ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 17 June 2008

Indikasi Perselingkuhan Balon KDH - Partai Politik

Meraup suara sebanyak-banyaknya dan memenangkan PILKADA merupakan happy ending yang diharapkan setiap pasangan calon kepala daerah apakah dari jalur independent atau partai politik. Zaman dahulu saat kerajaan masih menguasai petak demi petak tanah di daerah, pengganti seorang raja pastilah putranya sendiri jika tidak terjadi pengkhianatan atau revolusi kekerasan. Sama sekali tidak dibutuhkan komentar atau suara orang banyak (masyarakat) yang menyatakan layak atau tidaknya sosok seorang calon raja. Era berganti, orang mencari bentuk lain akibat banyaknya raja yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan muncullah era demokrasi yang kemudian diwujudkan dalam suatu lembaga perwakilan rakyat yang berisikan partai-partai politik. Lembaga inipun dipandang belum ideal untuk menghasilkan seorang pemimpin yang katanya “berpihak kepada rakyat” sehingga muncullah keinginan memilih pemimpinnya secara langsung. Inilah awal munculnya keinginan masyarakat memilih seorang kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Sayang sekali ternyata cara inipun diakal-akali dan harus menelan banyak “korban”.

Partai politik yang mencalonkan kepala daerah maupun calon independent mencari berbagai peluang agar dirinya dapat merebut simpati rakyat sekaligus meraup suara terbanyak. Kata selingkuh dalam bahasa sehari-hari dapat diartikan sebagai tindakan akrab, mesra dan intim dengan orang lain yang menyalahi aturan dan atau bukan pasangannya. Ini berarti ada aturan atau tatanan yang berlaku dalam budaya bermasyarakat dan dilanggar. Akibat pelanggaran ini, terganggunya sistem dan nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat termasuk hukum perundang-undangan. Para Balon (bakal calon) kepala daerah melalui partai politik atau jalan sendiri, kini, sudah terindikasi melakukan berbagai perselingkuhan terlarang. Mari kita lihat pola-pola perselingkuhan yang menjadi idola untuk dipraktekkan. Pertama, perselingkuhan dengan tokoh-tokoh agama. Kita tidak tahu mengapa tokoh-tokoh agama ikutan berpolitik praktis di masa sekarang ini, melalui ucapan kata, pidato atau bahkan khotbahnyapun kampanye terselubung dikumandangkan. Sejatinya, tidak boleh, namun memang nyata keberadaan tokoh agama yang memposisikan dirinya pada seseorang akan lebih mudah di terima ummat atau jemaatnya. Ini disebabkan karena yang memaksa adalah simbol-simbol keagamaan dalam diri tokoh agama sehingga pengikutnya akan mudah terpedaya. Perselingkuhan kedua dengan tokoh-tokoh adat; sebagai bangsa yang beradat dan berbudaya, sisi adat sebagai warisan nenek moyang termasuk dalam pilar-pilar strategis senjata menguasai massa. Polanya sama dengan praktek-praktek yang dijalankan tokoh agama, dan indikasi perselingkuhan ini benar-benar mengganggu ketentraman serta tatanan adat budaya dalam masyarakat (perpecahan).

Praktek perselingkuhan terlarang ketiga terjadi dengan pelayanan masyarakat seperti pegawai negeri sipil (PNS). Seharusnya PNS bersikap netral dan tidak berpolitik praktis ataupun lebih ekstrim bertindak sebagai Tim Sukses (TS) para balon kepala daerah. Bisa dibayangkan ditengah kerja pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dengan berbagai keterbatasan masyarakat (kemiskinan), kata demi kata yang disampaikan seorang pelayan masyarakat seperti PNS sangat mudah terpatri di benaknya. Mari kita ambil contoh seorang penyuluh pertanian, bidan desa, dokter, petugas lapangan pensertifikatan tanah (gratis/ diskon) ini adalah sebahagian contoh PNS yang menanamkan jasa dalam pengabdian, bahkan menjaga nyawa masyarakat. Alangkah mudahnya mereka meng-ia-kan pesan sponsor seandainya PNS itu menjadi TS termasuk aparat desa. Jika ditarik garis ke atasnya, sosok seorang kepala dinas lebih mudah lagi menarik simpati masyarakat dengan mengatasnamakan proyek atau program kerja di unit kerjanya sebagai bentuk kepedulian murni dari pemikirannya. Ada lagi perselingkuhan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi pemuda, namun pendekatan dan keintiman yang dipraktekkan diperkirakan tidak akan sampai merusak tatanan budaya dan kekerabatan dalam masyarakat dibanding tiga hal diatas.

Menjadi kepala daerah, siapapun ditanya pasti tidak menolak jika dipilih. Namun alangkah indahnya jika tatanan kehidupan dalam bermasyarakat maupun berbudaya apalagi beragama tidak rusak karena proses menuju kursi terhormat itu. Siapapun dan apapun yang dijalankan untuk meraih cita-cita menjadi kepala daerah memang dapat diperoleh melalui jalan apapun. Sepak terjang melalui jalan damai, frontal ataupun bawah tanah sebenarnya dalam politik itu sah-sah saja karena ilmu politik sendiri lebih mengenal kata menang atau kalah walau sekarang sudah muncul istilah koalisi. Sesungguhnya lebih ksataria balon kepala daerah yang menebar kedamaian, walau jarang orang yakin cara ini dapat merebut hati rakyat. Sesungguhnya, sosok seperti inilah yang di cari masyarakat.

No comments :