ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 6 November 2007

UU 32 Tahun 2004 Mewariskan Kebingungan DPRD

Ricuh di lembaga-lembaga terhormat seperti DPR, DPRD, dan MPR sepertinya tiada akhir. Ketidakdewasaan pola pikir dan prilaku berbaur dengan berbagai hasrat demi kepentingan diri sendiri. Penyelenggaraan otonomi daerah pada Undang-Undang 22 Tahun 1999 yang meletakkan perhatian kepada pemberdayaan pemerintah daerah, ternyata menyimpan “mesin pembunuh” bagi daerah-daerah di sebahagian besar wilayah Indonesia. Salah satu bentuk penampakan prilaku, akibatnya, yaitu Pengobok-obokan kepala daerah oleh DPRD. Praktek negatip ini akhirnya menyisakan berbagai perpecahan visi, misi, dan strategi daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah yang bersih dan bertanggungjawab. Penggembosan wibawa lembaga seperi DPRD ini tidak lain disebabkan oleh banyak oknum SDM anggota DPRD yang mengecewakan masyarakat, dalam prakteknya. Kecendrungan para anggota DPRD yang dikedepankan partainya hanya berlandaskan ketokohan indvidu atau keluarga yang mengemuka di mata masyarakat tanpa serius mempertimbangkan kemampuan intelektual serta nuraninya.Akibatnya, pemahaman anggota Dewa ini tidak mampu menjadikan dirinya sebagai wakil rakyat yang mumpuni dan cenderung mementingkan diri dan partainya sendiri.


Paling tidak mungkin hal itulah, salah satunya, yang membuat revisi UU 22/1999 sangat penting bag intelektual pusat dan daerah. Keluarnya UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ternyata masih mewariskan banyak tanda tanya dan memiliki banyak titik yang mengundang penafsiran beda serta berbahaya, walau peraturan pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan yang di pandang sebagai sumber penjelasan UU 32/2004 belum terbit.


KODE ETIK


Melongok berbagai kebingungan yang dimuatnya, Contoh saja Pasal 49 yang mewajibkan anggota DPRD menyusun kode Etik bagi anggota Dewan .Memang tepat , kode Etik anggota Dewan sangat di butuhkan untuk menata pola hidup perilaku dan perkataan anggota Dewan. Maksudnya memang baik , tetapi yang namanya kode etik tentu memuat berbagai aturan larangan maupun kewajiban bagi anggota Dewan. Nah, kalau larangan untuk dan dibuat diri sendiri apa tidak aneh ?. Peluang membuat kode etik yang tidak terlalu mengekang mereka (anggota Dewan) besar sekali . Kalau sudah demikian etika berpolitik para anggota Dewan-pun akan serabutan, seperti yang dulu-dulu. Seharusnya, Pemerintah atas membuat undang-undang tersendiri yang mengatur kode etik anggota DPRD. Keuntungannya, selain aturan yang di buat akan mengeleminir celah-celah sempit yang bisa diselewengkan oknum anggota Dewan; kode etik yang di buat dari pusat itu harus konsen dan betul-betul mampu mengusung sosok DPRD sebagai lembaga sakral untuk keadilan dan kemaslahatan umat manusia Indonesia.


Lihat saja Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS yang jelas menyatakan adanya kode Etik Jurnalistik yang bentuknya satu dan berlaku bagi seluruh pelaku kejurnalistikan. Bayangkan saja jika di seluruh indonesia para wartawan dan atau organsasi kewartawan membuat kode etik kejurnalistikan sendiri-sendiri sesuai seleranya ? Tentu sulit mendapatkan kekuatan hukum yang tetap, dan akhirnya membingungkan .


DILARANG KKN


Sepertinya kasus tindakan korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) juga di takutkan beroperasi di lembaga terhormat seperti dewan ini. Mungkin beberapa kasus yang menimpa anggota DPRD seperti yang di wilayah Sumatera Barat misalnya, memotivasi para pakar otonomi daerah menyusun materi pasal 54 ayat 3 yang berbunyi : Anggota DPRD di larang melakukan KKN. Padahal di UU No 22/1999 tidak ada satu pasal-pun yang melarang anggota DPRD melakukan tindakan KKN Bisa jadi karena ”kelupaan“ memuat materi tersebut dipandang sebagai isyarat kata persetujuan boleh melakukannya. Berpikir positif, anggap saja hal itu kekeliruan segelintir oknum yang salah menjabarkan yang tersirat dalam surat. Mengingat cerita korupsi yang terus bersambung dari satu generasi ke generasi berikutnya, seharusnya muatan sebagai angota DPRD yang terhormat, beranI memposisikan diri sebagai “provokator” pemberantasan korupsi.


