ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

STPDN, Riwayatmu kini

STPDN, RIWAYATMU DULU
SEBUAH KAJIAN PROTES AKIBAT LATAH DAN SALAH URUS
Oleh: Robert H. Ginting,AP, MSi


Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), pada hakekatnya bertujuan membangun Kader Pemerintahan yang berkualifikasi kenegarawanan dan kepemimpinan Pemerintahan yang bersih dan berwibawa dalam pelayanan publik. Pengintegrasian APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) dari 20 Propinsi merupakan isyarat dibutuhkannnya kader pemerintahan yang handal dan berwawasan Nasional.

Sebagai kader pemimpin Bangsa, sama seperti para Taruna AKABRI, posisi Praja STPDN (sebutan untuk mahasiswa STPDN), dewasa ini menjadi fokus perhatian yang sedang marak-maraknya dibicarakan berbagai kalangan. Tidak hanya dikalangan birokrat, akan tetapi juga kaum intelektual / pemikir, terlebih masyarakat yang semakin kritis menuntut keterbukaan.

STPDN SEBELUM REFORMASI

Berada di kaki Gunung Manglayang, Jawa Barat, di atas lahan 200 hektar berdiri kokoh bangunan STPDN. Di tanah Jatinangor yang merupakan kawasan pendidikan tempat bangunan STPDN berada itu, berdiri juga tiga perguruan tinggi ternama seperti Universitas Padjadjaran, Institut Manajemen Koperasi Indonesia, dan Universitas Winayamukti. Sekitar 4.000 orang Praja STPDN yang berasal dari seluruh Indonesia di bina menjadi manusia yang handal dalam ilmu-ilmu penyelenggaraan pemerintahan, keterampilan (pertanian, peternakan, kesenian, dan olahraga), serta pengasuhan (etika, moral, dan kerukunan hidup beragama).

Bangunan berlantai dua tempat tinggal Praja masing-masing di huni lebih kurang 100 orang, dan setiap lantai di sebut desa atau kelurahan. Masing-masing dipilih secara demokratis seorang kepala desa, lurah, camat, bupati sampai gubernur Praja. Sebuta Praja STPDN dimulai tingkat satu sampai keempat adalah Muda Praja, Madya Praja, Nindya Praja, dan Wasana Praja. Sedangkan organisasi Senat Praja STPDN disebut Wahana Bina Praja. Wahana Bina Praja dipimpin oleh seorang Gubernur Praja dan dibantu oleh dua orang Wakil Gubernur Praja, Sekretaris Wahana Bina Praja, empat orang Bupati Praja, Dinas Praja (Pendidikan, kesejahteraan, kerohanian, olahraga, kesenian dan peranan wanita). Selain itu terdapat pula Dewan Perwakilan Praja, Inspektorat Praja, Polisi Praja, Resimen Mahasiswa, dan unit pembantu lainnya.

Dengan struktur organisasi Senat di atas, seluruh Praja diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai Pejabat di Wahana Bina Praja. Kehidupan Praja di mulai dari bangun pagi pukul 04.00 WIB, setiap Praja diwajibkan mentaati Peraturan Kehidupan Praja (PERDUPRA) yang di awasi oleh para Pengasuh Praja. Para Pengasuh Praja ini pun sebahagian besar direkrut dari alumni APDN dan STPDN dan bahkan Bintara Kodam III Siliwangi Jawa Barat pernah ditugaskan sebagai Pengasuh Praja STPDN. Disiplin dalam segala hal mulai dari baris ber baris, sepatu, ujung rambut, dan lipatan baju dalam di lemari-pun diatur sedemikian rupa panjang pendeknya. Hal ini membuat Praja STPDN terlatih dan terbiasa berprilaku disiplin dalam hal apapun. Disiplin militir yang sebahagian di adopsi STPDN, sistem senioritas, menjadi salah satu tatanan terpenting dalam menempuh pendidikan di STPDN Jatinangor. Senior selain berperan membimbing adik tingkatnya (tanpa memandang SARA) diberikan kedewasaan membina adik tingkatnya yang berbuat kesalahan dengan pendekatan kekeluargaan dan semi militer. Para senior-pun memiliki kewajiban membantu adik tingkatnya dalam segala hal pada program kegiatan kakak/adik/saudara asuh. Inilah pola kekeluargaan yang dikedepankan dalam pembinaan Praja STPDN yang lebih fleksibel memandang sisi senioritas, dengan melihat Praja Junior sebagai adik sendiri begitu seterusnya.

