ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

Birokrasi, Welcome to the Jungle

Birokrasi, apabila kita mendengar kata ini pasti pikiran kita tertuju kepada prosedur-prosedur yang berbelit-belit. Hal itu wajar menjadi anggapan sebagian besar masyarakat, dikarenakan selama ini birokrasi itu sendiri dianggap kurang mengedepankan kepentingan rakyat. Hukum alamnya bila berurusan dengan birokrasi pemerintahan maka wajib berurusan dengan aturan yang merepotkan, belum lagi repot dengan kelakuan aparaturnya. Kenyataan seperti ini merupakan sisi buruk dari sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Oleh karenanya, selamat datang di dunia birokrasi. Pada era sekarang ini, sering kita mendengar istilah Good Governence, yang sedang gencar-gencarnya diusung oleh Pemerintah guna membangun sistem pemerintahan yang lebih melayani rakyat. Harapannya, dengan 10 Prinsip Tata Pemerintahan yaitu prinsip daya tanggap, pengawasan, transparansi, profesionalisme, akuntabilitas, efesiensi dan efektifitas, wawasan ke depan, kesetaraan, dan prinsip penegakan hukum, diharapkan seluruh lobang birokrasi dapat ditutup rapat.


Begitu rumitnya makna birokrasi, sehingga kecendrungan pemikiran masyarakat pun lebih ekstrim, mencari jalan bagaimana supaya birokrasi dapat di pangkas kalau bisa sampai botak licin. Pola ini akhirnya melahirkan bentuk birokrasi baru yaitu birokrasi – pelicin. Uang adalah kata kunci agar yang namanya birokrasi bisa diatur sesuka hatinya. Karena sudah menjadi hukum alam, atau konvensi atau sudah trend tahu sama tahu, masyarakatpun lebih suka menawarkan rupiah terlebih dahulu saat mulai bertransaksi dengan yang namanya birokrasi. Membangun aparatur Birokrasi khususnya Birokrasi Pemerintahan, memerlukan strategi-strategi khusus yang mau tidak mau harus memiliki ancaman hukuman dan lainnya. Memang kita sudah mulai sering mendengar para aparat birokrasi di seret ke rumah pesakitan alias penjara, dan tidak tanggung-tanggung, akibat Birokrasi – Pelicin itu, beberapa Kepala Daerah bahkan wakil rakyat terhormat sudah merenungkan betapa nikmatnya menyepi di balik jeruji besi.


Reinventing Government (Regov) atau yang dikenal dengan mewirausahakan birokrasi, merupakan salah satu model penyelenggaraan birokrasi pemerintahan unggul. Konsep Presiden Bill Clinton yang melakukan pembaharuan birokrasi pemerintahannya, memang tidak bisa sepenuhnya di adopsi oleh Birokrasi Indonesia. Penyebabnya tidak lain karena relatif SDM aparat birokrasi Indonesia masih rendah (tidak profesional), budaya masyarakat yang sering menjadi alasan penyimpangan, serta anggaran negara yang terbatas. Melakukan Reinventing Government, diartikan sebagai upaya menerapkan spirit entrepreneurship (kewirausahaan) kedalam birokrasi pemerintahan. Menyuntikan spirit enterpreneurship dilaksanakan dengan sepuluh komitmen yaitu : Pemerintah harus bersifat katalis, milik masyarakat, kompetitif, berorientasi misi, beroientasi hasil, berorientasi pelanggan, wirausaha, antisipatif, desentralisasi, dan pemerintah berorientasi pasar.


Pemerintahan katalis diartikan sebagai pemerintah yang mampu mendorong masyarakat ataupun organisasi kemasyarakatan untuk berdaya membangun dirinya. Ini berarti, posisi pemerintah beralih dari fungsi pemberi perintah atau pemberi petunjuk menjadi fasilitator. Perbedaannya terletak pada keinginan siapa yang dikemukakan terlebih dahulu, kemudian siapa yang menentukan keputusan berbagai proses pelaksanaannya. Kebiasaan yang suka dilakukan seperti birokrasi hutan rimba, dimana perintah dari atas tanpa perduli kebutuhan bawah, dan kadang orang-orang disekitarnya menjadi santapan lezat. Demikian juga kalau Pemerintahan itu menjadi milik masyarakat, dan bukan milik nenek moyangnya aparat birokrasi, sehingga keinginan menyengsarakan rakyat akan terkubur oleh kesetiaan pengabdian untuk masyarakat.


