ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Thursday 20 March 2008

3,4 Milyar demi Partai Sensitif

Beberapa hari yang lalu, semarak ekspose di berbagai media, FPDI-P DPR-RI mengembalikan uang imbalan pengesahan UU yang diterima seluruh anggota FPDI-P sebesar 3,4 milyar. Sebelumnya Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) juga ‘menolak’ menggunakan uang sama untuk kepentingan pribadi namun menyumbangkannya kepada korban bencana alam, walau penyalurannya berdasarkan daerah pemilihan. “ Kita tidak melihat ada sebuah kelayakan bahwa kita layak menerima insentif itu. Ya, kita kembalikan saja kalau begitu, karena rakyat memang lebih membutuhkan,” kata Ganjar Pranowo (FPDI-P). Selanjutnya, mengutip pernyataan Direktur Indo Barometer - Mohamad Qodari kepada detik.com, “Bagus, top. Mereka melakukan itu untuk menimbulkan citra sebagai partai yang sensitif terhadap wong cilik”.

Mencermati prilaku dan komentar partai-partai politik yang duduk sebagai wakil rakyat diatas termasuk yang ada di daerah; sebuah pertanyaan mudah akan muncul di benak kita, mengapa dikembalikan ? Jika orang partai lain yang menjawab, pasti dengan malu menjawab untuk kampanye. Walau orang pintar mengatakan “terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali” jika diberlakukan untuk belajar atau pendidikan, tentu masih bisa dipahami. Namun berbeda jika ungkapan ini diucapkan Partai Politik, pada kasus pengembalian uang imbalan pengesahan undang-undang, yang terlambat maupun yang tidak mengembalikan termasuk menyerahkannya kepada korban bencana, sama-sama tidak murni pikirannya. Artinya, yang mengembalikan uang juga perlu ditanyakan mengapa tidak dari awal dkembalikan dan selanjutnya mengapa tidak pada tahap pembahasan anggaran, biaya imbalan pengesahan undang-undang di coret saja. Seandainya partai kecil yang mengembalikan tentu tidak masalah karena kecilnya suara di DPR sehingga tidakkan mungkin menghempang upaya pencantuman uang imbalan pengesahan UU.

Penulis berpikiran negatif kepada partai-partai politik terutama yang mengembalikan uang dan menyumbangkannya kepada korban-korban bencana, mengarah kepada upaya menarik simpati masyarakat. Bagi Partai yang mengembalikan uang, kata pakar pada alinea sebelumnya adalah untuk mengembalikan citra partai, namun yang menjadi pertanyaan, kalaulah komitmen partai sudah demikian, mengapa tidak seluruh anggota DPRD yang ada di provinsi, kabupaten, kota dari PDIP mengembalikan uang-uang sejenis yang banyak dianggarkan di APBD ? Sedangkan bagi Partai yang membusungkan dada dengan menyumbangkannya ke korban-korban bencana alam, yang menjadi pertanyaan, mengapa disumbangkan pada kantong-kantong basis tertinggi perolehan suara partai mereka saja, lebih bijaksana jika uang itu diserahkan ke Menteri Sosial agar dikelola lebih profesional, jika memang nurani yang berbicara.

Partai sensitif bukan berarti partai yang paling banyak memberikan bantuan sosial kepada korban-korban bencana alam atau korban apapun namanya. Partai sensitif adalah partai yang mampu membantu korban keluar dari permasalahan akibat bencana-bencana yang dialami. Dengan demikian hakekat partai sensitif tidak bisa dilepaskan dari ide, kreatifitas dan perbuatan nyata partai bersama anggota-anggotanya tidak hanya saat bencana itu muncul baru perhatian muncul, tetapi jauh lebih bermakna saat partai berbuat atau berpikir bagaimana agar bencana dapat dihindari dan bagaimana urusan dapur korban tidak hanya untuk 1 hari penuh indomie saja. Memang tindakan partai-partai yang tidak menerima uang imbalan itu lebih terhormat daripada yang diam-diam saja membelanjakan uang negara atas nama rakyat dan jika disuruh memilih pada level ini tentu saja partai sensitif dapatlah dipersembahkan kepada mereka diantara partai-partai yang tidak sensitif. Sama seperti menjadi orang terpintar diantara orang bodoh atau menjadi orang terpintar dari orang pintar, demikianlah partai-partai menggunakan uang rakyat dan dikembalikan untuk rakyat dengan tujuan rakyat memilih mereka dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Ini modus baru yang dipraktekkan partai-partai politik karena mungkin saja kegiatan-kegiatan merebut simpati masyarakat seperti, merekrut tokoh-tokoh idola masyarakat, merangkul tokoh agama, merangkul tokoh adat, merangkul tokoh nasional, merangkul tokoh luar negeri, perang spanduk, perang iklan, dan perang “kejahatan”. Walaupun penulis bukan psikolog tetapi sosiolog, masalah perasaan dan balas jasa sudah terpatri di benak masyarakat Indonesia dengan Pancasila-nya. Kelebihan sekaligus kelemahan ini menjadi momentum partai politik menyentuh hati masyarakat melalui aktivitas sosial terlepas uangnya juga mungkin tidak jelas. (Penulis : Sekretaris IKADIK-Pamong Praja Dairi/P.Bharat, Redaktur Majalah KIRANA – email: rhgmsi@yahoo.com)

No comments :