Pihak lembaga STPDN juga pernah merasa seorang Praja membutuhkan sosok orangtua sebagai pengganti orangtua sesungguhnya di perantauan, maka program Mentor-pun di laksanakan oleh STPDN. Pada program mentor ini , seorang Dosen diberikan tanggungjawab mengawasi, membina dan membimbing sebanyak lebih kurang 15 orang Praja STPDN. Pola pembinaan dan pengawasan secara bertingkat ini memberikan peluang sempit dari berbagai tindak penyimpangan bahkan kriminalitas dari Praja STPDN.

Kehidupan Praja diarahkan juga untuk menjadi Kader Pemerintahan yang berwawasan Nasional, dalam berbagai kegiatan bersama. Beberapa hal sebagai indikatornya adalah dengan dibangunnya Gereja Kristen Protestan, Gereja Katolik, Pure, dan Masjid yang mampu menampung 4.000 orang. Setiap pelaksanaan kegiatan ibadah seperti kerohanian pada malam Rabu, Malam Jumat dan Hari Jumat, serta Minggu untuk semua pemeluk Agama dan Praja di awasi oleh para Pengasuh. Kemudian pada peringatan hari-hari besar keagamaan dirayakan dalam satu Balairung STPDN (aula besar) yang mampu menampung 7.000 orang, dengan catatan para Praja yang berbeda agamanya hadir pada acara seremonialnya (hiburannya). Dengan demikian, hormat menghormati antar umat beragama sesama kader pemerintahan sudah dipatrikan mulai dari Muda Praja sampai Wasana Praja.

Disiplin dalam hal makan-pun (makan pagi, siang dan malam) dilaksanakan secara bersama-sama untuk menumbuhkan kebersamaan senasib sepenanggungan dalam sebuah ruang makan yang disebut Gedung Menza (Gedung Nusantara) yang mampu menampung 4.000 orang Praja sekali makan. Luasnya pemikiran Pemerintah pada saat itu, hingga mampu menjangkau pemikiran untuk menyatukan persepsi, pandangan dan kebersamaam antara kader-kader bangsa yaitu Praja STPDN dan Taruna AKABRI. Wujud nyatanya dalam bentuk pelaksanaan kegiatan Latihan Integrasi Taruna Dewasa (LATSITARDA) secara bersama-sama keseluruhan mengikutinya di berbagai wilayah Republik Indonesia. Inilah cerita manis keseriusan sepanjang lima tahun Pemerintah pada waktu itu, disaat STPDN dipimpin oleh Kolonel (Purn) Sartono Hadisumarto kemudian dilanjutkan oleh Mayjend. CPM (Purn) I.GK. Manila.


STPDN PASCA REFORMASI

Ketika teriakan reformasi dikumandangkan, banyak perubahan terjadi baik dalam Pemerintahan maupun kemasyarakatan, termasuk STPDN. Istilah reformasi umumnya bermakna “gejolak” tuntutan terhadap tindakan atau pandangan yang di rasa kurang pas atau kurang cocok atau tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.Namun apa daya rasionalitas pemikiran manajemen STPDN dan Praja STPDN saat itu keliru menyikapi reformasi yang sebenarnya, yang dicetuskan sebagai anti militerisme. Sehingga perpaduan gejolak Praja STPDN dan “kedangkalan” berpikir manajemen STPDN pada saat itu membuat STPDN kehilangan banyak pimpinan dan pengasuh baik yang berlatar belakang militer.

