ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Saturday 4 April 2009

CAMAT : IRVAN WIDYANTO

TEKAD Membersihkan Setren Kali di Kawasan Rungkut. Rentetan penertiban bangunan liar selama dua bulan terakhir di setren Kali Wonokromo tidak terlepas dari sikap tegas Camat Rungkut Irvan Widyanto lulusan STPDN Angkatan 01. Keberhasilan tersebut bahkan menginspirasi pemkot untuk segera menertibkan seluruh kawasan setren di Surabaya. Anda terlihat getol menertibkan bangunan liar di atas tanggul. Apa alasannya? Saya punya alasan kuat untuk tidak membiarkan bangunan liar. Mereka membuat tanggul sungai terkikis. Parahnya, ada yang menjual tanah tanggul itu kepada orang lain. Kami punya banyak bukti. Ketika tanggul menipis, air sungai yang pasang pasti meluber ke permukiman. Itulah yang membuat warga ketar-ketir. Saya khawatir warga saya terendam akibat bangunan liar tersebut. Apalagi, secara geografis kampung-kampung lebih rendah daripada permukaan sungai. Kalau debit air naik, terendam sudah.... Bukankah penghuni banngunan liar juga warga Rungkut? Bukan. Mereka pendatang, tidak ada yang ber-KTP Rungkut. Kalau saya membiarkan mereka di sana, sama saja saya mengorbankan warga sendiri. Mending saya bongkar. Apalagi, saya sudah dapat banyak masukan dari tokoh masyarakat yang juga resah dengan bangunan itu. Apa mereka mengganggu? Keluhan yang masuk ke saya, mereka keberatan karena banyak bangunan tersebut yang digunakan untuk kafe. Banyak muda-mudi begadang sampai tengah malam. Padahal, lingkungan masyarakat Rungkut agamais. Tidak ada yang namanya kafe remang-remang, kecuali di sana (setren Kali Wonokromo di Wonorejo yang pernah ditertibkan Irvan). Bagaimana hubungan Anda selama ini dengan warga setren? Saya tidak pernah punya hubungan khusus dengan mereka. Sebagai camat, saya hanya memberikan penjelasan yang gamblang tentang bahaya mendirikan bangunan di pinggir kali. Kami juga sudah memberikan peringatan baik-baik. Tapi, kenyataannya, mereka tidak merespons. Langkah kami ya menertibkan secara paksa. Pernah didekati pemilik bangunan? Sering, Mas. Kadang, undangan itu berisi ajakan untuk menghadiri sebuah acara yang mereka adakan. Entah acara yang katanya sosial maupun pribadi. Tapi, saya memilih tidak pernah datang. Kalau saya sampai datang, khawatirnya malah jadi justifikasi untuk membenarkan keberadaan mereka. Ada anggapan bahwa Anda terlalu berani karena langsung membongkar. Apa yang mendasari sikap Anda itu?Sebelum penertiban besar-besaran pada 25 Februari lalu, apa ada persiapan khusus? Sebenarnya, tidak susah untuk melihat mereka melanggar atau tidak. Cukup melihat bukti kepemilikan tanah yang membuat mereka tinggal di atas tanah tersebut. Kalau tidak ada, mereka pasti salah. Apalagi, tidak ada yang punya IMB (izin mendirikan bangunan). Itu masuk wewenang camat. Jadi, saya tidak sewenang-wenang. Ya, saya meminta masukan dari banyak kalangan. Termasuk pengacara untuk menganalisis dampak dan status hukum warga yang tinggal di atas tanggul. Saya juga mengundang tokoh masyarakat. Mereka mendukung langkah yang akan saya lakukan. Termasuk konsultasi ke asisten I Sekkota dan bagian hukum pemkot. Berapa lama Anda mempersiapkan itu? Saya tidak butuh waktu lama-lama. Sejak melubernya sungai pada 31 Januari lalu, saya dan seluruh jajaran kecamatan langsung ngebut mengkaji. Selanjutnya, kami menyusun strategi sebelum penertiban. Akhirnya, rencana itu matang dalam waktu 20 hari. Prosesnya memang sangat cepat. Apa kendala terberat yang Anda hadapi selama penertiban? Emm.. (berpikir sejenak), tidak ada, Mas. Semuanya lancar. Bukankah ada intervensi dari banyak kalangan, termasuk anggota dewan? Memang begitu. Tapi, bagi saya, itu bukan halangan. Ada di antara mereka yang mengirim surat untuk minta penertiban ditunda. Bahkan, ada yang menelepon langsung saat penertiban. Kebanyakan di antara mereka tidak terima dan minta penertiban ditunda. Tapi, saya menjelaskan alasan yang kuat itu agar penertiban tetap jalan. Kalau saya tunda-tunda lagi, penertiban tidak akan berjalan. Apa tidak takut hal tersebut berpengaruh pada jabatan Anda? Saya tidak takut jabatan saya dicopot. Yang saya lakukan adalah menjalankan visi misi wali kota. Pemkot ingin mengoptimalkan saluran air. Bagaimana bisa melakukan itu jika ada bangunan di tepi sungai? Alat berat yang bakal mengeruk sungai pun tidak bisa mendekat. Yang terpenting, semua itu saya lakukan untuk melindungi kepentingan dan keselamatan masyarakat yang lebih banyak. Kalau ancaman dari pemilik bangunan? Wah, banyak, Mas. Bentuknya intimidasi langsung. Rumah saya pernah dilempar dengan sekantong kotoran manusia menjelang penertiban 25 Februari lalu. Penjaga rumah saya pernah memergoki orang yang bakal menaburkan bunga di pintu rumah saya. Di kantor kecamatan, juga sering. Di depan mobil saya pernah ditaruh tiga kepala ikan lele tanpa dibungkus. Saya tidak tahu maksudnya. Bahkan, saya pernah didatangi beberapa preman yang mengancam menghabisi nyawa saya. Mereka datang ke sini (kantor kecamatan) dan ketemu langsung dengan saya. Saya pasrah saja. Saya serahkan sama Tuhan. Itu risiko tugas. Apa tidak ada kekhawatiran terhadap keselamatan keluarga? Sebagai manusia, pasti ada rasa khawatir. Tapi, saya kembali ingat bahwa saya mengemban kepentingan masyarakat yang lebih besar. Paling banter, saya mengingatkan istri dan anak-anak agar lebih berhati-hati. Misalnya, saya melarang anak-anak pulang malam-malam menjelang dan sesudah penertiban. Tujuannya jaga-jaga saja. Bagaimana tanggapan warga Anda setelah penertiban? Semuanya baik. Bahkan, tadi (kemarin) saya baru saja menerima banyak SMS dari warga. Mereka mendukung penertiban bangunan liar setelah melihat berita tanggul jebol di Situ Gintung. Intinya, mereka tidak ingin hal tersebut terjadi di Rungkut. (eko priyono)Sumber Koran Jawa Pos Online.



1 comment :

Rie Rie said...

kalau semua pemimpin mempunyai sikap seperti beliau....