ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

AKU INGIN JADI WALIKOTA

“Ah…ternyata rakyat Indonesia belum merdeka !” umpatku kecewa membaca rentetan perjalanan tata cara pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara langsung di UU 32 Tahun 2004. Maunya pada pemilihan pemimpin level daerah, kewenangan menentukan pasangan calon kepala daerah yang dimiliki partai politik (baca : DPRD) diserahkan sepenuhnya kepada rakyat, sebab sesungguhnya DPRD hanyalah wakil dari ribuan rakyat yang di beri amanat karena ketidakberdayaannya memposisikan diri sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah. Nah, apakah Pemerintah Pusat dan DPR merasa rakyat biasa juga tidak berdaya jika disuruh mencari pemimpinnya sendiri ?. Menurutku pemikiran itu kurang tepat, salah besar, umpatku dalam hati sambil tersenyum saat janda manis, Bertha, lewat dan menyapaku selamat pagi. Kalau idealnya, biarlah mulai dari penjaringan calon sampai pemilihannya diserahkan kepada rakyat. Setelah dilantik nantinya, Walikota, baru resmi menjadi tugas para anggota Dewan terhormat mengawasi. Menurutku penyelenggaraan pemilihan kepala desa saja sudah biasa dilakukan rakyat dengan baik dan proses yang tidak jauh berbeda pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah-pun dapat dilaksanakan. Ya.., kalau mengkaji pandangan para begawan politik yang mengatakan bahwa tarik ulur kewenangan partai politik dalam PILKADA dikarenakan ketakutan sebahagian partai politik kehilangan salah satu simbol “kekuasaan” partai dan/atau “ladang minyak” untuk kehidupannya, itu sih sah-sah saja. Tetapi seperti lagu Peterpan yang lagi ngetop “Ada Apa Denganmu…” juga penting dikunyah-kunyah kembali oleh partai politik dari berbagai hasrat tersebut, jangan sampai ini justru menjadi bumerang nantinya.

Tersentak aku dari lamunan panjang, sesaat ketika terdengar ketukan pintu rumahku. Kuayunkan langkah ingin cepat tahu siapa yang berdiri di belakang pintu. “Eeh..kau rupanya Cok…”, sapaku ketika melihat siapa yang datang. “Ada apa pagi-pagi kemari ?” tanyaku nyelidik. “Begini …Boss…, tim sukses sudah terbentuk di seluruh kecamatan tetapi ada sedikit masalah” ungkap Ucok, orang kepercayaanku yang mengatur strategi pencalonan diriku menjadi Walikota. Aku geleng-geleng kepala tersenyum melihat proposal pengajuan biaya operasional tim suksesku di berbagai kecamatan, yang berisikan tuntutan rupiah. Setelah kuberikan pandangan, akhirnya Ucok menganggukkan kepalanya, paham akan penjelasan yang kusampaikan agar terus menyusun kekuatan di setiap lini, dan terus merapatkan barisan.


“Waduh.., sudah jam duabelas siang…” tersentakku bangkit dari kursi…ingat janji pertemuan dengan tim sukses yang katanya juga tim pemenanganku dalam PILKADA enam bulan kedepan. Sambil berlari kecil, joget, basah badanku diguyur air hangat…segar pikiranku. Tiba di hotel tempat pertemuan yang sudah ku atur, banyak orang berkumpul yang sebahagian besar tidak ku kenal. Ketua tim sukses (TS) ku menyampaikan berbagai pandangan, strategi agar rakyat percaya memilihku nantinya. Aku mulai angkat bicara membahas strategi dan peluang mencari “kendaraan politik” yang menguntungkan diriku. Tawaran dari salahsatu partai besar untuk mengusungku menjadi calonnya membuatku tersanjung, tetapi terperangah aku melihat untaian dolar sebagai kompensainya. Kelompok yang lain menawarkan kontrak politik seperti kemudahan memperoleh proyek dan bantuan serta adapula yang menginginkan jika aku terpilih nanti beberapa nama yang mereka ajukan harus di angkat menjadi pejabat-pejabat di tempat “basah”. “Macam-macam saja sih…emangnya mau jadi menteri” umpatku kesal sambil terus mengikuti jalannya rapat.


