ROBERT HENDRA GINTING, AP, M.Si

Saturday 4 April 2015

MENGAPA PILKADA LEWAT DPRD ?

Dampak Pilkada langsung semakin meluas dan sudah sangat mencemaskan. Ditangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar oleh KPK, atas dugaan terlibat suap dalam penyelesaian kasus hukum Pilkada langsung di Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak, menambah panjang catatan negatif Pilkada langsung. Ahmad Syafii Maarif (Opini Kompas, 11 Oktober 2013) mendeskripsikan kondisi ini sebagai demokrasi tanpa dikawal oleh tegaknya hukum dan elit politik yang bertanggungjawab, bisa menjadi liar dan anarkistis.
Bila dibandingkan pelaksanaan Pilkada langsung di tingkat provinsi, dengan di tingkatkabupaten/kota dalam delapan tahun terakhir ini, Pilkada langsung di kabupaten/kotacenderung merugikan demokrasi. Daya rusak yang ditimbulkan demikian dahsyat, terutama terhadap kapasitas kepemimpinan daerah, netralitas dan profesionalitas birokrasi pemerintahan daerah, berjatuhannya korban jiwa, rusaknya infrastruktur publik dan bahkan rusaknya moral dan akhlak masyarakat kita.
Kita perlu kembali ke khittah demokrasi Indonesia, yang diamanahkan dalam sila keempat Pancasila, yakni kerakyatan  yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam persyawaratan dan perwakilan. Demokrasi perwakilan yang lebih beradab, dan sesuai dengan karakter bangsa. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, tidak harus secara langsung tapi juga dapat  dilakukan melalui perwakilan di DPRD.
Revisi undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi RUU Pemilihan Kepala Daerah, telah mendisain Pilkada pada 505 kabupaten/kota  di Indonesia akan dilakukan secara tidak langsung, atau melalui sistem perwakilan di DPRD. Sedangkan Pilkada pada 34 provinsi, yang relatif mudah diawasi, fakta-fakta dampak negatifnya tidak seberat Pilkada kabupaten/kota, masih relevan untuk dilakukan  melalui Pilkada langsung.
Pilkada tidak langsung di kabupaten/kota adalah pilihan terbaik untuk mencegah lebih rusaknya sendi-sendi kehidupan berdemokrasi di daerah. Sedikitnya ada 7 (tujuh) alasanmengapa Pilkada tidak langsung melalui perwakilan DPRD di kabupaten/kota menjadi pilihan yang lebih realistis untuk Indonesia saat ini.
Pertama, biaya Pilkada langsung yang sangat mahal. Setidaknya ada 4 (empat) pos pembiayaan yang sangat menguras energi peserta Pilkada langsung, yakni biaya mahar partai politik, biaya menggerakkan mesin partai dan tim pemenangan, biaya kampanye, biaya saksi di TPS pada saat pemilihan dan penghitungan suara, dan biaya penyelesaian kasus hukum di MK. Beberapa pasangan calon kepala daerah mengaku menghabiskan 20 hingga 128 miliar rupiah untuk bisa memenangi Pilkada. Jika dikalkulasikan ada 3-5 pasang calon yang maju, bisa dihitung  berapa  biaya Pilkada langsung yang harus dikeluarkan bila dikalikan dengan 505 kabupaten/kota di Indonesia...?? Biaya tersebut belum termasuk dana APBD untuk biaya penyelenggaraan pilkada yang berkisar antara 4 – 10 persen dari APBD masing-masing daerah.
Kedua, jumlah korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Catatan korban jiwa terkait Pilkada langsung, hingga Agustus 2013 sudah mencapai 75 jiwa, 256 orang luka-luka berat dan ringan. Sementara itu, kerusakan infrastruktur didominasi oleh perusakan terhadap rumah tinggal mencapai 279 unit, fasilitas umum (telepon, listrik dan lainnya) di 156 lokasi, kantor pemerintah di 56 lokasi. Data tersebut belum termasuk kerusakan kendaraan bermotor, kantor partai politik, kantor media massa,  hotel, kawasan pertokoan yang dibakar dan  dirusak oleh massa.  
