ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 17 June 2008

Revisi Kedua UU 32/2004 : Tantangan Calon Incumbent

Rapat paripurna DPR RI dipimpin Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar menyetujui revisi terbatas UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), Selasa (1/4) di gedung DPR/MPR RI, Jakarta. Persetujuan secara aklamasi terwujud setelah seluruh fraksi menyetujui revisi melalui pendapat akhir fraksi yang disampaikan juru bicara masing-masing. Setelah disetujui, maka tahap berikutnya Presiden diberi tenggat 30 hari untuk mengesahkan menjadi UU. Dengan demikian, maka pada 1 Mei 2008 atau atau awal Mei ditandatangani oleh Presiden, UU yang direvisi mulai berlaku dan calon incumbent harus mundur dari jabatan politiknya. Menurut Mendagri mundurnya incumbent untuk menjamin pelaksanaan Pilkada dapat berjalan lebih demokratis, fairness, dan untuk menghindari berbagai ekses jabatan, maka kepala daerah/wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya, jika mencalonkan kembali dalam Pilkada harus mengundurkan diri dari jabatannya sejak pendaftaran . “Kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) yang berniat maju lagi sebagai kontestan harus mundur dari jabatannya terlebih dahulu. incumbent mundur, maka pilkada berlangsung lebih fair.. Usulan ini merupakan hasil serapan aspirasi, agar dapat menjaga netralitas birokrasi," kata Mendagri (www.dpr.go.id).

Ada 3 (tiga) hal menarik menjadi topik pembahasan, mengutip pernyataan Mendagri yang menyatakan keuntungan mundurnya kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) saat pendaftaran, yaitu menjamin pelaksanaan Pilkada lebih demokratis dan fairness, menghindari berbagai ekses jabatan, serta netralitas birokrasi. Katanya, kehadiran revisi kedua kembali lebih melebarkan keran demokrasi di Indonesia dan beberapa hal memberikan nuansa baru yang dipandang perfect (sempurna) memihak kepada rakyat dan tidak merugikan kemerdekaan demokrasi seseorang. Namun ternyata, sebagian revisi kedua UU 32/2004 ini merugikan hak kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) serta dikhawatirkan kuat menyeret birokrasi ke kancah politik. Pasal 58 huruf (q) menegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mundur dari jabatannya jika ingin mencalonkan diri lagi dalam Pilkada sejak pendaftaran dirinya menjadi balon (bakal calon) kepala daerah/wakil kepala daerah. Jika ditilik, benar kata DPR yang tegas menyuarakan tujuannya untuk menjaga prilaku independensi balon. Namun terselip suatu keinginan menantang kepala daerah/wakil kepala daerah mempertaruhkan sisa masa jabatan sekitar 1 sampai 11 bulan. Andai saja seorang kepala daerah berakhir masa jabatannya sampai bulan Juni 2009, sesuai undang-undang, Pilkada wajib digelar bulan Oktober 2008. Proses Pilkada dimulai dengan pendaftaran sekitar 3 bulan sebelum pencoblosan yaitu Juli 2008. Ini berarti seluruh kepala daerah/wakil kepala daerah yang berakhir jabatannya sampai Juni 2009 wajib mundur di bulan Juni 2008. Ketiga pokok bahasan diatas akan diuraikan, seperti :


