ADA
YANG menarik disaat orang banyak membahas masalah politik yang hangat bekembang
di Indonesia pasca terpilihnya Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia.
Lembaga wakil rakyat di DPR-RI terbentuk dalam dua kelompok besar yaitu Koalisi
Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Awalnya KIH memposisikan
dirinya sebagai “benteng” pemerintah dan KMP sebagai penyeimbang yang konsep
awalnya bermakna oposisi. Kemuatan
KMP secara matematis mampu berbuat “apa saja” bila menggunakan mekanisme voting
disetiap pengambilan keputusan terutama yang berkaitan langsung dengan koreksi
Jokowi. Namun yang namanya politik itu sendiri sudah lama dikenal sebagai sesuatu yang tidak mengenal kawan
abadi serta tidak mengaminkan adanya musuh abadi tentunya semua akan mengalir
tanpa arah yang bisa dipastikan kini.
KMP
di nakhkodai Partai Golkar sebagai pemenang kedua pada pemilu legisltaif yang
lalu yang notabene memiliki kursi terbanyak kedua setelah partai berlambang banteng di DPR-RI.
Tentu posisi Partai Golkar memegang
peran yang sangat strategis dalam berbagai pengambilan keputusan di DPR-RI.
Itulah alasan yang menjadikan Partai Golkar sebagai “syurga” bagi orang-orang
yang memiliki cita-cita mengambil peran dalam setiap “proyek” kekuasaan.
Musyawarah
Nasional (Munas) Partai Golkar di Bali yang diklaim dihadiri 100 persen
pemegang mandat Partai Golkar seluruh Indonesia ternyata tidak di akui oleh
Kemenkumham. Aburizal Bakrie (ARB) yang terpilih secara aklamasi sepertinya
“dikerjai” oleh Munas Ancol yang dikomandoi Agung Laksono. Mahkamah Partai
Golkar pun mencari aman dengan membuat keputusan “bencong”. Padahal bila
menilik beberapa alasan mem-PTUN kan keputusan Menkumham di kubu ARB bahwa
banyak mandat palsu pada Munas Ancol dan akhirnya tidak kourum sesuai AD/ART
Partai Golkar. Semua seperti telah ada skenarionya dan tahapan-tahapan
berlangsung dengan cepat sekali. Tidaklah heran bila seorang pengamat politik
berkomentar di layar kaca yang mengejek bahwa pemerintahan tercepat yang
mengeluarkan sebuah keputusan (Mengkumham) beberapa jam setelah di lantik
Presiden.
Di
luar permasalahan itu semua, beberapa hal menarik sebagai catatan yang ternyata
bila di urut satu persatu, sepertinya ada konspirasi dan mungkin
“perselingkuhan” tingkat tinggi yang dipertontonkan. Namun sepertinya di satu
sisi ada yang tidak menyadarinya dan di sisi lain ada yang sudah terbius
olehnya. Sebelum ribut-ribut Bali dan Ancol, Partai Golkar bersama KMP-nya ternyata
telah “mengalah” dengan ikut menyetujui peraturan pemerintah pengganti –undang
yang membatalkan Pilkada oleh DPRD menjadi Pilkada langsung. Padahal jauh
sebelumnya timbang-timbang dan perkalian KMP jika Pilkada melalui DPRD
dilaksanakan maka lebih dari dua per tiga kepala daerah gubernur/bupati atau
walikota akan direbut dan dikuasi kader KMP. Sementara Kubu Agung Laksono entah
mungkin ingin mengambil simpati penguasa sudah terlebih dahulu memposisikan
diri mendukung pilkada langsung.