Akibatnya, STPDN mengalami berbagai perubahan karena “penyusupan” pemikiran orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menghancurkan karakter dan kredibilitas STPDN sebagai lembaga pencetak Pamong Praja. Mulai dari kasus pemukulan junior pada salah satu prosesi pengkaderan Praja STPDN, kriminalitas, sampai perkelahian telah 100 % mencoreng muka STPDN dan membuat malu para alumni STPDN se-Indonesia. Kebanggaan Alumni / Purna Praja STPDN yang selalu di wisuda Presiden Republik Indonesia, kini, sebaiknya menjadi motivasi bagi Departemen Dalam Negeri untuk lebih serius memperhatikan STPDN. Kajian awal, seharusnya DEPDAGRI dapat lebih meningkatkan pengawasan, pembinaan, dan pencetakan kualitas SDM STPDN, apalagi kalau melihat anggaran operasional STPDN sebahagian besar sudah menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah se-Indonesia.

Keberadaan pengasuh yang terbatas merupakan salah satu penyebab lain sebagai pemicu timbulnya “kenakalan” oknum Praja STPDN. Seandainya DEPDAGRI mau berpikir meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap Praja STPDN, yakin dan percaya para Purna Praja STPDN – pun jika diminta perhatiannya akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran “menjaga” STPDN. Namun itikad baik dari unit Pemerintah Pusat-pun selayaknya dikemukakan untuk menyusun konsep pembinaan terhadap Praja STPDN kedepan serta untuk para Purna Praja yang menyiapkan waktu dan tenaganya bagi STPDN.

Dulu, siapapun yang masuk ke STPDN akan kagum membaca tulisan “Selamat Datang di Kstariaan STPDN”, ini berarti tempat atau STPDN yang bertugas membina Praja STPDN dan membentuknya menjadi Ksatria-Ksatria pembela bangsa, bukan seperti Ksatria Baja Hitam, James Bond, atau bahkan Kolor Ijo. Kebanggaan menjadi Praja yang dididik di Ksatriaan STPDN hari demi hari meluntur seiring dengan perubahan tulisan “Selamat Datang DI Ksatriaan STPDN”, menjadi “Selamat Datang di Kampus STPDN”. Diprediksikan hal ini akibat “pemberontakan” sebahagian elit penguasa saat itu yang menyebabkannya karena kecemburuan akan keunggulan Praja STPDN dalam berbagai hal. Bukan memuji, tetapi pernah pada suatu masa yang lalu, para Purna Praja STPDN menjadi Perwira Muda dan sebahagian besar dilantik menjadi Danramil di berbagai wilayah Indonesia. Kemudian pada suatu masa, dulu, pada kejuaraan bidang kemiliteran seperti lomba penyusunan strategi perang, formasi pasukan dan tempur serta lainnya, justru juaranya di dominasi Purna Praja STPDN.

Lepas dari kebanggaan dulu, pada STPDN lama, saat ini seharusnya dimulai dari penjaringan Calon Praja STPDN, pihak DEPDAGRI dan STPDN tidak terlalu menjaga “perasaan” dan menerima “titipan-titipan” Calon Praja dari para penguasa, demi mendapatkan Praja yang betul-betul memiliki kualifikasi jempolan.

Kedepan diharapkan, para Praja STPDN diharapkan lebih mawas diri dalam merepresentasikan dirinya baik sebagai Kader Pemimpin Bangsa dan juga sebagai Praja / mahasiswa pada saat menjalani pendidikan. Kembali kepada alam yang terkembang ini, ada yang baik dan ada yang buruk dimiliki seseorang, termasuk Praja dan Purna Praja STPDN. Oleh karenanya masing-masing individu harus bijak melihatnya. Kepada Pemerintah atas dan penguasa diharapkan juga memandang STPDN sebagai tempat yang baik dan memiliki tujuan yang baik untuk Bangsa Indonesia, jadi bukanlah sasaran untuk menjadikannya konsumsi politik, konsumsi berita negatif, dan konsumsi lain-lainnya. Semoga masing-masing individu sadar akan pentingnya keberadaan STPDN dan mendukungnya dalam doa dan pengharapan. (Penulis adalah alumni STPDN)

1 comment :

Slamet Basuki said...

Halo Boss Robert...makin mantap saja!!
2 hal aku setuju: rekrutmen capra dan mutu serta jumlah tenaga pengasuh.

salam dari kota angin,
slambas 05.3171