Pertama : Benarkan revisi kedua membuat Pilkada lebih demokratis dan fairness ?. Jawabnya ya dan tidak. Dikatakan ya karena sudah sah secara de yure and de facto kehadiran calon independen, dan resmi dapat mengikuti Pilkada di triwulan ketiga 2008. Tidak demokratis karena keharusan mundurnya kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) saat mendaftar sudah menganulir undang-undang yang sama untuk masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah selama 5 tahun. Penulis berpendapat, kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) tidak perlu mundur, karena ini mengkebiri hak demokrasi seseorang yang sebagian terpasung dengan revisi UU 32/2004. Ketakutan tidak netralnya birokrasi dan perangkatnya bukan menjadi alasan utama dikeluarkannya revisi ini. Tuntutan peran lebih Panitia Pengawas Pemilu maupun Komisi Pemilihan Umum Daerah seharusnya lebih dipertegas dan dikedepankan membuat aturan hukum nyata bagi kepala daerah/wakil kepala daerah dan dimasukan dalam undang-undang pemilihan umum atau merevisi UU 32/2004 lagi. Disinyalir KPU maupun Panwas Pemilu.Pilkada jadi “impoten” karena aturan tidak ada untuk memantau aktivitas kepala daerah/wakil kepala daerah termasuk kewenangan DPRD yang jauh sebelum Pilkada bila melakukan aktivitas kampanye terselubung sekaligus sanksi dari Pemerintahan di atasnya. Kalau penulis mengkaji cukuplah kepala daerah/wakil kepala daerah mengambil cuti saja sebelum pendaftaran dan disaat melakukan aktifitas kampanye seperti pimpinan DPRD yang mencalonkan diri dalam Pilkada.


Kedua : Benarkah dengan mundurnya kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) akan menghilangkan ekses jabatan ? Jawabnya, tidak benar. Sesungguhnya jika kepala daerah dan wakil kepala daerah sama-sama mundur karena mencalonkan diri lagi, ekses tidak ada, justru membuat repot pemerintah menunjuk pejabat pelaksana dengan ketakutan berbagai kepentingan sampai berakhirnya periodeisasi kepala daerah. Namun jika salah satu yang mundur kepala daerah saja atau wakil kepala daerah saja, dikhawatirkan ekses jabatan akan terlihat jelas bagi aparatur birokrasi. Tidak menjadi rahasia umum, kecendrungan di banyak propinsi, kabupaten maupun kota, antar kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya terlihat “mesra” pada 1-2 tahun roda pemerintahannya. Kecendrungan ini membuka peluang disaat kepala daerah/wakil kepala daerah mundur, para pejabat yang berkuasa penuh one man show, apakah kepala daerah atau wakil kepala daerah, akan membalaskan “sakit hati” nya terhadap aparat birokrasi yang dulu pro kepala daerah atau wakil kepala daerah. Tentu saja pikiran miring ini sah-sah saja dipolemikkan mengingat banyaknya tarik ulur kepentingan saat penyusunan kabinet pemerintahan di provinsi, kabupaten maupun kota di Indonesia. Apalagi jika kepala daerah/wakil kepala daerah yang ditinggal pasangannya tidak mencerminkan seorang negarawan dan terlalu mempercayai pembisik-pembisik jahat disekelilingnya.


Ketiga : Benarkan netralitas birokrasi dijamin ? Jawabnya : tidak. Masyarakat Indonesia yang cenderung masih berpola pikir tradisional, mengutamakan kekerabatan, agama, suku, golongan maupun adat istiadat untuk mengatakan ia dan setuju. Merujuk itu, kalangan birokrasi-pun sepertinya belum bisa terlepas dari prilaku pikir tradisional itu. Kalaupun netralitas birokrasi didaulat 100%, salah satu kebijakan harus dilahirkan, PNS tidak memberikan suaranya pada Pemilu termasuk Pilkada (seperti TNI/POLRI). Kemballi efektifitasnya tergantung kejelasan serta ketegasan perangkat perundang-undangan yang mengatur sekaligus sanksinya. Jika tidak diformat hati-hati, ya sama saja, netralitas birokrasi tergantung pesan “sponsor” mengendalikan jalan cerita bak sutradara filem India. Pemilu, apakah Pemilu legislatif, presiden atau kepala daerah memuat maksud baik mencari sosok terbaik untuk memikirkan bagaimana masyarakat tidak bodoh, tidak nganggur, dan tidak bodoh. Selayaknyalah politisi maupun birokrat berikrar dari hati yang paling dalam dan meminta Tuhan YME sebagai saksinya.

No comments :