ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Friday 18 July 2008

Pembelajaran Sempurna SBY

Survey yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih rendah dari sosok Megawati Sukarno Putri. Biasanya, penulis sepakat dengan hasil survey CSIS yang sepertinya penuh kejelian dan tingkat keakuratannya sangat tinggi, namun kali ini tidak. Tampaknya, CSIS hanya melihat coretan-coretan blanko survey yang dibagikan atau rangkuman hasil wawancara surveyor yang mungkin kali ini salah orang, atau barangkali karena PDIP memenangkan PILKADA di 42% daerah. Ini kurang relevan dijadikan dasar berpijak CSIS karena yang di survey adalah hati seseorang. Kalaulah memang sosok kebesaran nama Partai dan dominan perolehan kursi legislatif yang diperole, mengapa PDIP kalah pada PILPRES yang lalui, padahal terbukti menjadi the best. Penulis berpikir, ada skenario cerdas dilakoni SBY walau belum tentu skenario itu buatannya. Cerita kekinian, yang menurut orang kaya dan orang pintar tidak populer, namun bagi kelompok-kelompok masyarakat pinggiran sangat bermakna. Tidak bisa dipungkiri, ketika keberanian melenyapkan judi dan keberanian membabat habis para pelaku korupsi, membuat Indonesia terkesima seolah baru terbangun dari tidur panjangnya. Walau bidikannya masih dominan diarahkan kepada koruptor kelas kakap, paling tidak SBY sudah membuktikan kampanye anti korupsi dan perjudian yang memang menjadi topik idola di setiap kampanye siapa saja yang ingin tampil di arena pemerintahan. Jika ingin melihat keseriusan, bacalah sepak terjang SBY dalam menentang korupsi melalui pembentukan lembaga-lembaga yang bertindak sebagai ‘hantu’ bagi siapa saja yang berniat korupsi. Walau kesannya lembaga yang dibentuk seperti rombongan organisasi dan kadang tumpang tindih, tapi dijamannyalah rekor pejabat negara termasuk besannya sendiri harus gemetar menghitung hari di penjara tak bersahabat. Dibanding jaman sebelumnya, tentu prestasi SBY sangat nyata dan belum ada yang terlihat bakalan memiliki komitmen nyata sepertinya. Hal luar biasa terakhir yang dipraktekan adalah dengan menaikkan harga BBM di saat genderang kampanye legislatif dan pemilu 2009 akan ditabuh. Banyak orang meramalkan ini adalah kebijakan salah yang akan menghancurkan popularitas SBY, namun secara kasat mata misalnya di Kabupaten Dairi, ada sekitar 31 ribu kepala keluarga yang mendapat bantuan langsung tunai sebagai kompensasi kenaikan BBM. Angka 31 ribu ini jika dilihat dari persentase orang yang memiliki hak pilih dan ditambah suami/isteri atau anaknya, maka diperkirakan sekitar 40 % penduduk Dairi akan berhutang budi atas kebijakan SBY. Jika digeneralisasikan ke seluruh kabupaten/kota di Indonesia, maka angka 30% simpati yang berujung keberpihakan kepadanya akan memuluskan langkah menjadi RI-1 untuk kedua kalinya. Belum lagi munculnya kebijakan seluruh tenaga honor wajib menjadi PNS, berapa banyak lagi orang yang menikmati hidup dan menjadi tersanjung karena kebijakan SBY. Memang sih, ini hanya opini belaka yang tidak berarti mendeskreditkan program atau niat baik Pemerintah melalui kepala pemerintahan tertinggi – SBY, namun jika dibawa-bawa ke urusan politik kedepan, seperti inilah peluang yang bakalan diraih. Selain itu, SBY lah satu-satunya presiden yang memiliki penguasaan emosi, wibawa, dan kecerdasan tertinggi dibandingkan yang lain. Tidak ada hal aneh yang dijalankan untuk menyelamatkan kepentingan pribadi atau kelompoknya seperti pengalaman dulu-dulu. Bisa aja kita ambil contoh ketika maraknya penembak mistirius, paduan suara setuju, pembredelan surat kabar vokal, tahanan politik, suap dan preman yang begitu superrior merebut banyak tugas aparat negara, bukan menjadi pilihan penyelamatan kebijakan SBY. Mencermati semuanya, adalah tidak benar jika popularitas SBY dibawah kandidat lainnya seperti Megawati, Wiranto, Gus Dur atau Sri Sultan Hamengku Buwono. Orang akan melihat karya nyata yang simpel seperti tersedianya segenggam beras di dapur walau hanya berteman kecap dan garam dibandingkan ratusan juta anggaran iklan televisi yang saban hari menampilkan wejangan serta cerita-cerita kesombongan diri yang sebenarnya membosankan masyarakat. Masyarakat itu tidak bisa lagi dipaksa dengan rupiah atau preman untuk memilih jagoan kita. Yang ingin tampil harus berani berbuat dan semakin tinggi tingkat kepeduliannya maka sebesar itulah dukungan yang diperolehnya. Inilah yang dikatakan era politik yang demokratis dan dewasa, ketika partai hanyalah sekedar aternatif lain untuk tampil di panggung politik menjadi wakil rakyat atau wakil pemerintah pusat di daerah tidak lagi mampu menggaransi sebuah kesuksesan. Ketokohan seseorang termasuk kewibawaan dan track record karir menjadi penentu atau vote getter dalam ajang seperti pemilu legislatif atau pilkada. CSIS memang melakukan survey yang benar, namun sebenarnya survey dilakukan pada kelompok yang salah. Namun, seperti artis, tentu model seperti ini jika mengena pada orang yang salah, justru akan menjadi mesin pemicu popularistasnya.

1 comment :

Anonymous said...

waduhhhh ketahuan deh......yang penting untuk masyarakat kan gak papa yah...daripada hanya untuk pejabat gendut yang rakus..