam reformasi sistem dan hanya berusaha memperbaiki kinerja sistem dengan logika sistem itu sendiri dan mengakibatkan segala tuntutan diluar itu dengan sendirinya akan tertolak. Akibatnya, kita melangkah dengan taksiran-taksiran yang terlalu tinggi dan harapan-harapan yang terlalu muluk-muluk. Tidak adanya kompromi dalam mendesakkan kepentingan dari kelompok dalam masyarakat adalah hal lain yang bisa mendatangkan kesulitan. Karena itu, konflik-konflik yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat seperti teror bom, keributan berbau SARA, diskriminatif pelayanan, penkhianatan-pengkhianatan tugas dari oknum aparat dan lainnya pada dasarnya adalah gambaran dari kenyataan yang tidaka simetris antara harapan dengan apa yang diwujudkan sekarang ini.

Konsep masyarakat madani diharapkan agar masyarakat (termasuk kelompok-kelompok dalam politik) dan negara dapat menjalin hubungan seimbang dan tidak saling mendominasi satu sama lain. Disatu pihak, negara sebagai wilayah kekuasaan dan hukum, bisa menjamin proses demokratisasi melalui penyelenggaraan sistem perundang-undangan dan kelembagaan serta peletakan landasan etik dan penegakan hukum. Dilain pihak, ada pemberdayaan masyarakat sebagai wilayah nilai kultural yang bisa integratif dan depensif ke luar. Dengan kata lain perlu ada pemisahan antara wilayah negara dan wilayah masyarakat. Dalam wilayah negara, setiap orang adalah warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, sedangkan dalam wilayah masyarakat setiap orang diikat oleh nilai-nilai kultural kedalam kelompoknya masing-masing baik kelompok agama, budaya, suku, ataupun golongan. Pemisahan wilayah negara dan masyarakat berarti bahwa nilai-nilai kultural tidak seharusnya dipakai dalam hubungan negara dan antar warga negara. Dengan kata lain perlunya pengoptimalan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk membatasi peranan negara yang besar dalam hubungan sosio kultural antara kelompok-kelompok masyarakat seperti yang terjadi dewasa ini. Pemberdayaan masyarakat berarti hak masyarakat untuk mengatur sendiri hubungan sosio-kultural diantara mereka dikembalikan kepada mereka dan dilepaskan dari campur tangan pemerintah. Dengan demikian akan tumbuh dan berkembanglah kedewasaan masyarakat untuk ikut bertanggungjawab dalam segala urusan pembangunan yang dilakukan pemerintah yang kemudian bersama-sama didukung masyarakat. Harapannya kedepan, berbagai tragedi-tragedi yang membebani masyarakat tidak terjadi lagi jika pemerintah mau lebih ‘becus’ menjalankan fungsi-fungsinya dan demikian juga masyarakat harus lebih pro aktif mensiasati diri dalam ‘mengamankan’ kesejahteraan, keamanan dan keadilan diantara mereka terutama masyarakat

No comments :