ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Tuesday 17 June 2008

Pornografi - Pornoaksi - Otak Porno

Sebahagian masyarakat Indonesia termasuk wakil-wakilnya kini sedang ‘heboh’ berdemonstrasi menentang rencana terbitnya Majalah Playboy Indonesia. Tidak itu saja, para artis dangdut yang suka bergoyang dangdut dan hanya membuat segelintir orang terangsang nafsunya-pun ikutan diteriakin serta divonis perusak moral masyarakat, walau tidak jelas masyarakat yang mana. Kejadiannya terus melebar hingga beberapa foto model tabloid dewasa terancam di meja hijaukan karena fotonya dipandang porno dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Membingungkan apa sebenarnya penampakan yang ada dalam setiap individu terhadap kasus-kasus diatas, jelasnya seperti semangat 45 yang namanya goyang dangdut seksi, majalah porno, foto porno tidak boleh ada di bumi Indonesia sementara defenisi porno yang merusak moral masih kabur. Sebahagian masyarakat masih berpikiran menyalahkan sumber pembuat masalah daripada berpikir bijaksana untuk lebih membentengi diri agar tidak hanyut dalam masalah. Kecendrungan yang terjadi, pola pikir masih berkutat pada makna kasat mata atau substansinya yang dilihat sebagai bahan dasar pengambilan kesimpulan tanpa melihat lebih dalam maksud lain munculnya prilaku atau pola baru yang ada. Louis O. Kattsoff dalam bukunya Element of Philosophy mengemukakan istilah Aksidensi untuk mewakili keberatan diatas, aksidensi ialah sesuatu yang termasuk sifat barang sesuatu, tetapi bukan substansi barang sesuatu itu. Artinya ada makna lain yang terkandung dalam gerak, rangkaian warna gambar, alur cerita dan ekspresi yang katanya akan merusak moral masyarakat atau porno grafi dan porno aksi.

Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi, mengatakan untuk orientasi ke masa depan nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Kalau kita terjemahkan memperbaiki dirinya dengan meningkatkan pengetahuan diri, kepercayaan diri, kreatifitas diri dan keimanan diri. Semuanya diperlukan untuk mampu bekerja dan berprestasi serta sebagai filter masuknya berbagai hal yang tujuannya merusak keinginan, cita-cita, dan prilaku dirinya. Soerjono menambahkan ada beberapa faktor yang akan menghalangi terjadinya perubahan seperti kurangnya hubungan dengan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap masyarakat yang sangat tradisional, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interests, rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, adat atau kebiasaan dan nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki. Jadi sangat naif jika aksi pertentangan terhadap yang katanya porno grafi dan porno aksi sendiri dijadikan target utama sebagai sumber penghancur moral masyarakat. Berpikir realistis, munculnya tayangan goyang dangdutnya Inul atau Uut kemudian gambar-gambar seksi di berbagai tabloid serta akan munculnya majalah Playboy Indonesia bagi sebahagian besar individu merupakan profesi untuk kebutuhan dapurnya dan tentu saja hal tersebut seiring dengan munculnya berbagai orang yang menjadikannya tempat mengadukan berjuta hasrat yang tidak dapat dihancurkan begitu saja. Seandainya nurani dan pribadi manusianya tidak menghendaki diri untuk melihat atau membeli produk porno itu, tentu saja walau sejuta jam tayang goyang seksi Inul, beribu eksemplar majalah Playboy dan berjuta foto seksi tidak akan mempengaruhi moralnya bila dirinya benar-benar tidak membaca dan memiliki benteng agama yang kuat. Justru sebaliknya, mungkin saja, bagi sebahagian orang yang menolak berbagai produk porno itu memiliki kualitas pengendalian diri yang rendah dan keimanan yang lemah, karena takut jika hal-hal porno diatas muncul dirinya langsung ‘lemes’ dan jatuh terlentang.

Pemerintahpun cenderung memposisikan diri sebagai penentang berbagai produk porno dengan akan mengeluarkan undang-undang urusan porno . Itu sih sah-sah saja, karena yang namanya Pemerintah tentu saja selalu berupaya memikirkan suara rakyatnya atau ‘mengambil hati’ masyarakatnya agar lebih dicintai dan tetap dikatakan pemerintahan yang memahami rakyat. Semangatnya tentu saja sama agar sistem dan pola kehidupan masyarakat tetap kondusif serta tidak teracuninya budaya masyarakat Indonesia dari berbagai hal porno dan kebebasan yang kebabalasan. Namun yang menjadi pertanyaan, keseriusan Pemerintah dan wakil rakyat ini sepertinya ‘lucu’. Dikatakan lucu karena sampai saat ada hal luar biasa yang jauh lebih berbahaya dibanding goyang Inul dan foto porno Anjasmara. Barang lama atau ‘profesi’ lama yang jelas masih dilakukan bebas di tengah masyarakat seperti pelacuran dengan kupu-kupu malamnya. Lihat saja sampai sekarang ini yang namanya pelacuran dan kompleks pelacuran tetap saja tidak tersentuh dan ‘dicuekin’ tentu saja terlalu berani jika kita katakan ‘dipelihara’ .

Belum lagi kalau berbicara mengenai kemajuan tekhnologi dengan budaya internet yang sudah merambah bebas sampai ke kalangan pelajar di pedesaan. Dunia maya ini saja jauh lebih berbahaya dibanding dengan tuntutan pemberedelan dan demo yang di gelar berbagai elemen masyarakat, sebab internet merupakan media merdeka tanpa sensor yang menampilkan apa saja tanpa batasan umur untuk mengaksesnya. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasinya, tentu saja para penguasa masih perlu berpikir panjang untuk mampu merumuskan gerak langkahnya. Terlepas dari pro kontra akan porno aksi dan porno grafi, kalau berbicara perkembangan dan kemajuan dibidang apapun, ada dampak yang timbul sebagai akibat berlangsungnya proses perubahan. Namun, seandainya muncul keberanian mengambil kebijakan terhadap suatu permasalahan, selayaknya kajian penguasa lebih dalam lagi membongkar masalah dari ‘pucuk pohon’ sampai ke ‘akar-akarnya’ tidak hanya berpikir hukum untuk orang lemah, masalah ada bagi rakyat kecil, dan tidak bergerak jika tidak di ‘cubit’.

1 comment :

Anonymous said...

Merasa terganggu ya Ting?