Tetapi jika seorang berkuasa sekelas pejabat tinggi seperti gubernur, bupati atau walikota (bos) , saat makan di restoran hotel mahal lantai 100; penghormatan yang diperoleh levelnya jauh berbeda seperti penjagaan security, pejabat bawahan yang berlomba-lomba mentraktir, pejabat bawahan dilantai 1 yang kawatir memegang hanphone menunggu siapa tahu sang bos membutuhkan tusuk gigi atau tisu untuk diantar, rekan bisnis dan bawahan yang letih menganggukkan badan serta kepalanya tanda siap, setuju dan menunggu perintah, dan pelayan restoran yang cantik, wangi serta enak di pandang mata. Sangat disayangkan, kondisi demikian konon menutup kerja otak bos untuk menganalisa ketulusan orang-orang yang berada disekelilingnya, tadi. Siapa yang tahu, apakah security yang menjaganya tidak bosan karena gaji kecil tidak sebanding, staf yang mandi keringat keletihan mendongkol dan mengumpatnya, pinggang dan kepala staf/rekan bisnis yang sakit karena terlalu sering harus mengangguk atau membungkuk penghormatan, atau wanita cantik pelayan restoran yang bosan karena melayani permintaan kita yang banyak macamnya.
Mark Twain, seorang pebisnis berhasil Amerika mengatakan “Selalu ada sesuatu tentang sukses Anda yang tidak menyenangkan bagi teman terbaik “. Oleh karenanya, tuntutan untuk tidak 100% mempercayai staf sudah selayaknya diilhami sebagai kata kunci seperti dipraktekkan seorang guru karate bahkan dukun, yang tidak pernah memberikan seluruh ilmu kepada muridnya, menjaga bila muridnya tidak loyal bahkan ingin membunuhnya. Di alam birokrasi seperti Pemerintah Daerah, loyalitas kepada pimpinan, sesungguhnya seperti membuat kue bolu. Banyak bumbu, resep tambahan, perlengkapan memasak, kesabaran dan api yang cukup. Artinya, untuk sebuah loyalitas atau kue bolu, terjadi perpaduan berbagai unsur, timbal balik dan menyatu serta saling memahami sesuai porsinya. Ketika pemimpin diacuhkan oleh anak buahnya atau dikenal istilah anak buah yang tidak loyal, banyak perkara melatarbelakangi munculnya opsi pembangkangan dibanding kesetiaan. Sediknya ada 8 perkara menelanjangi ketidak loyalan bawahan terhadap seorang pemimpin, yaitu karena kebijakannya benar tapi merugkan dirinya, mendukung lawan pimpinan, tidak berbuat apa apa, ingin menjerumuskan pimpinan, jabatan pimpinan akan berakhir, kebijakannya salah, pesan sponsor dan tidak mendukung pimpinan karena sakit hati. Tidak jauh berbeda dengan yang ditulis Carol Hyatt & Linda Gottlieb dalam bukunya When The Smart People Fail. Kedelapan unsur penyebab ketidakloyalan, faktor akan berakhirnya kekuasaan sang bos menjadi promotor penyebab lainnya.
Di beberapa daerah, contoh kasus tidak loyal mengakibatkan korban seperti banyaknya pejabat yang di copot dari kursi jabatan. Bila seorang pejabat karir dilingkungan birokrat atau pemerintahan di copot dari jabatannya dan tanpa jabatan baru, selain karena alasan persiapan pensiun dan pidana dapat dipastikan yang bersangkutan pasti tidak loyal kepada pimpinan. Alasannya, ya dari yang delapan perkara diatas. Banyak pejabat di Kabupaten Tobasa, misalnya, serta kasus baru pencopotan Sekretaris Daerah Kabupaten Karo, membuka mata, bahwa tidak ada yang ideal dalam birokrasi pemerintahan. Jika tidak memilih seseorang (bukan negara) maka kitapun tidak akan dipilih, kata politikus radikal di negara-negara seperti Jerman dan China. Loyalitas dalam bahasa sehari-hari dipahami sebagai sikap patuh, taat dan menurut pada perintah atasan. Jika tidak loyal, pasti penyebabnya salah satu dari delapan hal diatas.
No comments :
Post a Comment