Dengan kekuatan itu DPRD akan mampu “memaksa” pemerintah daerah berlaku bersih dan bertanggungjawab dengan acuan 10 Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik. Pembentukan fondasi suatu system integritas Nasional yang anti KKN untuk DPRD dan pemerintah daerah seharusnya dirumuskan terlebih dahulu. Tujuannya agar tercipta suatu lingkungan integritas dikehidupan publik. Mengutip tujuh prinsip untuk kehidupan dari Buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, disebutkan:


a. Selflessness, dimana pemegang jabatan publik harus mengambil keputusan hanya untuk kepentingan publik. Mereka tidak boleh melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan keuangan atau manfaat materi lain untuk pribadi, keluarga atau kawan-kawanya.


b. Integrity, dimana dalam menjalankan tugas publik/kemasyarakatan, pemegang jabatan publik termasuk anggota DPRD sebagai wakil rakyat, harus mengambil keputusan berdasarkan merit, termasuk dalam mengangkat pejabat publik, penentuan kontrak, atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan dan fasilitas.


c. Accountability, dimana pemegang jabatan publik bertanggungjawab atas keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya kepada publik dan harus menyediakannya untuk diperiksa apabila ada pemeriksaan terhadap unit kerjanya.


d. Openness, dimana pemegang jabatan publik harus seterbuka mungkin mengenai semua keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Mereka harus memberikan alasan untuk keputusan-keputusannya dan membatasi informasi hanya apabila kepentingan publik atau masyarakat luas menghendakinya.


e. Honesty, dimana pemegang jabatan publik memiliki kewajiban untuk mendeklarasikan semua kepentingan pribadinya berkaitan dengan kewajiban publiknya dan mengambil langkah-langkah untuk memecahkan konflik yang muncul dengan cara melindungi kepentingan publik.


f. Leadership, dimana pemegang jabatan publik harus mendorong dan mendukung prinsip-prinsip tersebut di atas melalui kepemimpinannya dan memberikan contoh-contoh teladan.


PERTANGGUNGJAWABAN


Selama ini yang akrab di telinga kita adalah pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran. Tetapi pada Undang-undang 32 Tahun 2004 ini khususnya Pasal 45 huruf “g” dikatakan DPRD mempunyai kewajiban memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggungjawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Kalau di baca perlahan, tidak jelas pertanggungjawaban yang bagaimana dimaksud dan tidak jelas kepada siapa dan kapan pertanggunggjawaban itu diberikan. Didalam penjelasan undang-undangpun tidak ada uraian tambahan yang menerangkan maksud Pasal 45 ini. Terlalu kompleks permasalahan yang di muat pasal ini dan menjadi percuma jika dalam Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk tekhnis UU 32/2004 tidak dipikirkan oleh karenanya, nanti.


RANCANGAN PERDA


Pasal 44 UU 32/2004 “menuntut” DPRD mampu membuat sendiri rancangan peraturan daerah untuk dibicarakan bersama eksekutif. Kenyataannya, sejak UU 22/1999-pun walau kata-kata DPRD berhak mengajukan rancangan Perda, hanya beberapa saja yang mampu melakukannya, atau bahkan nihil sama sekali, penulis tidak pernah mendengar lebih jelas. Memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, jika muncul ketidakmampuan DPRD mengajukan rancangan Perda. Pihak eksekutif-pun layak disalahkan juga karena masih setengah hati menempatkan staf yang berkualitas lebih di jajaran Sekretariat DPRD atau kurang berinisiatif membentuk Kelompok Ahli di DPRD sebagai “mesin/otak” untuk diskusi dalam proses curah pendapat (brain storming). Kelompok Ahli ini bisa saja beranggotakan PNS yang memiliki kemampuan, serta pendidikan, serta pengalaman lebih dari yang lainnya melalui seleksi tertentu dan dari kalangan kampus (pakar-pakar intelektual). Dengan demikian tunggakan kerja dan tuntutan berbuat, berpikir serta berkarya untuk rakyat yang diwakilinya dapat tercapai. Bila keberanian mewujudkan ide-ide muncul ? , tergantung bila yang terlibat berani memikirkannya.

No comments :