ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 17 June 2008

Calon Independent : Menanti Peperangan” Sesama PNS, TNI &POLRI

Undang-undang politik yang mengatur persyaratan hadirnya calon independent dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, belum juga terbit. Hal ini bermuara pada munculnya spekulasi pemikiran yang mengemuka silih berganti mengawasi berbagai peluang untung rugi hadirnya calon independent. Tak dapat dipungkiri, kemajuan demokrasi era kini disaat Pemerintahan dipimpin Presiden SBY, mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pemilihan Presiden dan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, kemudian pemantapan penyelenggaraan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membuktikan perhatian dan keseriusan lebih Pemerintah mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Walaupun kadang ternoda dibumbui luapan emosi yang tak terkendali atapun dikendalikan untuk menterjemahkan demokrasi yang bebas sebebasnya namun lupa akan pertanggungjawaban. Desakan terhadap kehadiran undang-undang politik yang memuat aturan tentang calon independent dalam pemilihan kepala daerah semakin menguat. Tarik ulur berbagai kepentingan tentunya sudah terbaca dari awal proses uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 56 ayat (2) yang menegaskan bahwa Pasangan calon sebagaimana di maksud pada ayat (1) [ pasangan kepala daerah ] diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Komentar terus bertaburan, sebahagian berisikan cacian terhadap ketidaksiapan Pemerintah meramu draft perubahan dan sebahagian lagi menghujat legslatif yang dikira masih terus mencari celah untuk mempersempit peluang munculnya calon independent. Pada masa orde baru yang sering disebut orang dimasa pemerintahan Presiden Soeharto, TNI dan POLRI tidak diperbolehkan ikut politik praktis serta harus memposisikan dirinya netral, tetapi PNS didaulat sebagai pendukung penuh salahsatu partai politik. Pengalaman lalu, praktek ini melahirkan superioritas partai politik itu menjelma menjadi raksasa yang menguasai seluruh aspek kehidupan dan prikehidupan manusia dari desa sampai ke kota. Akibat yang ditimbulkan, siapapun atau daerah manapun yang tidak mendukungnya akan mudah terdeteksi dan dengan sendirinya terpinggirkan. Episode ketakutan terhadap cerita lalu yang menyeramkan itu sepertinya akan terjadi bila undang-undang yang mengatur calon independent melibatkan PNS, TNI dan POLRI. Jalan ceritanya tidak terlalu sulit diikuti, saat seorang calon independent mencari dukungan suara dari masyarakat termasuk PNS, TNI dan POLRI dengan mengumpulkan foto copy KTP maupun surat dukungan, maka terpecah-pecahlah sikap maupun dukungan terhadap masing-masing kontestan. Hal yang menakutkan, setiap lawan politik misalnya mengetahui jelas siapa mendukung siapa dan akibatnya kedepan akan mempengaruhi perhatian ataupun masa depan orang atau komunitas daerah yang mengumpulkan foto copy KTP ataupun tidak.

Bagi PNS misalnya, kekalahan calon yang didukungnya melalui foto copy KTP cenderung akan berimbas bagi dirinya dalam karir serta jabatan. Siapa dapat memberikan garansi jika seorang kepala dinas ataupun camat yang menyampaikan dukungannya terhadap seorang ‘balon’ akan tetap menduduki jabatannya jika jagoannya kalah dalam pilkada. Pada komunitas desa, kelurahan maupun kecamatan yang penduduknya jelas tergambar arah suara atau dukungan yang diberikan juga tidak menutup kemungkinan akan menerima imbas setelah Pilkada, apabila suara daerahnya tidak mendukung calon yang sudah menang. Imbas, bisa saja berupa minimnya aliran dana pembangunan bahkan sampai kepada penganaktirian daerah yang akhirnya melahirkan derita masyarakat. Ketakutan terparah dapat terjadi pada komunitas TNI dan POLRI, jika diikutkan dalam Pilkada yang memperbolehkan keberadaan calon independent, sosok pimpinan dengan sistem komando akan mudah “menggiring paksa” jajarannya memilih atau menyalurkan aspirasi ke satu pasangan calon dalam Pilkada. Dampak sosial yang akan terlihat, TNI dan POLRI tidak lagi berdiri sebagai pembela masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu, namun berubah menjadi TNI-POLRI pembela masyarakat yang satu bendera dengan partai atau seseorang. Jadi, apapun ceritanya undang-undang politik mengenai calon independent yang isunya seorang calon independent memperoleh dukungan dari masyarakat berupa penyampaian KTP / surat dukungan, harus mengeluarkan atau tidak mengikutsertakan PNS, TNI dan POLRI.

Alternatif lain materi undang-undang politik tentang calon independent, dapat saja melibatkan PNS maupun TNI/POLRI dalam PILKADA namun dalam sistem rekruitmen sebelum sah menjadi calon kepala/wakil kepala daerah melalui suatu lembaga yang menyeleksi kelayakan seseorang atau pasangan bakal calon kepala/wakil kepala daerah. Artinya siapapun boleh menjadi calon kepala daerah dari kelompok independent namun melalui seleksi lembaga tertentu yang bekerja berdasarkan persyaratan, kelayakan dan uji publik yang persyaratannya telah ditetapkan oleh eksekutif dan atau legislatif. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi foto copy KTP sebagai persyaratan seseorang memenuhi standard dukungan untuk tampil sebagai calon independent dalam Pilkada. Mungkin kajian ini lebih manusiawi dan bersahabat daripada kehadiran seorang calon independent harus menyimpan bom waktu ataupun kembali mengkebiri kehidupan demokrasi PNS, TNI dan POLRI atau mengusik kenyamanan roda pembangunan di suatu daerah. Pemikiran positif tentu saja tetap dikedepankan terhadap Pemerintah Pusat dan DPR- RI dalam menggodok undang-undang calon independent tersebut, kiranya semua untuk demokrasi dan kedamaian Indonesia.

No comments :