ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Saturday 9 August 2008

Ketika Pemilu Membutuhkan Perempuan

Disuatu Seminar, Dra.Sinta Nuryah Abdurrahman Wahid,M.Hum – Alumnus Universitas Indonesia, sebagai nara sumber memprotes panitia yang memberikan judul materi “Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Sosial” . Kalimat pemberdayaan menurutnya berkonotasi negatif dan sepertinya kaum perempuan selama ini tidak berdaya. Alkisah, Undang-Undang yang mengatur tentang Partai Politik seperti UU Nomor 2 dan Nomor 10 Tahun 2008 juga sepertinya menginginkan perempuan diberdayakan dalam dunia politik. Tidak heran jika syarat 30 % keanggotaan caleg perempuan di Partai termasuk dalam kebutuhan minimal di kursi dewan secara tegas menjadi keharusan. Perdebatannya, mengapa harus ada pembelaan khusus terhadap perempuan ? Penulis terusik berpikir melihat sosok perempuan bukan wanita sama seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan era Gus Dur yaitu Kofifah Indar Parawangsa yang memandang sebutan perempuan lebih terhormat daripada wanita dan ini mungkin saja dipicu karena sebutan Wanita Tuna Susila, sehingga sebutan wanita dipandang kurang terpuji. Masalah kurang diderdayakan, kemungkinan, “malasnya” kaum lelaki melibatkan perempuan termasuk dalam dunia politik disebabkan paling tidak karena lima hal dibawah ini. Pertama : Perempuan diibaratkan simbol kecengengan. Ini diasumsikan kecendrungan jika menghadapi permasalahan seorang perempuan meluapkannya dengan tangisan berkepanjangan. Kesan cengeng ini bisa saja menjadi alasan tidak melibatkan perempuan dalam dunia politik yang cenderung kasar, menyakitkan, dan acapkali jahat. Bisa dibayangkan seorang ciptaan Tuhan yang berparas cantik menangis takkala berjibaku membela kepentingan politiknya, sangat merepotkan dan tentu marwah partai menjadi taruhannya. Kedua : Perempuan dipandang sebagai kaum lemah. Bila dilihat dari segi pisik badan saja karena dari sisi intelektual kaum perempuan cenderung menuntun laki-laki walau dari banyak ilmuwan terkemuka dunia, sosok perempuan sangat jarang tampil. Dengan kata lain, perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang harus dilindungi. Jika harus tampil ke dunia politik, keberadaan perempuan bukannya sebagai tenaga tambahan partai namun sebaliknya menjadi kerja tambahan. Ketiga : Perempuan dipandang sebagai objek laki-laki. Makna ini sebenarnya berkonotasi negatif, karena dibanyak kasus, sosok perempuan menjadi motivasi berpikir objek keisengan belaka. Nah, bila ia terjun kedunia politik, kaum laki-laki yang menjadi bahagian kelompoknya akan terbatasi dari keinginan-keinginan penyimpangan moral yang cenderung gemar dilakukan, lihat saja kasus yang menimpa anggota partai politik yang duduk dalam kursi legislatif, tersandung karena kurangnya pengendalian hasrat terhadap seorang wanita. Keempat : Perempuan diciptakan bukan menjadi pemimpin. Kata orang banyak, kalau pemimpin itu berada di depan namun pandangan Ki Hajar Dewantara, sosok pemimpin juga ada di tengah untuk merangkul dan membimbing anggotanya dan berada di belakang untuk mendorong serta memberikan motivasi. Pandangan seperti ini sah-sah saja, karena sebutan pemimpin ada di pundak kaum pria yang dari dulunya didaulat menjadi kepala keluarga, imam atau panglima perang. Ya kalau dilihat dari sosok pemimpinan Negara di dunia, memang tidak sampai 10 persen perempuan mendudukinya, di Indonesia saja baru 1 orang perempuan yang jadi Gubernur dari 34 Provinsi dan seperti itu juga untuk jabatan Bupati / Walikota. Kelima : Perempuan adalah Ibu Rumah Tangga. Ini bermakna, ada suami dan anak di rumah yang menuntut peran itu dan harus diurus oleh sosok seorang perempuan, istri atau ibu, sehingga kekhawatiran sosok perempuan yang bekerja dalam politik tidak maksimal. Bahkan ada ketakutan, penyalahartian sosok perempuan yang harus tunduk kepada suami, walau sebenarnya tidak dalam segala hal dan bukan menjadi harga mati yang minus memiliki komunikasi dan rentang kendali.

Tentu wajar saja bila kehadiran perempuan di sebahagian orang dalam kelompok laki-laki menjadi batu sandungan atau penghalang yang diperkirakan menjadi hal bodoh bila merangkulya. Namun tidak dapat disangkal juga bila ada makna lain dalam sosok seorang perempuan seperti menjadi pelengkap bagi kaum pria untuk mendampinginya siang-malam menghadang dunia, kemudian sosok perempuan dipandang sebagai sekuntum bunga yang mampu memperindah ruangan dan menyejukan, lebih bernurani, lemah lembut, dan lebih tahan godaan. Kesemuanya adalah suatu pandangan nyata melihat sosok perempuan yang katanya selalu ditinggalkan dalam kancah politik termasuk pemerintahan.


No comments :