Ketiga, persaingan yang cenderung keras dan terbuka pada Pilkada langsung,mengakibatkan retaknya hubungan sosio-kultural di dalam masyarakat. Calon  peserta yang menang ataupun kalah dalam Pilkada langsung serta para pendukungnya, biasanya akan terfriksi dan melahirkan dendam politik yang berulang-ulang dan tidak berkesudahan. Tidak jarang, sebuah keluarga besar menjadi terpecah-belah atau bermusuhan, karena hanya berbeda pilihan. Faktanya, sebagian besar masyarakat bahkan aktor politik kita belum siap menerima kekalahan dalam kompetisi pasar bebas demokrasi.
Keempat, merebaknya politik uang yang tidak lagi terbatas pada elit politik, institusi politik dan penegakkan hukum, tetapi sudah merambah luas kepada masyarakat pemilih. Bahkan, di beberapa tempat, masyarakat berani memasang spanduk yang berbunyi “di sinimenerima serangan fajar”. Demokrasi yang harusnya memuliakan manusia, malah merusak akhlak dan moral masyarakat dan pejabat kita. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD memang tidak steril dari politik uang, tetapi pasti akan lebih mudah diawasi, karena kecilnya jumlah anggota dewan.
Kelima, pilkada langsung  cenderung mendorong kepala daerah melakukan praktek-praktek korupsi. Mahalnya pembiayaan untuk mengikuti Pilkada langsung, mendorong konspirasi jahat antara peserta Pilkada dengan pemilik-pemilik modal. Biasanya sumberdaya alam daerah, atau proyek-proyek fisik yang ada di APBD yang akan menjadi kompensasinya jika memenangkan Pilkada. Kondisi ini  menyebabkan sebanyak 310 orang kepala daerah/ wakil kepala daerah, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif, harus berurusan dengan aparat penegak hukum dengan dugaan korupsi dan tindak pidana lainnya.
Keenam, kebutuhan untuk meraih suara pemilih sebanyak-banyaknya di dalam Pilkada langsung, cenderung menyeret  aparat birokrasi berpolitik praktis, dan menjadi agen pengumpulan suara bagi calon-calon peserta Pilkada, tentunya dengan iming-iming jabatan. Rendahnya penegakan hukum dan penempatan kepala daerah sebagai pembina kepegawaian di daerah, menyebabkan birokrasi menjadi tidak netral dan profesional, terutama bila calonnya berasal dari petahana, atau keluarga petahana. Berbagai regulasisudah dibuat, tetapi politisasi terhadap birokrasi tidak kunjung berhenti.
Ketujuh, yang lebih parah lagi, pilkada langsung cenderung menghadirkan pemerintahan daerah yang tidak efektif. Penyebabnya antara lain, besarnya beban hutang ekonomi maupun hutang politik yang harus ditanggung oleh seorang kepala daerah, baik kepada sponsor, partai politik pengusung, tim sukses, birokrat yang berjasa dan konstituen sendiri. Di dalam politik, “tidak ada makan siang yang gratis”. Pihak-pihak tadi menggerogoti dan meminta kompensasi kepada Kepala Daerah setiap hari. Belum lagi kalau terjadi pecah kongsi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang merepotkan birokrasi dalam melaksanakan program. Akibatnya, pemerintahan daerah yang efektif hanya mimpi.
Pilkada tidak langsung untuk Kabupaten/Kota adalah pilihan yang realistik untuk Indonesiasaat ini. Kekhawatiran bahwa Pilkada tidak langsung hanya akan memindahkan praktek politik uang ke DPRD, akan dapat diatasi melalui pengawasan secara ketat, dengan melibatkan KPK, LSM, PERS, akademisi dan masyarakat luas. Pada waktunya nanti bisa saja kita kembali lagi ke Pilkada langsung dalam memilih Bupati dan Walikota, manakala elit politik dan masyarakatnya telah siap berdemokrasi, tidak anarkhi. (Kutipan dari FB. Prof.Djohermansyah Djohan - Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan Indonesia)

No comments :