Selanjutnya Pemerintahan yang kompetitif, episode baru pada birokrasi Indonesia yang mencoba merangsang aparat birokrasi bersaing sehat dan berlomba-lomba mencetak pestasi. Pada pihak pimpinanpun ikutan berlomba-lomba memberikan penghargaan kepada setiap aparat yang berprestasi, memberikan promosi, piala, atau pendidikan pelatihan tambahan. Namun kenyataannya justru diantara aparat birokrasi dan pimpinan-pun terlibat mempraktekkan kegiatan berlomba-lomba untuk menjatuhkan, menjelekkan, bahkan menghancurkan, agar dirinya dianggap berjasa, berprestasi dan dianggap pahlawan oleh atasannya. Lihat saja kucing di hutan yang berebut tikus, pada awalnya mereka melakukan kompetisi sehat mencari tikus masing-masing, namun tiba giliran ada seekor tikus, otomatis berlomba-lomba mendapatkannya, berebut sampai cakar-cakaran.


Demikian juga Pemerintahan yang berorientasi misi, berorientasi hasil dan berorientasi pelanggan. Birokrasi yang banyak aturan, administrasi yang tumpang tindih, tidak memiliki target, selalu dijadikan senjata meraup keuntungan pribadi oleh oknum-oknum aparat birokrasi. Konsep idealnya kebutuhan masyarakat itulah yang harus diutamakan untuk dicapai, bukan aturan kaku yang di nomor satukan, walau kadang masyarakat sendiri suka bandel dan malas memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Pemerintahan harus konsisten merancang bentuk-bentuk pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan yang diinginkan masyarakat serta manusiawi. Kalau di hutan kita sering lihat burung Jalak, burung ini suka makan kutu lembu, kutu sapi atau kutu kambing…si burung enak-enakan dapat makanan kutu dari badan sapi tapi sapi kesakitan kena patuk burung, walaupun si sapi beruntung juga. Beginilah jadinya seorang aparat birokrasi menjalankan tugasnya, sehingga masyarakat dan bangsa patut dikasihani oleh karena ulahnya.


Panjang lebar, saat kita melihat sosok pemerintahan yang wirausaha, artinya anggaran yang dimiliki pemerintah dan dijalankan aparat birokrasi bukan tujuan akhirnya habis begitu saja. Namun, ada feed back (umpan balik) dari berbagai kegiatan yang di biayai anggaran itu. Keberhasilan suatu kegiatan memang tidak selamanya ditunjukkan oleh besarnya rupiah yang didapatkan sebagai umpan balik program kerja birokrasi, tetapi perlu di manage agar hasilnya tidak sekedar pencapaian out put saja, jauh kedepan sampai benefit (bermanfaat) bahkan impact (berdampak positif) dalam pengembangan diri dan institusi. Dapat juga diselaraskan dengan pemerintahan yang antisipatif, yaitu pemerintahan yang mampu menyelesaikan permasalahan tanpa melahirkan permasalahan baru. Penggunaan metode dan strategi yang tidak tepat sering dipraktekkan dalam birokrasi, bahkan cenderung birokrasi selalu salah merumuskan masalah daripada memecahkan masalah itu. Seperti buaya, disaat dirinya didaulat menjadi penguasa karena kuat dibanding yang lainnya, dan di saat ada buaya lain melintas di daerah kekuasannya pasti diserang karena dianggap akan merebut daerahnya, padahal bisa saja si buaya cuma numpang pipis.


Reinventing Government yang kesembilan dan kesepuluh, sebenarnya sudah dilaksanakan aparat birokrasi pemerintahan bahkan lebih maju sedikit dengan otonomi daerahnya. Namun, kadangkala upaya mendorong pelaksanaan penyerahan wewenang dari unsur birokrasi pusat ke bawah dilaksanakan setengah hati, kepalanya diberikan namun buntutnya masih dipegang. Aparat birokrasi daerahpun bingung melaksanakan kerja pelayanan birokrasi pemerintahan kepada masyarakat. Kewenangannya ada namun tidak jelas batasnya, sehingga dalam prakteknya melahirkan keragu-raguan. Banyak teori brilliant memajukan birokrasi pemerintahan, namun kembali kepada sumber daya manusianya, kalau pemikirannya masih “SDM “ (Selamatkan Diri Masing-Masing) tentu susah mewujudkan birokrasi yang ideal. Tentu judul artikel Birokrasi, selamat datang di hutan rimba…tidak berlebihan. (Penulis Alumni STPDN Jatinangor) .

No comments :