Banyak masukan dari tim suksesku mulai dari pendekatan terhadap media massa, pura-pura sibuk memberikan bantuan, sampai hujat menghujat calon saingan lain. Wah kejam sekali jika praktek-praktek itu kulakukan. Akhirnya, kututup pertemuan dengan mengucapkan terimaksih dan minta mereka melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat. Kemudian kubagikan sedikit uang lelah kepada mereka juga biodata lengkap beserta segudang jabatan dan prestasi kutitipkan untuk bahan provokasi demi diriku. Dirumah aku mulai menetapkan beberapa strategi awal menghadapi pencalonanku menjadi Walikota seperti ; PERTAMA : Kusiapkan dana untuk pendekatan kepada partai politik yang memiliki suara. Langkah ini kupandang penting karena UU 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 – lah yang memaksaku melakukan ini, sebab calon independent tidak dikenal dalam PILKADA langsung. Nantinya kalau aku sudah maju menjadi calon, langkah berikutnya akan mudah bagiku, paling tidak itu yang ada dalam pemikiranku. KEDUA : Sebagai pasanganku untuk maju dalam PILKADA langsung, aku harus punya alternatif pilihan seperti calon yang berasal dari partai yang mencalonkanku, atau tokoh masyarakat yang dikagumi, disanjung dan memiliki peluang besar meraup suara yang banyak. Hal ini akan sangat menguntungkanku, karena aku tidak mau kantong-kantong suara hanya memandangku saja tanpa ada tambahan dari wakilku nanti.


KETIGA : Untuk menguatkan kedudukan dan karakter diriku di mata masyarakat aku akan merangkul organisasi-organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh adat dan agama, bahkan tokoh Nasional untuk bersuara mengumandangkan irama suka pada diriku. Biasanya, suara orang-orang yang menjadi panutan di tengah masyarakat sangat di dengarkan masyarakat dan akan diikuti apa yang disampaikannya. Melalui mereka aku dapat mempromosikan diriku dan menjadikan diriku pilihan yang tepat bagi mereka. KEEMPAT : Aku akan memilih beberapa media masa sebagai alat propagandaku mempromosikan diri secara global dan memanfaatkannya untuk menuangkan janji-janji manisku sebagai pemikat masyarakat. Selain itu media masa yang ada dibelakangku secara bijaksana akan kujadikan senjata ampuh menjatuhkan kharisma, wibawa dan karakter lawan-lawa`nku. Kukira inilah cara yang paling ampuh mengadakan pembusukan dan penghancuran karakter calon lain selain sebagai upaya strategi upaya menggalang masa pendukungku. KELIMA : Memikat orang-orang terdekat calon lain. Hal ini bertujuan selain sebagai upaya menyidik kelemahan lawan juga sebagai upaya spionase tindakan-tindakan atau kampanye lawan. Dengan demikian tidak sulit mengikuti jalan cerita sepak terjang lawanku dan buntut-buntutnya akan mudah menjatuhkan lawan di mata masyarakat.


Sebenarnya aku sadar sebahagian gerakan yang aku buat merugikan orang lain, namun cara-cara yang akan kutempuh ini sudah lagu lama yang selalu menjadi favorit setiap orang yang bergesekan dengan politik. Walikota kan jabatan politis, bukan jabatan karir yang berjenjang membutuhkan tahapan mencapainya. Walau kadang dilemanya ada Bupati atau walikota atau bahkan gubernur yang terjerumus tindakan korupsi karena tidak menguasai bidang tugasnya sebagai kepala daerah. Jadi kurang adil jika kita selalu memvonis kesalahan kepala daerah karena kemauannya, bisa saja karena tidak pernah mengetahui birokrasi dan peraturan … tetapi menjadi simbol perlindungan dan permainan anak buahnya. Ah, itu bukan urusanku, pikirku dalam hati.


“Tapi bagaimana ya…Peraturan Pemerintah yang mengatur penyelenggaraan PILKADA yang baru turunpun nafasnya juga menghambat proses demokratisasi yang terbuka, bingung aku. Ternyata masih ada yang berpikiran setengah hati mewujudkan PILKADA dari rakyat – oleh rakyat – dan untuk rakyat. Ya sudahlah, biasa beragam penafsiran yang menghiasi alam demokrasi Indonesia ini, jangan disalahkan juga, karena peraturan perundang-undangan yang di buat masih saja membingungkan dan kentalnya politisasi kebijakan yang dimuatnya. Teringatlah aku kembali akan seleksi penerimaan CPNS yang kata orang banyak, di daerah, mengatakan pengangkatan CPNS Daerah sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah tetapi kalau dilihat teliti UU 32 Tahun 2004 Pasal 129 ayat (1) dan (2) jelas bahwa kewenangan penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, dan seterusnya adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Lho..kok malah aku berpikir masalah CPNS…he..he.. he… ya sudahlah paling tidak menjadi bahanku untuk lebih mencerna lagi peraturan yang ada dan menyikapinya dengan rasionalisme tinggi.Hari sudah malam, lagian aku sudah ngantuk, semoga ada perubahan kondisi politik dan semangat berdemokrasi dari masyarakat serta para politikus, sehingga praktek demokrasi yang dilakukan oleh siapa saja tidak lagi berprinsip SDM kuadrat (Selamatkan Diri Masing-Masing) namun keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakatlah yang menjadi tujuan tampil menjadi pemimpin, kapanpun nanti saatnya.***

No comments :