Kemudian,
Partai Golkar bersama KMP juga telah berubah pikiran dengan mengikutsertakan
KIH untuk mengisi kursi pada alat-alat kelengkapan DPR-RI yang selama ini
diproyeksikan dikuasai penuh oleh KMP. Kubu Agung Laksono selalu memposisikan
kelompoknya seirama dengan penguasa dan pada akhirnya ARB bersama KMP pun
mengambil sikap yang sama. Perbedaannya pada saat itu ARB masih di atas angin
untuk berbuat dan bisa bersuara lantang membawa Golkar bersama KMP “mengambil
muka” penguasa. Terlihat pada pemberian dukungan terhadap calon Kapolri yang
diajukan Jokowi untuk mendapat persetujuan DPR-RI. Sehingga prosesnya menjadi
mulus tanpa ada hambatan walau riak-riak banyak muncul sebelumnya ditengah
permasalahan yanga sedang melanda pimpinan KPK.
Sepertinya
saat ini mungkin presiden sedang galau karena adanya pelangi dalam tubuh partai
pengusungnya di KIH. Serangan banyak ditujukan kepadanya yang ternyata datang
dari KIH. Belum lagi Megawati Sukarnoputri secara tegas dalam pidatonya
mengatakan bahwa Jokowi adalah petugas partai. Ini menggambarkan bahwa
kebijakan-kebijakan yang di ambil Presiden sepenuhnya telah melalui persetujuan
PDIP bila diterjemahkan dari pernyataan Megawati tersebut. Alangkah naïf nya
bila Presiden nya adalah Presiden partai bukan presiden rakyat. Ada statemen bahwa
keputusan Menkumham yang notabene kader PDIP, tidak sepengetahuan nya namun ada
juga pertanyaan, mengapa keputusan
tersebut diambil saat Presiden berada di luar negeri. Bak seperti meniru
pendahulunya, model waktu pengambilan keputusan-keputusan pentingpun di
luncurkan.
Ada
banyak tafsiran politik dampak dari keputusan Menkumham yang notabene adalah
pembantu Presiden. Namanya pembantu mirip-mirip pembantu rumah tanggalah,
sejatinya akan mustahil bila melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan boss-nya. Permasalahannya,
para menteri ini boss nya ada berapa ?
Dari
berbagai hal yang dipertontonkan itu, kubu Agung Laksono sepertinya dijadikan
putra mahkota oleh penguasa yang tidak bisa dibendung oleh petugas partai.
Bergabungnya Golkar di KIH tentu akan memuluskan apapun keinginan KIH di bawah
pimpinan PDI Perjuangan. ARB seharusnya bertindak lebih cepat lagi dengan
memberikan tawaran-tawaran lebih “menggiurkan” lagi kepada penguasa bahkan
kalau perlu menjadikannya sebagai salah satu boss partai di KMP atau ikut
memperjuangkannya untuk tampil sebagai boss di partai pengusungnya, dulu. Menurut analisa, ketika ARB melakukan ini
maka kedepan orang-orang kubu Munas Ancol akan menjadi pesakitan dan PTUN
memenangkan Munas Bali. Pada akhirnya ARB akan kembali memimpin Golkar dengan
warna baru bersama penguasa sebagai balas budi.
Inillah
resiko politik yang harus di jalani Golkar yang harus tetap tegar walau
sepertinya di gembosi sana dan sini. Harus bijak melihat peluang walau
sepertinya “harga penawaran” terhadap
sesuatu yang harus di tebus itu semakin mahal. Tarik ulur kepentingan pengakuan
terhadap Golkar Bali atau Golkar Ancol hampir mirip seperti seorang ibu yang
sedang menawar sebuah baju di toko. Baju nya sangat bagus, pembelinya banyak,
tentu harga yang cocok menurut penjual lah yang akan mendapatkan baju tersebut.
Deal-deal politik melayang di udara tergantung Bali atau Ancol yang lebih dulu
mengaminkannya. (Penulis adalah
Pengamat social, politik dan pemerintahan lulusan S-2 Universitas Indonesia)
2 comments :
Esa portada con los niños y ese magnifico paisaje dá envidia pero sana que conste
Una buena entrada
Que tengas una feliz Semana Santa desde España con cariño Victoria
Gracias por sus comentarios y estoy muy feliz de que usted visita mi blog . gracias por la amistad y saludos blogger
Post a Comment